Ironis, di satu sisi Tatmadaw menyerukan demokrasi, tapi di sisi lain mereka melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan tidak memercayai mekanisme demokratis.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
Jumat pekan lalu, sebagaimana diberitakan kantor berita Associated Press, pemimpin kudeta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, mendesak rakyat Myanmar untuk bekerja sama dengan militer jika mereka menginginkan demokrasi. ”Saya dengan serius akan mendesak seluruh bangsa untuk bergandengan tangan dengan Tatmadaw (sebutan untuk militer Myanmar) untuk keberhasilan realisasi demokrasi,” kata Hlaing.
Upaya lain yang dilakukan Hlaing untuk menunjukkan bahwa militer prodemokrasi adalah suratnya kepada Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, Rabu lalu. Kepada wartawan di Bangkok, Prayuth mengatakan, Hlaing meminta dukungan Thailand untuk ”demokrasi” di Myanmar.
Boleh jadi permintaan itu diduga karena situasi politik Thailand tak banyak berbeda. Prayuth adalah pemimpin junta militer Thailand yang menggulingkan pemerintahan PM Yingluck Shinawatra pada tahun 2014. Melalui pemilu 2019—banyak dikritik karena diduga sarat kecurangan—Prayuth berhasil melanggengkan kekuasaannya.
Namun, sebagian warga Myanmar dan komunitas internasional tidak bersimpati pada seruan Hlaing. Unjuk rasa warga Myanmar, baik di dalam maupun luar negeri, yang menentang pemerintah militer membuktikan itu. Amnesty International pun mencibir pembebasan tahanan oleh junta. Mereka menilai pembebasan itu dilakukan untuk mengalihkan perhatian dari penahanan semena-mena aktivis prodemokrasi oleh aparat keamanan Myanmar.
Tatmadaw mengklaim, mereka terpaksa turun tangan karena Pemerintah Myanmar gagal menyelidiki tuduhan kecurangan dalam pemilu November lalu. Namun, Tatmadaw mengabaikan Komisi Pemilihan yang secara konstitusional berwenang menyelesaikan sengketa pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 399 Huruf G Konstitusi tahun 2008.
Tak heran jika banyak pihak tidak percaya pada ajakan Hlaing agar rakyat bekerja sama dengan militer untuk kemajuan demokrasi. Ironis, di satu sisi Tatmadaw menyerukan demokrasi, tapi di sisi lain mereka melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan tidak memercayai mekanisme demokratis.
Peluang
Namun, upaya Hlaing meminta tolong Prayuth terkait gejolak politik di Myanmar dapat menjadi pintu masuk bagi sejumlah pihak, termasuk ASEAN dan Indonesia, untuk terlibat. Dalam Piagam ASEAN, antara lain pada bagian pembukaan, disebutkan dengan jelas bahwa rakyat negara-negara anggota ASEAN mematuhi prinsip-prinsip demokrasi, aturan hukum dan tata pemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, serta kebebasan-kebebasan fundamental.
Namun, apakah mungkin mendesakkan prinsip itu pada satu negara anggota ketika ASEAN juga memegang teguh prinsip untuk tidak mencampuri atau mengintervensi urusan dalam negeri setiap anggota?
Ada sejumlah mekanisme yang mungkin dapat dipertimbangkan, antara lain melalui mekanisme konsultatif, baik melalui Komisi HAM negara-negara anggota ASEAN (AICHR) maupun forum-forum lain. Indonesia yang dikenal luwes dan sabar dengan diplomasi yang tidak merundung dapat berbagi pengalaman, bagaimana transisi demokrasi dialami hingga hari ini, termasuk mengembangkan supremasi sipil.
Memang, menurut Indeks Demokrasi 2019, kajian Economist Intelligence Unit, demokrasi di beberapa negara ASEAN masuk kategori tidak sempurna, bahkan beberapa di antaranya masuk kategori negara otoriter. Oleh karena itu, komunitas ASEAN perlu belajar bersama untuk berdemokrasi, tentu saja tidak sekadar pada tataran prosedural. Bagaimanapun, transformasi membutuhkan waktu dan konsistensi.