Kisah Perang Siber Iran, Menguak Strategi Teheran Menandingi Serangan Israel-AS
Arena permusuhan Iran-Israel merambah berbagai front, termasuk di ruang siber. Perang siber dua negara itu telah berlangsung satu dekade terakhir, dengan diwarnai perang intelijen secara sengit.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Tuduhan Iran secara resmi, Senin (12/4/2021) lalu, bahwa Israel berada di balik sabotase terhadap instalasi nuklir Natanz, yang menyebabkan putusnya aliran listrik instalasi nuklir tersebut, Minggu (11/4), adalah bagian dari rangkaian panjang pertarungan siber Iran-Israel selama satu dekade terakhir ini.
Natanz, sekitar 400 kilometer selatan kota Teheran, selama ini dikenal menjadi salah satu sasaran utama serangan Israel karena merupakan pusat pengayaan uranium di Iran. Sebelumnya, Juli 2020, instalasi nuklir Natanz juga mendapat serangan siber yang menyebabkan pula putusnya aliran listrik dan operasi instalasi nuklir itu.
Pada tahun 2010, Natanz dan instalasi nuklir Iran lainnya juga menjadi sasaran serangan siber melalui virus Stuxnet yang melumpuhkan sistem komputer di sejumlah instalasi nuklir Iran. Serangan tersebut kala itu dilancarkan AS dan Israel dengan nama sandi operasi "Laga Olimpiade (Olympic Games)". Kasus ini merupakan salah satu serangan siber terbesar.
Serangan dengan virus Stuxnet bertujuan menyabotase program nuklir Iran dengan cara menyusupkan virus terhadap program jaringan elektronik yang menggerakkan proses pengayaan uranium di instalasi nuklir Natanz. Serangan itu melumpuhkan sistem unit mesin operasi pengayaan uranium. Serangan dengan virus Stuxnet pada tahun 2010 ini dinilai sukses oleh AS-Israel karena mampu mengganggu operasi instalasi nuklir Natanz.
Virus Stuxnet dikembangkan bersama oleh Badan Pusat Intelijen AS (CIA) dan dinas intelijen luar negeri Israel (Mossad) pada era Presiden AS George W Bush (2001-2009). Virus itu dibuat khusus untuk mengganggu atau melumpuhkan program nuklir Iran. CIA dan Mossad pada tahun 2009 menggunakan agen mata-mata warga Iran yang telah direkrut dan dilatih oleh dinas intelijen Belanda melalui koordinasi dengan CIA dan Mossad.
Iran sangat terkejut atas bentuk sabotase terhadap instalasi nuklir Natanz yang dinilai aneh saat itu karena metode serangannya belum dikenal. Negara-negara lain juga terkejut atas model serangan siber atas instalasi nuklir Iran saat itu.
Kesadaran baru
Banyak negara, termasuk Iran, segera mengembangkan kemampuan sibernya untuk melindungi keamanan instalasi militer serta sistem jaringan ekonomi dan keuangannya. Laporan dunia tahun 2015 mengungkap, anggaran dunia atas keamanan siber mencapai 75 hingga 100 miliar dollar AS, dan anggaran tersebut akan naik sekitar 7-16 persen dalam lima tahun mendatang.
Di Timur Tengah, negara-negara yang paling cepat memberi perhatian dan sekaligus mengalokasikan anggaran besar atas pengembangan siber adalah Israel, Iran, dan Turki. Kasus serangan siber atas jaringan instalasi nuklirnya tahun 2010 telah menyadarkan Iran untuk segera mengembangkan kemampuan siber dalam melawan serangan siber berikutnya.
Iran saat itu sadar bahwa serangan siber atas jaringan instalasi nuklirnya pada tahun 2010 bukanlah yang terakhir. Insiden itu akan disusul dengan serangan-serangan siber berikutnya yang lebih canggih. Teheran pun sadar, jaringan instalasi nuklirnya akan menjadi sasaran utama serangan siber.
Iran sadar pula bahwa negara yang terlibat dalam serangan siber atas instalasi nuklirnya pada tahun 2010 adalah negara-negara besar yang memiliki teknologi canggih, seperti AS dan Israel. Teheran sejak awal sudah mencurigai AS dan Israel kemungkinan besar terlibat dalam serangan siber atas instalasi nuklirnya tahun 2010.
Iran menganggap AS dan Israel, selain memiliki teknologi canggih, adalah juga lawan politik dan ideologi. Teheran menetapkan, konflik dengan AS dan Israel bukan lagi konflik di ranah konvensional, tetapi sudah merambah ke konflik siber. Bagi Iran, tidak pilihan lain kecuali segera mengembangkan kemampuan sibernya.
Iran juga melihat pengembangan kemampuan sibernya adalah bagian dari proyek militer yang sejalan dengan budaya dan strategi Iran sejak revolusi Iran tahun 1979. Iran memandang pengembangan kemampuan siber adalah bagian dari perang.
Iran memandang, pengembangan kemampuan sibernya dalam memperkuat dan melindungi program nuklir Iran pada gilirannya memperkuat pula legitimasi rezim para Mullah yang berkuasa di Iran. Karena itu, rezim Iran kemudian membentuk beberapa lembaga siber untuk memperkuat pengembangan siber.
Pemimpin Spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei pada Maret 2012 membentuk Dewan Tertinggi Siber (Supreme Council of Cyberspace, SCC), yang menaungi lembaga-lembaga siber di Iran. Ada dua tugas utama SCC Iran, yakni, tugas yang bersifat pertahanan dan tugas penyerangan. Tugas pertahanan adalah melindungi infrastruktur proyek-proyek strategis, terutama proyek nuklir Iran. Tugas penyerangan dijalankan dengan melancarkan serangan siber balik atas serangan siber dari musuh-musuh Iran.
Saling bobol
Di bawah naungan SCC Iran adalah pasukan Siber Iran atau ICA (Iran’s Cyber Army). Disinyalir, pasukan Garda Revolusi Iran menggagas dan membidani pembentukan ICA. ICA bertugas menyusup dan menerobos media-media sosial internasional yang dianggap anti Iran, seperti Instagram, Twitter dan Facebook. ICA mendapat tugas khusus menerobos media sosial di negara-negara lawan politik Iran, seperti AS, Israel, plus gerakan-gerakan oposisi Iran di luar negeri.
Berkat ICA, Iran dalam satu dekade terakhir ini menjadi pemain utama sektor siber di kawasan Timur Tengah.
Keberhasilan Iran mengembangkan kemampuan sibernya tak lepas dari dukungan tradisi keilmuan yang kuat di bidang teknologi informasi dan komunikasi di perguruan-perguruan tinggi di Iran.
Keberhasilan Iran mengembangkan kemampuan sibernya tak lepas dari dukungan tradisi keilmuan yang kuat di bidang teknologi informasi dan komunikasi di perguruan-perguruan tinggi di Iran. Perguruan-perguruan tinggi di Iran juga dikenal mempunyai tradisi keilmuan dan riset yang kuat di bidang teknologi nuklir. Iran pun memiliki segudang ilmuwan teknologi informasi dan kemunikasi andal kelas dunia.
Lembaga-lembaga keamanan Iran, seperti Garda Revolusi dan milisi semimiliter Basij, juga dikenal memiliki pengalaman melancarkan aksi mata-mata siber dan memantau gerakan-gerakan anti-Iran. Lembaga lain di bawah naungan SCC Iran adalah Dewan Siber Basij atau Basij Cyberspace Council (BCC) yang telah dibentuk sejak tahun 2010.
Berkat ICA dan BCC, Iran memiliki kemampuan melancarkan serangan siber terhadap instalasi keamanan dan keuangan di negara-negara anti-Iran, seperti di AS, Israel dan Arab Saudi. Menurut laporan The New York Times edisi 24 November 2015, para peretas Iran menyerang perusahaan minyak terbesar Arab Saudi, Aramco. Akibat serangan peretasan itu, sekitar 30.000 data dalam sistem komputer di Aramco mendadak hilang.
Menurut harian Asharq Al-Awsat edisi 26 September 2019, Iran telah melancarkan serangan siber atas 200 sasaran di Asia, Afrika, Eropa, dan AS. Negara-negara Arab Teluk yang cenderung tidak bersahabat dengan Iran, seperti Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA) sering menjadi sasaran serangan siber Iran.
Berkat ICA dan BCC pula, Iran mampu membendung serangan siber dari musuh-musuh Iran dan segera memperbaiki instalasi nuklirnya yang menjadi sasaran serangan siber musuh. Karena itu, meskipun instalasi nuklir Natanz di Iran telah beberapa kali mendapat serangan siber, antara lain pada tahun 2010, Juli 2020, dan April 2021, instalasi nuklir tersebut tetap mampu beroperasi melakukan pengayaan uranium.
Dampak dari perang siber Iran-Israel, yang terus berlangsung hingga kini, adalah kedua negara tersebut saling berusaha menyebarkan mata-mata dalam upaya membantu proses perang siber itu. Harian Asharq Al-Awsat edisi 12 Agustus 2020 mengungkap, aparat keamanan Iran menangkap lima warga Iran dengan tuduhan menjadi mata-mata untuk Israel, Inggris, dan Jerman.
Di pihak lain, Pengadilan kota Jerusalem pada 9 Januari 2019 menjatuhkan vonis 11 tahun penjara kepada mantan Menteri Energi Israel, Gonen Segev, dengan dakwaan sebagai mata-mata untuk Iran. Hal ini menguatkan bahwa perang intelijen menjadi bagian tak terpisahkan dari perang siber Iran-Israel yang sudah berlangsung lebih satu dekade ini.