Junta Militer Melawan Anarki, Tidak Menyesal Telah Membunuh
Komunitas internasional mengecam tindakan brutal aparat keamanan. Namun, junta militer membela diri bahwa tindakan diambil karena tidak menoleransi tindakan anarki.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NAYPYIDAW, RABU —Junta militer Myanmar akhirnya buka suara untuk membela diri atas berjatuhannya korban jiwa akibat tindakan keras aparat keamanan junta terhadap massa pengunjuk rasa.
Sejauh ini sedikitnya 260 pengunjuk rasa tewas ditembak mati aparat junta. Namun, itu harus dilakukan karena junta militer tidak menoleransi tindakan-tindakan anarki.
Juru bicara junta militer Myanmar, Zaw Min Tun, mengemukakan hal itu pada Selasa (23/3/2021) siang. ”Saya sedih karena teroris-teroris yang tewas itu warga negara kita. Kami harus menindak tegas anarki. Negara mana yang mau membiarkan anarki?” ujarnya.
Suasana sejumlah kota di Myanmar selama tujuh pekan bak medan peperangan dengan aparat keamanan yang menembaki pengunjuk rasa tak bersenjata. Aparat keamanan menggunakan gas air mata, peluru karet, dan peluru hidup untuk membubarkan massa.
Sedikitnya 260 orang tewas dan mayoritas berusia muda. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan, ada anak SMP di Mandalay yang tewas ditembak ketika hendak mengambil air di depan rumahnya.
Organisasi Save the Children prihatin karena banyak korban tewas yang masih berusia anak-anak.
Komunitas internasional mengecam tindakan brutal aparat keamanan. Namun, Zaw Min Tun membela diri dengan mengatakan, aparat keamanan menghadapi ”kelompok perlawanan yang memegang senjata”.
Bukan hanya pengunjuk rasa yang tewas, melainkan ada juga lima polisi dan empat tentara. Meski korban tewas terus berjatuhan, pengunjuk rasa tetap turun ke jalan dengan aksi damai, kecuali membangun barikade-barikade di berbagai sudut jalan untuk menghambat pergerakan aparat junta.
Selain membubarkan massa, junta militer juga berusaha menutup akses informasi ke luar dengan memberangus sejumlah media lokal dan menangkap puluhan wartawan. Jaringan internet data mobile masih ditutup dan tidak ada rencana untuk menghidupkan kembali.
Junta militer juga sedang menyelidiki penasihat Aung San Suu Kyi dari Australia, Sean Turnell, terkait kasus hukum imigrasi dan kerahasiaan negara. Turnell, guru besar ilmu ekonomi itu, adalah warga asing pertama yang ditahan junta militer pascakudeta.
Tekanan dari komunitas internasional menguat dengan berbagai sanksi terhadap junta militer. Uni Eropa, Senin, menjatuhkan sanksi terhadap pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing, dan 10 pejabat senior lainnya.
UE menyatakan Min Aung Hlaing bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Amerika Serikat juga sudah memasukkan para pemimpin junta ke dalam daftar hitam dan kembali menjatuhkan sanksi pada kepala kepolisian Myanmar dan komandan operasi khusus militer karena merekalah yang bertanggung jawab menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Departemen Keuangan AS mengatakan, sejak Than Hlaing ditunjuk sebagai kepala kepolisian dan wakil menteri dalam negeri pada 2 Februari lalu, aparat keamanan bertindak brutal pada pengunjuk rasa.
Komandan militer, Aung Soe, bertanggung jawab mengirim pasukan keamanan untuk menghadapi pengunjuk rasa dengan memakai senapan dan taktik yang menunjukkan penggunaan kekerasan yang direncanakan dan dikoordinasikan dengan baik.
Namun, berbagai sanksi itu belum efektif mengganjar junta militer. Bahkan, junta militer memberlakukan status darurat militer di enam wilayah di Yangon. Akibat kekerasan brutal aparat keamanan, banyak warga mulai meninggalkan Yangon.
Kedutaan Besar Australia memperingatkan warganya untuk bersiap berlindung dan melengkapi diri dengan kebutuhan hidup. Junta militer Myanmar sudah meminta warga Australia untuk keluar dari Myanmar.
Untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk, Thailand sudah mempersiapkan diri untuk mengantisipasi gelombang pengungsi berjumlah puluhan ribu orang ke Thailand. (AFP)