Warga mulai berlatih bela diri serta memakai senjata dan bahan peledak untuk menghadapi junta militer Myanmar. Junta menyatakan, konsensus yang muncul di Jakarta bisa dilaksanakan apabila kondisi negara stabil.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA — Situasi Myanmar kembali menghangat setelah kelompok pemberontak etnis minoritas Karen menyerang dan merebut pos mmiliter Myanmar di dekat perbatasan Thailand, Selasa (27/4/2021). Serangan tidak hanya terjadi pada pos militer Myanmar yang berada di perbatasan, tetapi juga di wilayah utara dan barat, terutama di wilayah Negara Bagian Chin.
Sebanyak 13 anggota militer Myanmar tewas dalam bentrokan selama beberapa hari terakhir.
Kepala Urusan Luar Negeri Persatuan Nasional Karen (KNU) Saw Taw Nee dalam pernyataannya, Selasa (27/4/2021), mengatakan, pasukannya telah merebut kamp militer di tepi barat Sungai Salween, yang membentuk perbatasan dengan Thailand. Dia mengatakan, militer Myanmar juga melancarkan serangan udara untuk mencoba merebut kembali pos militer yang direbut anggota KNU. Tidak ada korban jiwa dalam serangan balasan itu karena ratusan penduduk desa di sekitar lokasi serangan telah dipindahkan ke lokasi yang aman.
Serangan yang terjadi di beberapa lokasi pada Selasa itu menaikkan intensitas situasi keamanan di Myanmar pascapertemuan para pemimpin negara anggota ASEAN, yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (24/4). KNU yang menyetujui gencatan senjata pada tahun 2012 lalu, mengakhir perjuangannya untuk otonomi yang telah dimulai tahun 1948, mulai bentrok dengan militer Myanmar setelah junta militer melakukan kudeta atas pemerintahan sipil Myanmar pada 1 Februari lalu.
Tidak hanya etnis Karen yang melakukan perlawanan atas junta yang menggulingkan pemerintahan sipil, tetapi juga sejumlah etnis minoritas lainnya yang berbasis di daerah perbatasan berada dalam satu barisan dengan kelompok prodemokrasi Myanmar menuntut dikembalikannya pemerintahan sipil di negara itu.
Perlawanan terhadap junta tidak hanya dilakukan oleh kelompok etnis. Sejumlah anak muda Myanmar diketahui tengah menggembleng diri di sebuah hutan dan bersiap menjadi kekuatan tempur baru, di samping gerakan perlawanan sipil kelompok prodemokrasi.
Sebuah video yang dirilis kelompok yang menamakan diri ”United Defense Force” (UDF) memperlihatkan sekitar 120 pemuda tengah berlari di sebuah hutan pada pagi hari. Tidak hanya menggembleng fisik, mereka juga dibekali kemampuan bela diri, termasuk menembak dan menggunakan bahan peledak.
Salah satu pendiri UDF, Mon Mon mengatakan, mereka berlatih di hutan selama tiga bulan. ”Kami semua memiliki satu tujuan, yaitu revolusi,” kata Mon Mon.
Dia menjelaskan, saat ini mereka tengah menggembleng sekitar 250 calon anggota pasukan, sebanyak 20 di antaranya adalah perempuan. Sebagian besar peserta, menurut dia, berusia 20 tahunan dan masih berstatus para pelajar. Namun, ada juga peserta yang berusia 35-40 tahun.
”Banyak di antara mereka adalah generasi Z,” katanya. Dia menambahkan, mereka telah memiliki anggota sebanyak 1000 orang yang telah tersebar di seluruh Myanmar.
Junta militer tidak menanggapi permintaan komentar mengenai keberadaan milisi sipil baru ini. Kepala Urusan Luar Negeri KNU Saw Taw Nee mengatakan, dirinya tidak bisa mengonfirmasi atau menyangkal ada kegiatan tersebut.
Konsensus Dilaksanakan bila Kondisi Stabil
Setelah tidak mengeluarkan pernyataan apa pun pascapertemuan para pemimpin negara ASEAN di Jakarta, junta militer Myanmar bersuara tentang lima poin konsensus yang muncul saat pertemuan pada Sabtu akhir pekan lalu, yang terdiri dari penghentian kekerasan oleh semua pihak, dialog konstruktif di antara para pihak secara damai, penunjukan utusan khusus ASEAN, pengiriman bantuan kemanusiaan oleh negara anggota ASEAN, dan kunjungan utusan khusus ASEAN dan delegasi ke Myanmar untuk bertemu semua pihak dalam penyelesaian krisis.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan junta, dikutip dari media projunta militer, The Global New Light of Myanmar, junta menyatakan, mereka akan mengindahkan permohonan ASEAN untuk menghentikan kekerasan hanya ketika kondisi negara sudah stabil.
”Kunjungan ke Myanmar, seperti yang diusulkan ASEAN, akan dipertimbangkan setelah kondisi negara stabil,” kata pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing. Dia menambahkan, dalam melaksanakan lima program (isi konsensus) yang muncul dalam pertemuan di Jakarta, Hlaing mensyaratkan akan mempertimbangkannya apabila hal itu sesuai dengan Piagam ASEAN, ASEAN Way, dan Semangat ASEAN, serta kepentingan Myanmar.
Juru bicara junta, Zaw Min Tun, mengatakan bahwa rezim puas dengan perjalanan itu karena mereka dapat menjelaskan situasi sebenarnya kepada para pemimpin ASEAN.
Mantan Duta Besar AS untuk Myanmar Scot Marciel memperingatkan bahwa tanggapan militer terhadap KTT Jakarta sudah menunjukkan tanda-tanda kemunduran. ”ASEAN tidak bisa berkutat di sini karena junta bergerak mundur, bahkan kesepakatan terbatas yang dicapai Sabtu. Harus ada tindakan lanjutan yang bersifat mendesakkan. Tidak ada orang di Myanmar yang memercayai Tatmadaw," kata Marciel. (AFP/Reuters)