Myanmar Kembali ke Titik Nol
Kudeta menarik Myanmar mundur. Warga Myanmar dan dunia resah terhadap catatan hitam militer. Perlu langkah bersama untuk membawa kembali demokrasi ke negara itu.
Kudeta militer di Myanmar tak hanya menjadi pukulan bagi proses transisi demokrasi setelah selama 50 tahun berada di bawah kekuasaan junta militer. Namun, juga memukul perekonomian di tengah perjuangan menghadapi pandemi Covid-19. Perubahan peta investasi asing dimungkinkan jika rezim militer kembali mencengkeram. Investor-investor asing dari Barat yang datang ke negara itu selama satu dekade terakhir bersiap menarik investasinya.
Baca juga: Pengunjuk Rasa: Kami Tolak Kediktatoran Militer, Inginkan Demokrasi
Lembaga riset Fitch Solutions memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Myanmar pada tahun ini hanya akan mencapai maksimal 2 persen, turun dari proyeksi sebelumnya 5,6 persen. Tingkat pertumbuhan pada tahun 2022 juga diperkirakan hanya mencapai 2 persen, lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya di level 6 persen.
”Prospek pertumbuhan Myanmar sangat bergantung pada proyek infrastruktur utama dan investasi asing langsung, yang dapat ditunda atau dibatalkan jika sanksi diterapkan, dan jika entitas asing memutuskan untuk menarik diri di tengah meningkatnya risiko politik,” demikian tim riset Fitch Solutions.
Peluang investasi terbuka setelah tahun 2011, di saat militer melonggarkan cengkeraman tangan besinya. Pemerintahan yang lebih demokratis setelahnya menjadi pembuka jalan bagi reformasi demokrasi dan liberalisasi ekonomi di negara berpenduduk lebih dari 50 juta orang itu. Investor memompa uang mereka ke proyek telekomunikasi, infrastruktur, manufaktur, dan konstruksi.
Investor panik
Namun, kudeta militer, pekan lalu, seakan mengonfirmasi keragu-raguan di kalangan investor global. Kepanikan atas kembalinya kekuasaan militer pun terjadi. Pekerjaan konstruksi di pinggiran Yangon yang dimiliki investor asal Thailand senilai 1 miliar dollar AS langsung dihentikan pascakudeta. Perusahaan berbasis di Perth, Australia, yang menggarap tambang perak, seng, dan timah di Negara Bagian Shan, Myanmar, pun cemas.
Di tingkat negara, Amerika Serika di bawah kendali Presiden Joe Biden langsung membuka opsi penerapan kembali sanksi ekonomi setelah sanksi itu dicabut tahun 2016. Embargo ekonomi akan menekan ekonomi Myanmar. Sektor garmen, misalnya, telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi itu didukung sejumlah merek internasional, seperti H&M, Gap, dan Adidas, yang mengalihkan produksinya ke pabrik-pabrik di pinggiran Yangon.
Baca juga: Demo Antikudeta di Myanmar Membesar, Pengacara Tepis Isu Suu Kyi Dibebaskan
Menurut lembaga Capital Economics yang berbasis di Singapura, pakaian, alas kaki, dan tas buatan Myanmar mencapai sekitar 3 persen dari PDB Myanmar. Kembalinya militer dalam pemerintahan berisiko bagi nasib 700.000 pekerja industri tersebut.
Ekonomi negara itu sudah terguncang akibat pandemi Covid-19. Tekanan ekonomi mendorong Dana Moneter Internasional mengirim paket tunai darurat senilai 350 juta dollar AS, Januari lalu. Bank Dunia memperkirakan dampak virus tersebut dapat meningkatkan ”kerentanan rumah tangga dan potensi pengangguran”.
”Kudeta akan mendorong Myanmar lebih jauh ke dalam pelukan China dan ketidakseimbangan antara investasi China dan Barat di negara itu akan meningkat,” kata Francoise Nicolas, Direktur Institut Hubungan Internasional Perancis untuk wilayah Asia.
Nicolas menilai fleksibilitas moneter China sudah terlihat berkat inisiatif ”One Belt, One Road”. Hal itu mencakup visi luas untuk proyek maritim, kereta api, dan jalan raya di Asia, Afrika, dan Eropa, termasuk Myanmar.
Baca juga: Pendukung Kelompok Prodemokrasi Terus Melawan Junta Militer Myanmar
Risiko bagi perusahaan asing, yang sangat ingin menggunakan Myanmar sebagai basis produksi serta memanfaatkan pasar domestiknya yang baru lahir, ada tiga, yakni kemungkinan AS dan Eropa akan memberlakukan kembali sanksi terhadap negara itu, risiko reputasi melakukan bisnis di bawah rezim militer, dan ketidakpastian kebijakan.
Supant Mongkolsuthree, Ketua Federasi Industri Thailand, khawatir sanksi dari Barat dapat memengaruhi investasi Thailand di Myanmar. Thailand adalah mitra dagang terbesar kedua Myanmar untuk barang, dengan ekspor 3,2 miliar dollar AS dan impor 2,2 miliar dollar AS pada 2019, menurut statistik ASEAN. Thailand juga menginvestasikan lebih dari 1,1 miliar dollar AS di Myanmar antara 2015 dan 2020. Hal itu menjadikan Thailand sumber investasi asing terbesar keenam setelah negara-negara seperti Singapura, China, dan Jepang.
Perusahaan-perusahaan Jepang telah menginvestasikan lebih dari 1,7 miliar dollar AS di Myanmar sejak sanksi internasional mulai berkurang pada 2011. Produsen mobil, Suzuki Motor dan Toyota Motor, termasuk yang paling awal memasuki pasar Myanmar dan sedang memperluas kehadiran mereka di sana.
Berharap pada ASEAN
Harapan atas sebuah solusi di Myanmar disandarkan pada ASEAN. Menurut Guru Besar Tan See Seng, dari S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, rekam jejak ASEAN dalam melibatkan Myanmar dalam beberapa dekade terakhir, termasuk dalam mendorong demokratisasi di negara itu, ada.
Dalam opininya di Channel News Asia, Seng mengutip pendapat Bilahari Kausikan, mantan diplomat senior dari Singapura. Kausikan mencatat keanggotaan di ASEAN tidak boleh dianggap sebagai pemberian, tetapi harus dicabut jika dan ketika negara anggota organisasi itu berperilaku merugikan kepentingan kolektif ASEAN. Terlepas dari batasan-batasan ini, ASEAN di masa lalu telah menunjukkan kapasitas untuk mengatasinya dalam berurusan dengan Myanmar.
Baca juga: Mengapa Militer Sangat Kuat di Myanmar?
Ketika Topan Nargis menghancurkan Myanmar pada 2008, misalnya, ASEAN menanggapi kemarahan internasional atas kesalahan penanganan krisis oleh junta dengan bekerja secara langsung dengan militer dan berfungsi sebagai saluran bantuan dari komunitas internasional. ASEAN juga turut membantu membuka jalan menuju reformasi politik Myanmar berikutnya di bawah Perdana Menteri (dan kemudian Presiden) Thein Sein. Kelindannya mengarah pada peningkatan hubungan dengan AS, pembebasan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah, dan pemulihan NLD sebagai partai oposisi utama negara.
Myanmar bahkan sampai menerima pengamat pemilu ASEAN pada pemilihan sela parlementer tahun 2012. Keberhasilan ASEAN dalam hal itu menunjukkan kekuatan tekanan kelompok kolektif, ketika diterapkan dengan bijaksana pada titik-titik stres yang tepat, tidak boleh diremehkan. Penerapan itu dapat dilakukan bahkan dalam kondisi di mana sifat konsensus dan non-intervensi ASEAN tampak menghalangi.
Masyarakat sipil
Selain ASEAN, komunitas internasional juga diharapkan untuk mendesak militer Myanmar segera menghentikan kudeta agar situasi kembali normal. Sudah dua hari terakhir, ribuan orang, mayoritas anak muda, turun ke jalan memprotes kudeta. Jika ini berlanjut, Myanmar akan bisa kembali ke zaman batu. Apalagi kini jaringan telekomunikasi dan internet, terutama akses ke media sosial, seperti Facebook, Whatsapp, dan Twitter, pun diblokir.
Dilihat dari kecepatan militer mengambil alih kekuasaan, peneliti di University of Sydney, Sai Kyi Zin Soe, menilai kudeta itu sudah lama direncanakan dengan rapi. Militer kemudian mendapat momen atau celah kesempatan mengudeta karena Myanmar tengah menutup diri dari luar terkait pembatasan Covid-19. Militer tahu persis rakyat Myanmar terpecah-pecah dan tidak puas dengan pemerintahan sipil dan ini yang dimanfaatkan.
Baca juga: Militer Terus Tangkap Tokoh Sipil dan Diklaim Berlaku Buruk
Padahal, para pengamat politik Myanmar menduga alasan sebenarnya di balik kudeta militer hanya upaya militer melindungi bisnis mereka, terutama bisnis pemimpin militer Min Aung Hlaing dan keluarganya. Jika Myanmar sepenuhnya dipegang sipil, militer khawatir itu akan hilang. Ada juga persoalan lain di dalam tubuh militer. ”Ada perpecahan di dalam militer. Ada yang tidak senang dengan Hlaing karena dianggap terlalu rakus dan korup,” kata Soe.
Masyarakat sipil lebih mengkhawatirkan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar bisa menjadi semakin parah mengingat sejarah masa kelam junta militer yang berlaku kejam pada komunitas minoritas etnis Rohingya. Meski ribuan orang turun ke jalan untuk protes, melihat sejarahnya, masyarakat sipil sebenarnya kurang bersatu hingga bisa kuat melawan militer.
Namun, sebagian pengamat lain berpendapat gerakan protes kali ini berbeda. Selain anak muda yang turun ke jalan seperti di Thailand dan Hong Kong, kelompok profesional seperti dokter dan perawat pun mogok kerja. ”Dalam beberapa pekan ke depan, ini akan jadi seperti protes tahun 1988. Waktu itu tidak ada tokoh pemimpin sehingga berkisar saja di seputar konsep HAM dan demokrasi saja. Sekarang begitu lagi. Kita ini seperti berputar-putar dan kembali ke titik nol,” kata Soe. (AP/AFP/Reuters)