AS dan Eropa Jatuhkan Sanksi Terbaru untuk Rezim Junta Militer
Amerika Serikat dan Uni Eropa kembali menjatuhkan sanksi terbaru kepada sejumlah pejabat dan kelompok militer serta entitas bisnis junta militer Myanmmar.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Amerika Serikat dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi terbaru kepada sejumlah petinggi junta militer dan kelompok yang terkait dengan kudeta militer di Myanmar. Sanksi baru itu muncul saat kekerasan aparat keamanan junta militer mencapai tingkat yang oleh menteri luar negeri Jerman disebut sebagai ”tak tertahankan”, Senin (22/1/2021).
Bagi Uni Eropa (UE), sanksi ini menandai respons paling signifikan blok itu sejak kudeta militer terjadi 1 Februari lalu. Ada 11 pejabat Myanmar yang dikenai sanksi, termasuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta tak berdarah untuk merampas kekuasaan pemerintahan sipil demokratis. Warga prodemokrasi Myanmar menyebut pemerintahan Hlaing ilegal.
”Kami akan menjatuhkan sanksi terhadap 11 orang yang terlibat dalam kudeta dan kekerasan terhadap demonstran,” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell setelah para menteri luar negeri UE mengadopsi larangan perjalanan dan pembekuan aset pada 11 orang itu dalam pertemuan di Brussels, Senin siang waktu setempat.
Sebelumnya, sejak 2018, UE telah menjatuhkan sanksi embargo senjata kepada Myanmar dan menargetkan sejumlah perwira tinggi militer di sana.
Setelah ini, sanksi yang lebih ketat akan dikeluarkan untuk menyasar bisnis junta militer Myanmar. Para diplomat UE menyampaikan, sejumlah bisnis militer, seperti Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC), kemungkinan menjadi target sanksi. Investor dan perbankan UE dilarang berhubungan bisnis dengan mereka.
Entitas bisnis tersebut memiliki portofolio yang luas merambah dari pertambangan dan manufaktur, makanan dan minuman, hotel, telekomunikasi, hingga perbankan.
”Kami tidak menghukum warga Myanmar, tapi mereka yang terang-terangan melanggar hak asasi manusia,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas.
Sementara AS sudah menjatuhkan sanksi kepada Min Aung Hlaing beserta sejumlah jenderal Myanmar sebelumnya atas kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya.
”Tindak kekerasan yang mematikan oleh aparat keamanan Myanmar terhadap protes damai harus berakhir,” kata Andrea Gacki, Direktur Pengawasan Aset Asing Departemen Keuangan AS. ”Kami tetap bersama warga Myanmar.”
Sanksi AS kali ini menarget perwira polisi senior Than Hlaing dan perwira militer Aung Soe serta dua divisi Angkatan Darat Myanmar, yakni Divisi Infanteri Ringan 33 dan Divisi Infanteri Ringan 77. Dua divisi terakhir ini terkenal sangat kejam dalam menindak pengunjuk rasa dan dalam kasus kekerasasan di Rakhine terhadap etnis minoritas Rohingya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, Divisi Infanteri Ringan 33 telah menembakkan peluru tajam ke kerumunan demonstran di Mandalay. Kedua divisi tersebut merupakan bagian dari ”strategi sistemik terencana untuk meningkatkan penggunaan kekuatan militer mematikan.”
Bulan lalu, Washington membekukan cadangan dana sekitar 1 miliar dollar AS yang dipegang bank sentral Myanmar di The Fed yang coba ditarik oleh junta setelah kudeta. Departemen Keuangan AS juga menjatuhkan sanksi pada 14 pejabat Myanmar yang terlibat kudeta bersama sejumlah perusahaan milik junta militer.
Setelah sanksi diumumkan, junta militer Myanmar tidak memberikan tanggapan dan sejauh ini mereka tidak terpengaruh oleh sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara Barat.
Menurut kelompok Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 250 orang telah tewas di tangan aparat keamanan junta militer saat membubarkan protes yang terjadi di banyak kota di Myanmar.
Pada Senin (22/3/2021), tiga pengunjuk rasa kembali tewas di Kota Mandalay, termasuk seorang remaja laki-laki berusia 15 tahun.
Junta terus mencoba menjustifikasi kudeta dengan mengatakan pemilu 8 November yang dimenangi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) Aung San Suu Kyi diwarnai kecurangan.
Padahal, komite pemilu sendiri menyatakan tidak ada kecurangan yang terjadi dalam pemilu itu. Para pemimpin militer menjanjikan pemilu yang baru, tetapi belum menentukan kapan akan digelar.
Suu Kyi yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas kampanye demokrasinya di Myanmar ditahan dan menghadapi sejumlah tuduhan, termasuk suap. Pengacaranya menyebut tuduhan itu dibuat-buat.
Sementara itu, BBC mengatakan bahwa jurnalisnya yang sempat ditahan junta militer Myanmar dibebaskan, Senin (22/3/2021). Jurnalis tersebut, Aung Thura, ditahan pada 19 Maret 2021 oleh beberapa orang yang ternyata aparat keamanan berpakaian sipil ketika meliput di luar gedung pengadilan di ibu kota Naypyidaw.
Penangkapan pekerja media merupakan bagian dari peningkatan intensitas aparat keamanan untuk memblokir informasi pembangkangan sipil yang terjadi di Myanmar ke dunia luar.
Sekitar 40 jurnalis telah ditangkap sejak kudeta terjadi yang separuhnya masih ditahan hingga kini, termasuk Thein Zaw dari Associated Press.(REUTERS/AP/AFP)