Myanmar Terima Utusan Khusus ASEAN dengan Syarat
Kelompok G-7 menegaskan kembali pentingnya menjaga Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka serta berdasarkan pada aturan hukum dan sejumlah nilai universal. Kelompok itu juga mendukung penyelesaian sengketa secara damai.
NAYPYIDAW, JUMAT — Junta militer Myanmar hanya bersedia menerima utusan khusus ASEAN saat negara itu aman dan stabil. Pengiriman utusan khusus itu merupakan bagian dari lima poin konsensus yang disepakati para pemimpin ASEAN pada bulan lalu.
Mayor Kaung Htet San, juru bicara junta, dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi, Jumat (7/5/2021), menyebutkan, ASEAN hendak mengirimkan utusan khusus ke negara yang tengah dilanda unjuk rasa menentang kudeta militer itu. ”Myanmar akan bekerja sama terkait utusan khusus itu saat level keamanan dan stabilitas tertentu telah tercapai,” katanya.
Kekerasan masih terus mendera Myanmar. Kelompok-kelompok etnis minoritas gencar melancarkan serangan terhadap rezim tersebut dan mendukung masyarakat yang turun ke jalan memprotes kudeta militer. Seperti yang terjadi pada Jumat, saat gerilyawan etnis minoritas Karen membakar sebuah pos militer. Insiden terjadi hanya sekitar 15 kilometer dari kamp militer yang mereka bakar 10 hari sebelumnya.
Sampai saat ini belum diketahui siapa yang akan mendampingi Sekretaris Jenderal ASEAN sebagai utusan khusus tersebut. Ada beberapa nama yang sudah muncul, sepeti mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan Marty Natalegawa, mantan PM Singapura Goh Chok Tong, dan pensiunan jenderal Thailand Boonsrang Niumpradit.
Sebelumnya, kelompok tujuh negara demokrasi atau G-7 menegaskan dukungan atas sentralitas Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik sekaligus berkomitmen untuk menjajaki kerja sama konkret yang sejalan dengan pandangan itu. Para menteri luar negeri G-7 pada sesi akhir pertemuan mereka di London, Rabu (5/5/2021), juga mengecam keras junta militer Myanmar dan meminta demokrasi kembali ditegakkan di negara itu.
”Kami mengakui bahwa kerja sama antara anggota G-7, ASEAN, dan pemangku kepentingan regional lainnya sangat penting karena kita membangun kembali kondisi yang lebih baik dari pandemi Covid-19 dan mengupayakan pemulihan berkelanjutan untuk mengatasi tuntutan perubahan iklim yang mendesak,” demikian para menlu G-7 dalam komunike yang dikeluarkan pada akhir forum.
G-7 beranggotakan Kanada, Perancis, Jerman, Inggris, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat, plus Uni Eropa. Inggris tahun ini mengetuai kelompok itu.
Baca juga: AS-Barat Galang Aliansi Hadang China-Rusia
G-7 juga menegaskan kembali pentingnya menjaga Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, inklusif, serta berdasarkan penegakan aturan, nilai-nilai demokrasi, integritas teritorial, transparansi, perlindungan hak asasi manusia, dan kebebasan fundamental. Kelompok itu juga mendukung penyelesaian sengketa secara damai dan menggarisbawahi niat untuk bekerja sama dengan ASEAN dan negara-negara lain secara damai lewat berbagai kegiatan.
Sebagai prioritas, G-7 menggarisbawahi pentingnya meningkatkan konektivitas regional melalui pembangunan infrastruktur yang berkualitas dan proyek-proyek yang konsisten dengan prinsip-prinsip G-20 secara berkelanjutan.
Pertemuan di London itu adalah pertemuan tatap muka pertama dari kelompok negara demokrasi terkemuka tersebut setelah lebih dari dua tahun. Pertemuan serupa dan KTT G-7 tahun lalu digelar secara virtual karena pandemi Covid-19. Untuk pertama kalinya pada tahun ini, ASEAN diundang untuk mengikuti pertemuan itu.
Dalam pernyataan yang dirilis Kedutaan Besar Inggris di Jakarta disebutkan, undangan untuk ASEAN dan India menunjukkan Inggris berusaha memperdalam hubungan dengan kawasan Indo-Pasifik. Hal itu sekaligus memperlihatkan betapa pentingnya kawasan tersebut dalam mereformasi dan menjaga tatanan internasional agar masyarakat terbuka dan ekonomi bisa berkembang.
Menurut Muhammad Rum, pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dukungan kelompok G-7 atas sentralitas ASEAN dan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik dapat dilihat sebagai upaya untuk membangun kesepahaman antara negara-negara tersebut dan ASEAN.
Bagi kedua pihak, stabilitas keamanan di perairan Indo-Pasifik sangat penting. Penyelesaian sengketa harus menitikberatkan pada kepatuhan terhadap hukum internasional. Kesepahaman ini akan memberikan pesan terhadap Pemerintah China untuk tidak melakukan tindakan-tindakan unilateral di tengah menegangnya suasana di Laut China Selatan (LCS).
Terlebih mencermati pengalaman sebelumnya, Pemerintah China telah menolak Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 yang menolak klaim China atas penguasaan nine dash line di LCS dan Pemerintah China tetap mengembangkan infrastruktur di sana hingga saat ini. (Muhammad Rum)
Pelanggaran terhadap norma-norma dan hukum internasional akan semakin memperuncing potensi konflik di antara negara-negara besar ini. ”Terlebih mencermati pengalaman sebelumnya, Pemerintah China telah menolak Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 yang menolak klaim China atas penguasaan nine dash line di LCS dan Pemerintah China tetap mengembangkan infrastruktur di sana hingga saat ini,” kata Rum.
Terkait posisi Ketua ASEAN yang diundang bersama Australia, India, Korea Selatan, dan Afrika Selatan dalam pertemuan menlu G-7 di Ingris, menurut Rum, upaya diplomasi oleh G-7 itu dapat dimaknai sebagai upaya memperkuat kemitraan, terutama demi menjaga stabilitas kawasan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan Indo-Pasifik. Dalam hal ini, Indonesia sebagai bagian dari ASEAN juga memiliki kepentingan yang sama. Setidaknya ada istilah atau ekspresi diplomatik yang sama, yang selama ini ditonjolkan, dalam upaya memperkuat kerja sama di kawasan Indo-Pasifik. Negara seperti AS, Jepang, Australia, India, dan Korsel telah memiliki visi tentang Indo-Pasifik.
Menuntut pembebasan
Dalam kecaman keras atas kudeta militer di Myanmar, para menlu G-7 menyerukan kepada junta militer Myanmar untuk mengakhiri keadaan darurat, memulihkan kekuasaan kepada pemerintah yang dipilih secara demokratis, dan membebaskan semua yang ditahan secara sewenang-wenang. Disebutkan, mereka termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, para pembela HAM, jurnalis, anggota masyarakat sipil, akademisi, guru, tenaga medis, pemuka agama, dan warga negara asing.
Baca juga: Sengketa Laut Memanas, Senator Filipina Minta Relasi dengan China Ditinjau Ulang
G-7 mengecam kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar dan penindasan kekerasan mereka terhadap pengunjuk rasa damai. G-7 akan mengambil langkah lebih lanjut jika militer tidak membalikkan langkahnya. Kelompok itu berkomitmen untuk terus mencegah pasokan, penjualan, atau transfer semua senjata, amunisi, dan peralatan terkait militer lainnya ke Myanmar serta pasokan kerja sama teknis.
”Militer dan polisi harus segera menghentikan kekerasan, menahan diri sepenuhnya dan menghormati hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia internasional,” demikian pernyataan lanjut para menlu G-7. ”Mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran dan pelanggaran HAM dan hukum HAM internasional harus dimintai pertanggungjawaban.”
Para menlu G-7 menyambut baik Pertemuan Pemimpin ASEAN pada 24 April 2021 di Jakarta untuk mempertemukan para pihak menuju penyelesaian krisis di Myanmar. Konsensus-konsensus pertemuan itu juga disambut baik G-7, di antaranya penunjukan utusan khusus Ketua ASEAN untuk memfasilitasi mediasi proses dialog, yang harus mampu melibatkan semua pihak di Myanmar. Ditegaskan, G-7 berkomitmen untuk mendukung upaya ASEAN secara konstruktif, termasuk pekerjaan Utusan Khusus ASEAN dan mendesak implementasi atas hal-hal itu secepat mungkin.
Para menlu G-7 menyatakan sangat prihatin atas memburuknya HAM dan situasi kemanusiaan di Myanmar sejak kudeta, termasuk pada kelompok etnis Rohingya. Kelompok itu menegaskan kembali tuntutannya agar junta militer Myanmar memberikan akses langsung dan tidak terbatas kepada PBB untuk memenuhi kebutuhan kritis populasi yang rentan. G-7 menekankan perlunya pemulangan pengungsi secara sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan dari Bangladesh dan tempat lain, mereka yang mengungsi di dalam negeri di Myanmar jika kondisinya memungkinkan. (REUTERS/FRO)