Selama 12 pekan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi menjalani tahanan rumah, tim pengacara Suu Kyi masih belum diperbolehkan bertemu tatap muka dengan Suu Kyi.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA — Junta militer Myanmar kembali menunda proses persidangan terhadap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi hingga 10 Mei mendatang tanpa alasan yang jelas. Selama 12 pekan Suu Kyi menjalani tahanan rumah, tim pengacara Suu Kyi masih belum diperbolehkan bertemu tatap muka dengan Suu Kyi. Proses hukum Suu Kyi pun tidak jelas karena aparat kepolisian diam seribu bahasa.
Hal ini dikemukakan pengacara Suu Kyi, Min Min Soe, Senin (26/4/2021) kemarin. ”Suu Kyi frustrasi dengan proses yang lamban. Saya rasa dia tidak mendapat akses melihat berita di televisi. Saya kira dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di Myanmar,” ujarnya.
Suu Kyi menjalani hukuman tahanan rumah karena dituduh bersalah dalam enam kasus, termasuk menyimpan alat komunikasi secara ilegal. Proses sidang Suu Kyi sebelumnya juga ditunda, tetapi ada alasannya, yakni tidak adanya jaringan internet yang tersedia sehingga proses sidang yang dilakukan melalui konferensi video terganggu. Padahal, junta militer juga yang mematikan jaringan internet, khususnya untuk jaringan data bergerak.
Aksi protes masih berlanjut di Myanmar dan menuntut junta militer segera membebaskan semua tahanan politik. Kelompok aktivis juga mengajak rakyat Myanmar untuk tidak lagi membayar listrik dan kredit pertanian sebagai bentuk perlawanan terhadap junta militer. Mereka menyebutkan, ajakan pembangkangan sipil ini dilakukan karena di dalam lima butir konsensus KTT ASEAN, yang digelar di Jakarta, Sabtu lalu, tidak disebutkan pembebasan tahanan politik Myanmar.
Konsensus KTT ASEAN yang juga dihadiri pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing, itu antara lain mendesak agar kekerasan di Myanmar dihentikan dan pemberian bantuan kemanusiaan bagi rakyat Myanmar. ”Rakyat Myanmar tidak meminta bantuan kemanusiaan. Yang diminta, komunitas internasional memperjuangkan kebenaran,” sebut Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik (AAPP).
Dalam pernyataan pertamanya, junta militer Myanmar menyatakan akan mempertimbangkan dengan cermat semua saran membangun dari ASEAN untuk menyelesaikan gejolak kekerasan yang dipicu oleh kudeta 1 Februari. ”Saran itu akan dipertimbangkan secara positif jika melayani kepentingan negara dan didasarkan pada tujuan dan prinsip ASEAN,” sebut junta militer secara tertulis, Selasa.
Seruan Obama
Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, juga mendesak negara-negara tetangga Myanmar untuk mengakui bahwa junta militer hanya membuat Myanmar tidak stabil dan mengarah ke krisis kemanusiaan, bahkan negara gagal. Sampai sejauh ini tercatat sedikitnya 750 orang yang tewas akibat kekerasan militer.
Obama juga mendukung upaya pemerintahan Presiden AS, Joe Biden, dan negara-negara lain untuk menjatuhkan sanksi pada para jenderal militer Myanmar. Kekerasan junta militer Myanmar yang tidak sah, brutal, dan memaksakan kehendak itu jelas tidak akan pernah bisa diterima rakyat Myanmar dan tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh dunia. Obama juga mendorong rakyat Myanmar terus mengupayakan demokrasi dan menjalin solidaritas antar kelompok etnis dan agama.
”Ini masa-masa yang suram, tetapi saya tergerak oleh persatuan, perlawanan, dan komitmen atas nilai-nilai demokrasi rakyat Myanmar. Upaya ini akan memberi harapan masa depan Myanmar yang lebih baik dengan pemimpin yang menghargai keinginan rakyat,” kata Obama.
Ketika dulu Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah dan diperbolehkan untuk memimpin, pemerintahan sipil membuka tender-tender energi dan telekomunikasi bagi perusahaan-perusahaan asing. Karena kondisinya pada waktu itu dinilai membaik, Obama lalu mencabut sanksi embargo perdagangan dan sanksi-sanksi lain. Namun, kini setelah junta militer melakukan kudeta, banyak sanksi yang kemudian diberlakukan kembali.
Sampai sejauh ini, negara-negara Barat seperti AS, Inggris, serta Uni Eropa, telah menjatuhkan sanksi terhadap para pejabat militer dan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan militer. Rusia dan China yang menjadi sekutu Myanmar memblokir respons yang lebih kuat dari UE, seperti embargo senjata. Juru bicara Pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan bahwa Myanmar harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. (REUTERS/AFP/AP)