Komunitas internasional berharap pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta dapat membuka peluang positif untuk meredakan krisis di Myanmar. ASEAN dan Myanmar memiliki pengalaman membangun sikap saling percaya.
Oleh
Kris Mada, Luki Aulia, B Josie Susilo Hardianto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komunitas internasional akan memusatkan sorotannya ke Jakarta, Sabtu (24/4/2021), yakni pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Pertemuan puncak ini menjadi upaya multilateral pertama yang dilakukan anggota ASEAN guna membahas kecamuk politik di Myanmar. Sejumlah pihak berharap pertemuan para pemimpin ASEAN mampu membuka peluang bagi penghentian kekerasan serta memulai upaya damai dan demokratis bagi Myanmar.
Dalam jumpa pers secara daring, Kamis (22/4/2021), juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat, mengatakan, ASEAN menyadari harapan komunitas internasional bahwa pertemuan di Jakarta mampu memberikan hasil konkret. ”Kini bergantung pada anggota ASEAN, termasuk Myanmar, untuk menjaga persatuan dan kredibilitas ASEAN,” ujarnya.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha tidak hadir dalam KTT karena harus memimpin penanganan pandemi Covid-19 di negaranya. Thailand mengutus Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai untuk mewakili PM Prayuth.
Presiden Rodrigo Duterte juga tak hadir karena isu Covid-19 di Filipina. Namun, Kementerian Luar Negeri Filipina mengatakan, Manila mendukung penuh KTT meski tanpa kehadiran semua pemimpin.
Sementara itu, PM Vietnam Pham Minh Chinh, PM Malaysia Muhyiddin Yassin, dan Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah memastikan hadir di Jakarta. Ketua Dewan Pemerintahan Sementara (SAC) Myanmar Min Aung Hlaing juga datang.
Militer Myanmar di bawah komando Panglima Min Aung Hlaing pada 1 Februari 2021 mengudeta pemerintahan sipil hasil pemilu yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Demonstrasi besar pun meletus di sejumlah kota, diikuti penangkapan aktivis dan penembakan terhadap warga sipil. Akibatnya, lebih dari 700 orang meninggal.
Harapan besar
Sejumlah pihak memiliki harapan besar pada pertemuan di Jakarta. Juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa, Stephane Dujarric, mengatakan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak para pemimpin ASEAN untuk membantu mencegah eskalasi krisis dan kemungkinan dampak kemanusiaan.
Kini, lebih dari 250.000 warga Myanmar mengungsi. ”Dunia harus segera bertindak guna mengatasi bencana kemanusiaan,” kata Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, lewat Twitter.
Mantan Duta Besar RI untuk Myanmar Ito Sumardi mengatakan, kesediaan Min Aung Hlaing hadir merupakan modal penting. ASEAN harus dapat memanfaatkannya untuk membangun kepercayaan. ”Jika tak dipercaya, ASEAN tak bisa terlibat dan membantu mencari solusi di Myanmar,” ujarnya.
Ito berharap, para pemimpin ASEAN dapat meyakinkan Min Aung Hlaing untuk membuka diri pada proses mediasi oleh ASEAN.
Senada dengan Ito, pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai kesediaan Hlaing untuk datang ke Jakarta adalah karena meyakini suara junta militer akan didengar dan tidak dipermalukan. Untuk itu, harapan Rezasyah, yang perlu dicapai dalam pertemuan itu adalah komitmen Myanmar untuk menjelaskan secara detail rencana Pemilu 2022 mendatang, kesediaannya bersama ASEAN mencapai sasaran ASEAN Community, dan menjunjung tinggi ASEAN Charter serta UN Charter.
”Junta militer yang datang ke KTT ASEAN adalah sebuah pemerintah yang sudah lelah mengelola diri mereka sendiri, kesulitan menjalankan pembangunan secara berkelanjutan, dan sadar jika mereka sudah dipermalukan didalam dan luar negeri,” kata Reza.
Akan tetapi yang perlu dicatat, pengalaman di sejumlah kawasan lain menunjukkan, intervensi pihak luar justru memperburuk keadaan. Suriah, Irak, Afghanistan, hingga Yaman adalah contoh nyata kondisi yang memburuk kala kekuatan luar masuk dalam konflik internal.
Analis Senior pada S Rajaratnam School of International Studies, Singapura, Lee Hui Ying, mengatakan, diplomasi ASEAN bisa meningkatkan kenyamanan pemimpin militer Myanmar pada ASEAN. Dengan demikian, mereka mau berkomunikasi dengan ASEAN.
Sejauh ini, Myanmar pernah beberapa kali membuka diri untuk ASEAN terkait sejumlah masalah di dalam negeri. Myanmar setuju berkomunikasi dengan ASEAN soal repatriasi orang Rohingya. Meski dirasa sebagian pihak terlalu lamban, komunikasi ASEAN-Myanmar tetap terbuka.
Menurut Muhammad Rum, dosen Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, KTT ASEAN harus dilihat sebagai awal proses demokratis. ”KTT dapat membantu upaya diplomasi untuk memastikan demokratisasi di kawasan tetap diupayakan. Ini satu langkah untuk menunjukkan negara-negara ASEAN tak pernah menyepakati jalan-jalan inkonstitusional,” katanya.
Menurut Rum, ASEAN telah memiliki pengalaman menyertai Myanmar dalam peta jalan menuju demokrasi terdahulu. ”Ada kesempatan untuk memperbaiki yang terlewatkan dari proses terdahulu. Pertama-tama, ASEAN harus memastikan keamanan seluruh warga negara Myanmar, pembebasan tahanan-tahanan politik, tindakan represi dihentikan, akses informasi dipulihkan. Secara paralel, ASEAN dapat memberikan mandat kepada AICHR dan mengundang komunitas internasional untuk mencermati dan memberikan rekomendasi normalisasi kondisi keamanan di Myanmar,” kata Rum lebih lanjut.
Peneliti Bidang Perkembangan Politik Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lidya Christin Sinaga, menilai, KTT ASEAN menjadi langkah awal merumuskan peta jalan untuk menghentikan kekerasan militer, mengutamakan hak masyarakat sipil, dan mengembalikan pemerintahan sipil di Myanmar. ”Lewat pertemuan tatap muka ini, anggota ASEAN diharapkan satu suara untuk terlibat dalam upaya regional menangani krisis di Myanmar,” ucapnya. (AFP/REUTERS)