Dua Generasi di Myanmar Bersatu Melawan Kudeta Militer
Hampir dua bulan rakyat Myanmar melawan kudeta militer. Dalam unjuk rasa menentang junta militer sejak kudeta 1 Februari, korban di kalangan mereka terus berjatuhan. Meski demikian, militansi perlawanan mereka tak surut.
Sabel (20) dan ibunya bersusah payah menyeret satu per satu kantong pasir dan semen yang semula ditumpuk menjadi barikade atau benteng pertahanan dari hujan peluru aparat keamanan. Di belakang mereka berdiri aparat keamanan dengan senapan yang ditodongkan ke arah ibu-anak itu. Keduanya, bersama dengan tetangga-tetangga yang lain, dipaksa membongkar semua barikade yang dipasang di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.
”Saya belum pernah dipaksa kerja seperti ini. Tangan saya sampai luka-luka. Apalagi ibu saya, kasihan,” kata Sabel.
Tun Hla (60) juga dipaksa membongkar semua barikade di sekitar rumahnya. Aparat keamanan tiba-tiba datang dan menggedor pintu rumahnya. Sebenarnya ia tidak kuat bekerja berat karena sudah lama sakit punggung. Nmaun, ia tidak mempunyai pilihan lain. Tentara datang menodongkan senjata kepadanya.
Baca juga: Warga dan Polisi Myanmar Lari ke India, Negara Lain Mesti Bersiap
”Saya takut nanti ada apa-apa dengan anak-anak saya. Apalagi, banyak anak muda tewas ditembak polisi dan tentara. Saya pernah mengalami kerja paksa begini. Mestinya sudah tidak ada begini-begini lagi,” tutur Tun Hla.
Semasa periode kekuasaan junta militer, sebelum pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi berkuasa, militer memerintahkan setiap kepala keluarga mengirimkan salah satu anggota keluarganya untuk kerja paksa. ”Kerja paksa seperti ini bukan hal baru di Myanmar. Ini taktik militer membuat suasana mencekam dan mengintimidasi rakyat,” kata John Quinley dari lembaga hak asasi manusia Fortify Rights.
Baca juga: Indonesia Dorong Krisis Myanmar ke Level Tertinggi di Kawasan
Sudah hampir dua bulan pengunjuk rasa turun ke jalan untuk menentang kudeta militer Myanmar. Setiap hari pula, pengunjuk rasa bertaruh nyawa menghadapi aparat keamanan yang tega menembaki rakyatnya sendiri. Untuk menghadapi serangan peluru polisi dan tentara, pengunjuk rasa di sejumlah daerah membangun barikade dari bambu, tumpukan batu bata, kantong berisi pasir dan semen, ban mobil, serta tong sampah.
Bak medan perang
Barikade dipasang di mana-mana membuat suasana kota menjadi seperti medan peperangan. Kelompok pemantau, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), memperkirakan 275 orang tewas sejak kudeta 1 Februari lalu. Juru bicara junta, Zaw Min Tun, Selasa (23/3/2021), menyebut 164 pengunjuk rasa tewas.
Baca juga: Kota Bak Zona Perang, Ribuan Warga Tinggalkan Yangon
Jumlah pengunjuk rasa memang banyak, tetapi mereka tidak memiliki pertahanan apa pun untuk menghadapi serangan gas air mata, peluru karet, serta senapan tentara dan polisi. Barikade di jalanan, yang menjadi ciri khas pengunjuk rasa untuk menutup jalanan, selama ini efektif memperlambat pergerakan aparat keamanan Myanmar.
Di Yangon, yang sejak awal kudeta menjadi pusat perlawanan terhadap kudeta militer, aparat keamanan kerap berpatroli dan menembaki pengunjuk rasa dan warga, termasuk di kawasan permukiman. Dengan adanya barikade itu, aparat keamanan tidak asal serudak-seruduk. Untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban, junta militer memberlakukan status darurat militer di enam distrik di Yangon. Ini berarti sekitar 2 juta warga di wilayah itu berada di bawah kendali junta militer langsung.
Baca juga: Rakyat Cari Jalan Pulihkan Demokrasi, Tanpa Surat Kabar dan Internet
Banyak pihak mengkhawatirkan, dengan darurat militer itu, tentara bisa bertindak lebih semena-mena. Media Myanmar Now, Minggu lalu, menyebutkan tentara kembali menembak pengunjuk rasa di Monywa, Sagaing. Min Min Zaw (23) tewas setelah ditembak di bagian kepala saat sedang memasang barikade di garis depan.
Meski korban tewas berjatuhan, warga tetap turun ke jalan menentang kudeta. Padahal, polisi dan tentara semakin tidak peduli siapa korbannya. Naing Lin Aung (30), seorang relawan palang merah, tewas ditembak di bagian kepala saat ia sedang ronda keliling kampung.
”Saat hari masih terang, banyak orang ditangkap. Lebih parah lagi saat malam tiba. Banyak orang ditembak saat malam. Malam hari sudah seperti daerah perang. Kita harus hati-hati menjaga keselamatan,” kata U Myint, warga daerah Mogok, Myanmar.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Mendiskreditkan Suu Kyi dengan Tuduhan Baru
Dalam salah satu rekaman video yang viral di Facebook dan dari pengakuan para saksi mata, disebutkan bahwa begitu keluar dari truk, tentara-tentara langsung menembaki warga sipil yang kebetulan ada di sekitar mereka. Tentara dan polisi juga menjaga klinik, rumah sakit, dan tempat pemakaman agar warga tidak berkumpul. Hanya keluarga korban yang diperbolehkan masuk.
Aparat keamanan, seperti dilaporkan media Irrawaddy, 20 Maret 2021, semakin tidak terkendali. Mereka bahkan membunuh anak usia 15 tahun, Aung Kaung Htet, warga Taheta, Yangon. Seorang saksi mata mengungkapkan, ia melihat tentara menembak ke segala arah selama 10 menit dan Aung tertembak di bagian pipinya. Sebelum Aung, ada Ko Thet Paing Soe (28) yang juga tewas ditembak di kepala.
Motor anak muda
Bentuk protes di Myanmar beragam dan kreatif melalui berbagai media dan memanfaatkan apa saja yang ada. Terlihat, misalnya, pohon-pohon dihiasi dengan kondom dan foto pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing. Atau seperti tampak di Mawlamyine, pengunjuk rasa meletakkan banyak boneka di tengah jalan sambil membawa pesan-pesan anti-junta. Pesan protes juga dilepaskan ke udara dengan memakai ratusan balon.
Gerakan protes di Myanmar, seperti protes di Hong Kong dan Thailand, dimotori oleh anak-anak muda. Pengamat Myanmar di Pusat Asia Tenggara, University of Sydney, Susan Banki, menjelaskan bahwa setelah kekuasaan junta militer berakhir dan Myanmar memulai transisi demokrasi, negeri itu menjadi terbuka pada dunia luar, termasuk pada budaya populer dan media sosial.
Baca juga: Kyal Sin, Simbol Perlawanan Anak Muda Myanmar
Kelas menengah baru pun bermunculan, termasuk anak-anak muda yang kini bergerak di jalanan. Anak-anak muda Myanmar, kata Banki, sadar politik karena kerap mendengar orangtuanya bercerita soal protes 1988 dan kekejaman junta militer kala itu. Kesadaran politik dan koneksi ke dunia luar melalui internet membuat anak-anak muda Myanmar tak terbendung.
”Masa depan saya jadi terlihat buram. Saya tidak akan membiarkan ada yang merusak masa depan saya,” kata Aung Hein Cho, salah satu pengunjuk rasa.
Anak-anak muda yang turun ke jalan tidak hanya berhaluan keras, tetapi juga kreatif dan disiplin. Mereka membuat rencana aksi yang rapi, teratur, sasarannya jelas, mendistribusikan makanan dan minuman, menyebarkan pamflet, dan berusaha melindungi aktivis agar tidak tertangkap. Mereka tidak bergerak sendiri karena mendapat dukungan dari masyarakat yang termasuk ”generasi protes 1988”. Itu sebabnya gerakan pembangkangan sipil di Myanmar meluas dalam waktu cepat.
Anak-anak muda yang turun ke jalanan sempat menikmati udara kebebasan demokrasi setelah puluhan tahun Myanmar terbelenggu pemerintahan otoriter dan terisolasi dari dunia luar. Sejak aturan sensor dicabut tahun 2012, jutaan anak muda untuk pertama kalinya terkoneksi dengan dunia luar melalui internet.
”Generasi baru yang sempat merasakan kebebasan politik ini adalah generasi yang percaya diri bisa meraih kehidupan yang jauh lebih baik ketimbang orangtuanya,” kata sejarawan Thant Myint-U, penulis buku The Hidden History of Burma.
Lihat juga foto-foto: Tiada Hari Tanpa Unjuk Rasa di Myanmar
Gerakan anak muda ini mendapat dukungan kuat dari semua lapisan masyarakat karena dibantu berbagai organisasi pelajar, mahasiswa, serikat buruh, kelompok masyarakat sipil, dan jaringan organisasi lainnya. ”Generasi anak sekarang tidak takut pada apa pun. Mereka hanya berpikir, kalau tidak melawan sekarang, tidak akan pernah ada lagi kebebasan. Mereka bergabung dengan generasi kami yang pernah hidup di masa junta dan sudah kapok,” kata Thinzar Shunlei Yi, aktivis hak asasi manusia di Yangon.
Kolaborasi tua-muda
Gerakan protes di Myanmar menjadi berbeda dari negara-negara lain karena ada dua kekuatan yang bergabung. Generasi protes 1988 mengurus perencanaan dan pengorganisasian protes. Sementara generasi muda kekinian menangani penggalangan massa dan penyebaran informasi melalui kekuatan internet, terutama media sosial.
Tidak ada yang mau kembali ke kekuasaan junta militer seperti di masa kekuasaan 26 tahun Jenderal Ne Win. Gara-gara Ne Win, Myanmar terisolasi dari dunia luar dan menjadi negara termiskin di dunia karena sistem satu partai sosialis dengan dominasi militernya. ”Perlawanan 1988 terjadi karena ketidakpuasan pada sistem sosialis. Perlawanan 2021 terjadi karena junta merebut kekuasaan pemerintahan sipil yang dipilih oleh rakyat,” kata Ye Laung Aung, mantan aktivis 1988 dan kini menjadi pegawai negeri sipil.
Elliot Prasse-Freeman, Guru Besar Sosiologi Antropologi di National University of Singapore menilai bahwa ingatan dan pengalaman hidup menderita di masa junta militer yang korup juga menambah amunisi perlawanan rakyat. Rakyat juga sudah tidak percaya kepada junta militer yang menjanjikan demokrasi karena pada akhirnya demokrasi itu tidak terwujud.
”Ini kenapa banyak orang yang berani melawan, bahkan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kudeta. Apalagi setelah aparat keamanan tega membunuh rakyatnya sendiri,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam kebrutalan aparat keamanan Myanmar. Junta militer tidak mau mendengarkan kecaman dan tuntutan komunitas internasional untuk menghentikan kekerasan. Dewan Keamanan PBB juga telah meminta junta militer mengakhiri pelanggaran HAM dan kembali ke jalur demokrasi. Komunitas internasional mesti bergerak cepat dengan tindakan tegas. Rakyat Myanmar tidak punya banyak waktu. (REUTERS/AFP/AP)