Kisah Pelarian Polisi dan Warga dari Kebrutalan Junta Militer
Kekejaman junta dalam menghadapi massa prodemokrasi yang menentang kudeta militer di Myanmar membuat ribuan orang, termasuk ratusan polisi, melarikan diri ke India.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Gelombang pembangkangan publik terus terjadi dan tiada hari tanpa demonstrasi di Myanmar meski sudah lebih dari 280 orang tewas akibat penembakan oleh aparat junta militer di tengah gelombang protes terhadap kudeta yang terjadi pada 1 Februari lalu. Para pengunjuk rasa tidak gentar menghadapi tindakan keras dan brutal aparat junta.
Sebagian orang sudah tak kuat dengan tindakan brutal dan tidak berperikemanusiaan aparat junta militer Myanmar. Mereka akhirnya melarikan diri dengan cara sembunyi-sembunyi ke negara tetangga, India. Di antara mereka terdapat ratusan personel polisi yang menentang kebrutalan junta militer itu.
Dibantu oleh jejaring aktivis di kedua sisi perbatasan, mereka keluar dari Myanmar dengan menggunakan mobil, sepeda motor, atau berjalan kaki melewati hutan belantara. Wilayah yang menjadi titik masuk warga Myanmar di India adalah Negara Bagian Mizoram. Sesampainya di sana, warga pelarian itu mendapat perlindungan yang aman dan makanan dari aktivis dan warga lokal.
Titik perbatasan antara Mizoram dan Myanmar yang membentang sepanjang 510 kilometer telah lama berubah-ubah. Ketentuan bebas visa memungkinkan arus orang dan barang dari kedua wilayah berjalan bebas.
Jaringan aktivis dan sukarelawan menggunakan media sosial, kartu SIM dari kedua negara, mobil jip yang tangguh, dan pengetahuan rute penyelundupan orang di sepanjang Sungai Tiau yang sempit mengalir di antara pegunungan yang memisahkan India dan Myanmar.
Para polisi lari karena takut dianiaya setelah menolak mematuhi perintah junta militer untuk menembak para pengunjuk rasa. Beberapa polisi mengaku takut dipenjara jika ketahuan melarikan diri dari Myanmar. ”Ini urusan hidup dan mati,” ujar Puia (29), aktivis yang membantu warga dan polisi Myanmar di kota Champai, sekitar tujuh jam berkendara dari Aizawl, ibu kota Mizoram.
Salah seorang yang mengatur bagian kritis di jaringan Mizoram timur adalah seorang guru asli Myanmar yang berbicara dalam bahasa asalnya dan menguasai beberapa dialek lokal. Ia menggambarkan perannya dalam jaringan itu dengan anonim. Dirinya meninggalkan Myanmar di awal penindasan terhadap protes prodemokrasi oleh junta militer tahun 1988. Sebanyak 3.000 orang meninggal dalam penindasan itu.
Pria tua itu mengatakan, permintaan bantuan dari orang-orang di seberang perbatasan pertama kali muncul pada 26 Februari 2021 ketika aparat junta Myanmar mengintensifkan penggunaan kekerasan untuk membubarkan unjuk rasa prodemokrasi. Ia menerima sekitar 10 permintaan bantuan dalam sehari lewat telepon dan Facebook.
Perbuatan pria itu membantu warga Myanmar keluar dari negaranya dikhawatirkannya akan berdampak buruk pada profesinya sebagai guru sekolah negeri. Saat diwawancarai pada 11 Maret 2021, guru tersebut mengaku telah membantu lebih kurang 80 orang keluar dari Myanmar. Sumber lain mengatakan, jumlah sesungguhnya bisa dua kali lipat dari itu.
Guru itu mengungkapkan, banyak orang Myanmar yang melintasi perbatasan diarahkan kepadanya oleh sebuah kelompok di Negara Bagian Chin, Myanmar. Salah seorang saudaranya yang tinggal di Chin adalah bagian dari kelompok tersebut.
Dua polisi yang belum lama ini melintasi perbatasan menuju India mengatakan, mereka dipandu kelompok sukarelawan di Myanmar. Salah satu di antaranya bernama Peng yang melarikan diri awal Maret 2021. Ia mengatakan telah mendekati ”orang muda” di Chin untuk membantunya lari.
Peng mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan untuk lari dari Myanmar dan melintasi perbatasan India mulai 29 dollar AS hingga 143 dollar AS, bergantung pada jarak tempuh. Biaya ini sebagian besar dipakai untuk transportasi, seperti menyewa mobil atau patungan untuk membayar taksi.
Menurut anggota parlemen India, K Vanlalvena, sejak Februari 2021, ada lebih dari 1.000 orang yang lari dari Myanmar dan telah tiba di Mizoram. Jumlah itu termasuk 280 polisi dan sekitar 20 anggota pemadam kebakaran. Jika sampai ratusan polisi melarikan diri ke India, sebenarnya bisa dirasakan seperti apa kekerasan junta militer Myanmar.
Masuknya polisi dan warga Myanmar ke India bisa menimbulkan persoalan diplomatik bagi India yang memiliki hubungan dekat dengan Tatmadaw, militer Myanmar. Arus warga Myanmar itu juga memicu keterbelahan antara Pemerintah India di New Delhi, yang ingin menahan warga Myanmar, dan Pemerintah Negara Bagian Mizoram yang memiliki sentimen lokal yang ingin membantu mereka.
Kementerian Luar Negeri India dan Pemerintah Negara Bagian Mizoram tidak memberikan tanggapan atas hal ini. Sebelumnya, New Delhi menyatakan ”keprihatinan yang mendalam” atas kudeta di Myanmar dan menegaskan demokrasi dan supremasi hukum harus ditegakkan. (REUTERS/ADH)