Merespons Kebrutalan Aparat Junta, AS Perketat Pengawasan Ekspor ke Myanmar
AS memasukkan Myanmar dalam daftar kelompok yang sama dengan Rusia dan China sebagai negara yang diawasi terkait pemanfaatan teknologi. AS membatasi ekspor produk yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan militer Myanmar.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Pemerintah Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi kepada rezim junta militer Myanmar. Kali ini pengetatan pengawasan ekspor ke Myanmar. AS memasukkan kembali Myanmar ke dalam daftar kelompok yang sama dengan Rusia dan China yang juga diawasi terkait pemanfaatan teknologi dan bahan sensitif apa pun.
Pembatasan ekspor tersebut khusus pada produk-produk yang kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk keperluan militer.
Keputusan itu, menurut Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Kamis (4/3/2021) waktu setempat, diambil sebagai respons terhadap kekerasan mematikan aparat keamanan Myanmar terhadap para pengunjuk rasa antikudeta. ”Kami meminta demokrasi segera dipulihkan di Myanmar,” tulis Blinken di Twitter.
Departemen Perdagangan AS menyebutkan, peraturan baru itu memengaruhi ekspor ke Departemen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri Myanmar serta dua perusahaan milik negara, Korporasi Ekonomi Myanmar dan Myanmar Economic Holding Limited.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, menyuarakan kemarahan setelah 50 pengunjuk rasa tewas ditembak aparat keamanan. ”Ini menunjukkan junta militer tidak menghargai rakyatnya sendiri. Ini tidak bisa diterima,” ujarnya.
Sanksi baru AS itu memaksa Myanmar tunduk pada AS karena AS mewajibkan perusahaan pemasok di AS untuk mendapatkan lisensi AS agar dapat mengirimkan barang-barang tertentu ke Myanmar. Proses ini diperkirakan akan dipersulit.
Sanksi baru tersebut lebih berat ketimbang sanksi sebelumnya yang diberikan Presiden AS, Joe Biden, bulan lalu. Sanksi sebelumnya diberikan kepada menteri pertahanan serta tiga perusahaan pada sektor giok dan permata.
AS tidak akan membiarkan junta militer Myanmar terus mendapatkan keuntungan dari akses produk-produk yang datang dari AS. Kedua perusahaan Myanmar, Korporasi Ekonomi Myanmar dan Myanmar Economic Holdings Limited, dinilai AS termasuk perusahaan yang digunakan oleh junta militer Myanmar untuk mengendalikan perekonomian Myanmar melalui perusahaan induk dan anak perusahaannya, mulai dari bir, rokok, telekomunikasi, ban, pertambangan, hingga properti.
Kelompok advokasi, Keadilan untuk Myanmar, menyebutkan bahwa Kementerian Dalam Negeri Myanmar yang memimpin kepolisian telah membeli teknologi pemantauan media sosial dan lain-lain dari perusahaan-perusahaan AS. ”Sanksi AS sudah tepat dan mestinya ada sanksi juga untuk Kementerian Transportasi dan Komunikasi karena selama ini membantu memenuhi kebutuhan militer akan teknologi pengawasan dan represi,” kata juru bicara Keadilan untuk Myanmar, Yadanar Maung.
Ia juga menilai sanksi embargo senjata terhadap Myanmar juga harus dipertegas karena tanpa senjata, militer pasti akan lumpuh.
Banyak pihak sebenarnya tidak yakin, apakah sanksi AS itu akan bisa memengaruhi kekuatan junta militer AS. Pasalnya, AS tidak banyak mengirimkan teknologi untuk kebutuhan militer setiap tahunnya.
”Volume perdagangannya sebenarnya kecil sehingga dampaknya tidak akan terlalu besar. Kalau mau dampaknya besar, mestinya menyasar aset-aset keuangan para pemimpin militer Myanmar,” kata William Reinsch, mantan pejabat di Departemen Perdagangan AS.
Jika hal itu dilakukan, mereka pasti akan kesulitan memperoleh teknologi untuk memperkuat militer atau apa pun yang mereka butuhkan. Sampai saat ini Pemerintah AS belum menjatuhkan sanksi yang sangat berat terhadap para konglomerat di kalangan junta militer Myanmar. AS bisa saja memblokir semua transaksi pejabat di Myanmar dengan siapa pun di AS dan menutup akses semua perusahaan sasaran dari sistem perbankan AS. (REUTERS/AFP)