Selama Rakyat Masih Melawan, Kudeta Militer di Myanmar Belum Berhasil
"Militer mengira, jika mereka sudah menangkap Aung San Suu Kyi dan tokoh lain, rakyat (Myanmar) akan takut. Itu dulu. Sekarang berbeda. Rakyat tidak mau lagi kembali ke zaman dulu."
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kudeta militer yang dilakukan junta militer Myanmar belum bisa dikatakan berhasil karena rakyat masih melawan. Rakyat Myanmar tidak mau kembali ke masa kekuasaan junta militer yang membelenggu kebebasan dan transisi demokrasi. Meski setiap hari ada korban tewas yang berjatuhan, rakyat tak gentar karena tak mau impian kebebasan terampas kembali dan hidup dalam kegelapan.
Hal itu dikemukakan Pendiri dan Pemimpin Redaksi The Irrawaddy Aung Zaw dalam diskusi mengenai perkembangan Myanmar #WhatsHappeninginMyanmar yang dimoderatori Rosalia Sciortino, Pendiri dan Direktur Eksekutif SEA Junction, Kamis (25/3/2021).
Situasi di sejumlah daerah di Myanmar kian tak menentu. Meski terus melawan setiap hari di jalanan, warga masyarakat mulai takut bicara menyampaikan informasi kepada wartawan. Aung Zaw mengatakan, warga takut ketahuan menyebarkan informasi. Oleh karena itu, wartawan semakin sulit mendapatkan informasi dari warga. Jika pun bisa mendapatkan informasi, pengiriman informasinya pun tidak mudah karena adanya pemblokiran jaringan internet.
”Wartawan yang ada di lapangan harus bekerja diam-diam, bersembunyi, dan pindah-pindah lokasi agar tidak ditangkap aparat keamanan,” kata Aung Zaw.
Situasi di Myanmar kian berisiko karena junta militer memberlakukan status darurat militer. Dengan status itu, militer bisa berbuat apa saja dengan mengatasnamakan pemulihan keamanan dan ketertiban. Jika situasi ini dibiarkan terus, dikhawatirkan Myanmar akan terjerumus pada perang saudara dan menjadi negara yang gagal.
Aung Zaw mengatakan, janji militer akan memulihkan demokrasi dinilai tidak masuk akal. Bukan demokrasi jika aparat keamanan menangkap semua orang yang bertentangan dengan militer. Rakyat melawan karena junta militer merampas impian dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
”Myanmar sudah mulai terbuka ke dunia luar kemarin meski terbatas, tetapi militer merampas itu semua. Dengan status darurat militer ini, berarti tidak ada hukum sama sekali. Militer bisa berbuat semaunya,” ujar Aung Zaw.
Kondisi keamanan yang memburuk membuat semakin banyak orang, termasuk aparat keamanan, mengungsi ke perbatasan Thailand dan India. Ini mengkhawatirkan apalagi pada masa pandemi Covid-19. Untuk itu, rakyat Myanmar membutuhkan bantuan dari komunitas internasional, seperti ASEAN atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk memberi respons yang tegas dan formal.
Aung Zaw menilai, junta militer tidak mengira perlawanan rakyat akan segigih ini. Militer juga tidak menduga perlawanan justru kuat dari generasi Z. Kekuatan generasi Z didukung media sosial yang menyebarkan informasi dengan cepat. Berbagai cara protes pun disampaikan dengan damai dan cara yang kreatif serta memberikan harapan.
”Militer mengira, jika sudah menangkap Aung San Suu Kyi dan tokoh lain, rakyat akan takut. Itu dulu. Sekarang berbeda. Rakyat tidak mau lagi kembali ke zaman dulu,” kata Aung.
Tekanan internasional
Sementara itu, Amerika Serikat dan Inggris kembali menekan junta militer Myanmar dengan memasukkan bisnis-bisnis yang dikendalikan militer ke daftar hitam. Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi baru terhadap Myanma Economic Holdings Public Company Limited dan Myanmar Economic Corporation Limited. Kedua perusahaan itu merupakan bagian dari jaringan bisnis militer yang bergerak di beragam sektor, dari pertambangan sampai pariwisata.
Semua aset perusahaan tersebut dibekukan. AS juga melarang perusahaan atau individu AS berdagang atau melakukan transaksi finansial dengan mereka yang ada di daftar hitam itu. ”Sanksi ini spesifik menyasar mereka yang terlibat dalam kudeta, kepentingan ekonomi militer, dan membiayai pembiayaan militer. Sanksi ini tidak ke rakyat Myanmar," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.
Inggris juga menjatuhkan sanksi kepada Myanma Economic Holdings Ltd karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan bekerja sama dengan tokoh-tokoh junta militer. Menlu Inggris Dominic Raab mengatakan bahwa sanksi itu akan bisa menguras sumber keuangan junta militer. Uni Eropa menjatuhkan sanksi pada 11 orang dan juga akan menyasar sejumlah konglomerat.
Meski berbagai negara sudah mengecam junta militer, pelapor Khusus PBB untuk HAM di Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan tanggapan diplomatik masih lambat menangani krisis Myanmar. (REUTERS)