Hampir dua bulan krisis politik melanda Myanmar, belum ada langkah nyata ASEAN untuk meredakannya. Bisakah ASEAN diandalkan menangani krisis itu?
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Gugatan itu wajar untuk dikemukakan. Sejak militer melancarkan kudeta di Myanmar pada 1 Februari lalu, disusul unjuk rasa tiada henti oleh rakyat penentang kudeta militer hingga jatuh korban jiwa—menurut pencatatan Asosiasi Bantuan bagi Para Tahanan Politik (AAPP)—sedikitnya 459 orang per Minggu (28/3/2021), ASEAN baru mengeluarkan dua pernyataan. Pernyataan pertama pada 1 Februari lalu, melalui pernyataan Ketua ASEAN; pernyataan kedua dirilis pada 2 Maret lalu oleh Ketua ASEAN, seusai sidang informal para menteri luar negeri ASEAN.
Isi dua pernyataan itu bersifat normatif, lebih menonjol dengan ungkapan keprihatinan dan seruan, serta tidak ada tindak lanjut dari pernyataan itu. Ada penekanan kepada pihak-pihak di Myanmar agar menempuh jalan dialog dan rekonsiliasi dalam dua pernyataan itu. Namun, tidak ada langkah nyata ASEAN untuk memastikan hal itu terlaksana. Kita mencatat, hari demi hari konflik di Myanmar bukannya mereda, melainkan makin parah.
Pada peristiwa hari Sabtu (27/3/2021) tercatat 114 orang tewas—beberapa di antaranya adalah anak berusia di bawah 16 tahun—akibat kebrutalan aparat junta Myanmar. Itu jumlah korban terbesar dalam sehari sejak kudeta 1 Februari. Baru sehari berselang, seperti dilaporkan harian ini, aparat junta kembali menembaki warga yang berkabung dan menghadiri upacara pemakaman di dekat kota Yangon.
Berbagai cerita dan laporan tentang kebrutalan aparat junta Myanmar itu memperlihatkan ASEAN belum berperan dalam mengatasi krisis di negara itu. Sampai kini tak terlihat upaya diplomatik Brunei Darussalam selaku Ketua ASEAN guna menggalang langkah bersama di kalangan negara-negara anggota ASEAN.
Di tengah stagnasi ASEAN itu, Presiden Joko Widodo pada 19 Maret lalu menyatakan usulan kepada Brunei untuk menggelar pertemuan tingkat tinggi membahas krisis Myanmar. Usulan itu didukung Malaysia, Filipina, dan Singapura. Kita masih menanti respons Brunei terhadap desakan yang disampaikan empat negara pendiri ASEAN ini.
Problem yang dihadapi ASEAN saat ini bukan hanya soal isu keketuaan yang lamban mengoordinasikan langkah bersama. Problem lainnya—mungkin ini paling krusial—adalah soal kekompakan negara ASEAN. Kehadiran wakil tiga negara ASEAN, yakni Vietnam, Laos, dan Thailand, pada parade militer Hari Angkatan Bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Sabtu lalu, bisa dibaca memperlihatkan posisi negara itu.
Peran ASEAN dalam menangani krisis Myanmar kian mendesak dan harus dijalankan. Bukan hanya mencegah yang dikhawatirkan sejumlah kalangan soal ancaman perang saudara di negara itu, melainkan juga menghalangi campur tangan kekuatan dunia, seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia, yang menjadikan krisis Myanmar sebagai ajang persaingan pengaruh di antara mereka di Asia Tenggara.