Dua Kubu di Myanmar Tetapkan Syarat untuk Laksanakan Konsensus ASEAN
Adanya syarat yang ditetapkan kedua belah pihak yang bertikai di Myanmar menunjukkan tidak ada jaminan bahwa lima poin konsensus ASEAN tersebut akan dijalankan dua kubu itu tanpa tindak lanjut ASEAN.
Oleh
LUKI AULIA DAN MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
NAYPYIDAW, RABU — Implementasi lima poin konsensus para pemimpin ASEAN untuk menyelesaikan krisis Myanmar dihadapkan pada tantangan tidak mudah. Pihak junta militer ataupun pemerintahan koalisi sipil prodemokrasi di Myanmar menetapkan syarat untuk melaksanakan konsensus itu.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) bentukan para anggota parlemen yang digulingkan dalam kudeta militer, Rabu (28/4/2021), menyatakan, mereka hanya mau mengikuti dialog konstruktif jika junta militer membebaskan semua tahanan politik. NUG mengatakan, ASEAN seharusnya berbicara dengan mereka sebagai perwakilan rakyat Myanmar yang sah.
”Sebelum ada dialog apa pun, semua tahanan politik harus dibebaskan terlebih dulu, termasuk Presiden U Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi,” kata Perdana Menteri NUG Mahn Winn Khaing Thann dalam pernyataan tertulis.
ASEAN selama ini berusaha mencarikan solusi atas krisis berdarah di Myanmar. Para pemimpin ASEAN, Sabtu lalu, menggelar pertemuan di Jakarta guna membahas krisis itu. Pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, hadir dalam pertemuan. NUG mengeluhkan mereka tak diundang dalam pertemuan itu.
Pertemuan para pemimpin ASEAN itu menghasilkan lima poin konsensus, yakni penghentian segera kekerasan di Myanmar, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Kelompok-kelompok aktivis Myanmar mengkritik tidak adanya konsensus soal pembebasan tahanan politik. Seruan pembebasan tahanan politik— antara lain disuarakan Presiden Joko Widodo—dicatat dalam Pernyataan Ketua ASEAN.
Tiga hari setelah pertemuan, Selasa (27/4/2021), junta militer merilis pernyataan bahwa mereka akan mengindahkan permohonan ASEAN untuk menghentikan kekerasan hanya ketika kondisi negara sudah stabil. ”Kunjungan ke Myanmar, seperti yang diusulkan ASEAN, akan dipertimbangkan setelah kondisi negara stabil,” kata Min Aung Hlaing dalam pernyataan yang dirilis media projunta, The Global New Light of Myanmar.
Dalam melaksanakan lima konsensus ASEAN, Min Aung Hlaing juga mensyaratkan akan mempertimbangkannya apabila hal itu sesuai dengan Piagam ASEAN, ASEAN Way, dan Semangat ASEAN, serta kepentingan Myanmar.
Segera tunjuk utusan
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lidya Cristin Sinaga, mengatakan, adanya syarat yang ditetapkan dua belah pihak yang bertikai di Myanmar menunjukkan tidak ada jaminan bahwa lima poin konsensus ASEAN itu akan dijalankan dua kubu itu tanpa tindak lanjut ASEAN.
”Perlu segera ada tindak lanjut dari ASEAN dengan menjadi fasilitator atau mediator yang menjembatani kedua belah pihak. Ketidakpercayaan kedua belah pihak satu sama lain, jika dibiarkan, membuat sulit pelaksanaan lima poin konsensus itu,” ujarnya.
Ia menyebut perlunya ASEAN segera menentukan utusan khusus yang akan berperan sebagai mediator di Myanmar. ”Momentum saat ini perlu dijaga, jangan sampai terlalu lama (ASEAN dalam menentukan utusan khusus),” kata Lidya.
Sejumlah nama muncul di bursa calon Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, antara lain dua mantan menteri luar negeri, yaitu Hassan Wirajuda dan Marty Natalegawa.
Sejak kudeta militer pada 1 Februari, gelombang protes prodemokrasi terus berlanjut di banyak daerah di Myanmar. Untuk meredam protes, militer menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa hingga menewaskan sedikitnya 750 orang. Krisis di Myanmar dikhawatirkan juga memperparah konflik-konflik lama selama bertahun-tahun antara militer dan kelompok perlawanan etnis minoritas. (REUTERS)