Myanmar, Batu Uji ASEAN
Korban tewas akibat krisis politik di Myanmar terus berjatuhan. ASEAN bergerak cepat mengambil langkah menjawab tantangan itu. Perlu proses diplomasi terukur dan cermat.
Korban tewas dan luka terus berjatuhan. Pada Minggu (11/4/2021), sebuah bom meledak di cabang terbesar Bank Myawaddy di Mandalay, Myanmar. Ledakan bom itu melukai seorang penjaga keamanan.
Bank Myawaddy adalah salah satu dari sejumlah bisnis yang dikendalikan militer Myanmar. Ledakan tersebut semakin memanaskan krisis politik di negara itu. Sebelumnya, sejak militer Myanmar atau dikenal dengan sebutan Tatmadaw mengudeta pemerintah sipil pada 1 Februari lalu, ratusan pengunjuk rasa penentang kudeta tewas ditembus pelor aparat.
Dalam bentrok pada Jumat lalu di Bago, sekitar 65 kilometer timur laut Yangon, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik atau AAPP mengatakan, aparat keamanan menembak mati setidaknya 82 pengunjuk rasa. Situasi makin pelik karena terjadi bentrokan di Negara Bagian Shan utara, Sabtu lalu, ketika Tentara Pembebasan Nasional Ta\'ang (TNLA), sebuah kelompok pemberontak etnis, melancarkan serangan atas sebuah kantor polisi. Media lokal melaporkan, lebih dari selusin polisi tewas.
Baca juga: Salam Tiga Jari
Sehari sebelumnya, saluran televisi negara yang dikelola militer, MRTV, melaporkan, bahwa pengadilan militer telah menghukum mati atas 19 orang—17 di antaranya diadili secara in absentia—karena diduga membunuh seorang perwira militer di Yangon pada 27 Maret. Serangan itu terjadi di daerah kota yang berada di bawah darurat militer.
AAPP mencatat, setidaknya 701 warga sipil tewas di tangan aparat sejak kemelut politik menyelimuti negeri tersebut. Sementara itu, pihak junta menyebut korban sebanyak 248 warga sipil dan 16 polisi tewas.
Melihat situasi seperti itu, Zin Mar Aung, anggota parlemen Myanmar yang digulingkan militer, mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengambil tindakan terhadap militer. ”Rakyat kami siap membayar berapa pun biaya untuk mendapatkan kembali hak dan kebebasan mereka,” kata Zin Mar Aung, yang telah ditunjuk sebagai penjabat menteri luar negeri oleh CRPH.
Sebaliknya, junta militer juga berkeras dengan argumen mereka bahwa pemilu November 2020 yang dimenangi Liga Nasional Demokrat penuh kecurangan. Untuk itu, mereka mengambil alih pemerintahan demi menjaga stabilitas, perdamaian, dan kesatuan Myanmar.
Baca juga: Terancam Perang Saudara, DK PBB Kecam Keras Kekerasan di Myanmar
Kemelut politik dan kekerasan itu, menurut analis independen pada Internasional Crisis Group, Richard Horsey, menempatkan Myanmar berada di ambang kehancuran. Dalam pertemuan informal Dewan Keamanan PBB, Jumat lalu, ia menegaskan, tindakan junta militer telah menciptakan situasi di mana negara menjadi tidak dapat diatur.
Langkah ASEAN
Dalam keprihatinan atas krisis di Myanmar dan dampaknya pada kawasan, ASEAN bergerak. Sejak kudeta terjadi, ASEAN yang dimotori Indonesia telah bergerak cepat. Presiden Joko Widodo mengutus Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi untuk segera berkomunikasi dengan para mitra di ASEAN dan negara sahabat. Desakan Presiden untuk adanya pertemuan tingkat tinggi ditanggapi serius oleh Brunei Darussalam—yang tahun ini menjadi ketua ASEAN—dengan merencanakan menggelar pertemuan itu di Jakarta.
Bagi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lydia Christin Sinada, mengatakan, krisis Myanmar kali ini dapat disebut sebagai suatu ujian bagi soliditas ASEAN, terutama dalam semangatnya memajukan komunitas ASEAN. Namun, di sisi lain, krisis ini dapat menjadi momentum bagi ASEAN untuk mewujudkan semangatnya sebagai suatu komunitas politik dan keamanan dengan pengutamaan prinsip-prinsip demokrasi, penghormatan HAM, dan penegakan hukum.
Baca juga: ”Shuttle Diplomacy” Para Menlu ASEAN Terkait Krisis Myanmar Berlanjut di China
”Krisis ini justru menjadi peluang baik bagi ASEAN untuk menunjukkan relevansinya bagi masyarakat ASEAN. Untuk itu, pertama dan terutama, negara-negara ASEAN harus mencapai konsensus pelibatan seperti apa yang akan dilakukan di Myanmar mengingat kepentingan politik anggotanya yang sangat beragam,” kata Christin.
Menurut dia, Dalam KTT nanti, ASEAN harus mendorong langkah-langkah yang mendorong perlindungan terhadap kelompok sipil dan mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil sesuai jalan demokrasi yang telah dirintis Myanmar selama ini. Meskipun mungkin sulit untuk dirumuskan secara eksplisit, ASEAN pertama-tama harus menekankan penghentian penggunaan kekerasan oleh militer dan mengupayakan upaya dialog antara kelompok militer dan kelompok sipil di Myanmar, termasuk melepaskan tahanan politik.
ASEAN perlu mendorong semangat sharing and telling, mendorong Myanmar untuk bisa menjelaskan situasi yang terjadi di Myanmar saat ini sehingga dapat menjadi jalan bagi ASEAN untuk mengusulkan suatu mekanisme mediasi dengan melibatkan salah satu negara ASEAN yang bisa memimpin proses ini. Namun, Christin mengingatkan agar dalam prosesnya, ASEAN tidak boleh terjerumus atau terseret pada upaya-upaya yang menjurus pada politik intra-rezim, seperti usulan perubahan konstitusi Myanmar tahun 2008.
Dosen Fakultas Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Muhammad Rum, optimistis dengan proses yang dilakukan ASEAN. Kawasan, menurut dia, dapat berkaca pada keberhasilan ASEAN membantu kolaborasi komunitas internasional dalam melaksanakan aksi kemanusiaan pasca-Siklon Nargis 2008 yang sebelumnya juga ditolak oleh junta militer yang saat itu berkuasa di Myanmar.
Dalam konteks krisis Myanmar saat ini, Indonesia dan ASEAN dapat mengambil peran serupa dengan mengundang komunitas internasional untuk turut berperan, termasuk menginisiasi dialog dengan negara-negara yang berpotensi memiliki pengaruh terhadap krisis di Myanmar, seperti China dan Rusia, agar bergabung dengan komunitas internasional dalam mendukung restorasi demokrasi dan penghentian kekerasan di Myanmar. ”Pendekatan ini akan semakin memantapkan sentralitas ASEAN dan kapasitas diplomasi Indonesia sebagai negara yang berpengaruh,” kata Rum.
Baca juga: Kelompok Perlawanan Myanmar Peringatkan Potensi Konflik Besar
Dalam KTT luar biasa nanti, Rum berpendapat, ada beberapa opsi yang dapat ditawarkan. Pertama adalah meyakinkan negara-negara ASEAN, termasuk Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam, agar yakin bahwa mekanisme regional untuk merespons krisis kemanusiaan di Myanmar sangat diperlukan. Kedua, memberikan mandat kepada ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) untuk mencermati dan memberikan rekomendasi kepada ASEAN Summit.
”Perang harus dicegah. Kita tentunya juga tidak menginginkan terjadinya perang saudara di Myanmar. Oleh karena itu, masyarakat dunia seyogianya mau berkolaborasi dan berpikir lebih keras dan tidak putus asa melakukan diplomasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil. Pasti ada banyak jalan damai yang dapat dirancang bersama secara kreatif,” kata Rum.
Dihubungi terpisah, Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menegaskan, selain merangkul, ASEAN perlu mendesak dan mendorong agar Myanmar kembali ke arah demokrasi. Menurut dia, upaya itu tidak bertentangan dengan prinsip non-intervensi. Untuk itu, Marty menitikberatkan pada upaya yang disebutnya sebagai diplomasi yang tenang dan terukur.
Ketika diwawancarai oleh Aljazeera pada awal Maret lalu, Marty mengatakan, para pemimpin ASEAN akan mendengarkan perwakilan junta, tetapi pada saat yang sama, ASEAN tidak boleh menghindar untuk mengungkapkan pandangan dan harapan mereka. ”Ini adalah dilema abadi untuk setiap keterlibatan diplomatik. Ini bukan dilema ASEAN yang unik, harus berurusan dengan pihak berwenang atau pihak yang secara de facto mengendalikan situasi untuk menguraikan maksud dan menyampaikan harapan,” kata Marty.
ASEAN, menurut Marty, harus membuat harapan mereka diketahui oleh junta. ”Bahwa demonstran damai tidak boleh ditembak, dan pemimpin yang dipilih secara demokratis harus menjadi bagian dari solusi, mereka tidak boleh ditahan dengan tuduhan sembrono,” kata Marty kepada Aljazeera.
Menilik krisis yang kian pelik di Myanmar, pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Indonesia, Beginda Pakpahan, berpendapat, proses diplomasi dan pertemuan yang bakal digelar oleh ASEAN perlu dilakukan dalam pendekatan yang lebih positif dan konstruktif. Sebagaimana Marty, Beginda berpendapat, perlu upaya lebih kuat untuk mencari titik temu bagi semua pihak terkait di Myanmar sekaligus membuka ruang dialog yang relevan untuk membangun solusi jangka panjang.