Warga dan Polisi Myanmar Lari ke India, Negara Lain Mesti Bersiap
Negara-negara tetangga mesti bersiap menyambut gelombang pengungsi dari Myanmar. Saat ini, ratusan warga dan puluhan polisi Myanmar telah tiba di perbatasan India.
YANGON, MINGGU — Negara tetangga, baik negara-negara di ASEAN maupun lainnya, harus bersiap menerima warga Myanmar pencari suaka. Kebrutalan dan represi aparat junta yang meningkat dengan mengabaikan tekanan internasional, membuat warga dan polisi meninggalkan Myanmar.
Kantor berita Reuters, Minggu (21/3/2021), melaporkan, masyarakat sipil terus menggelar aksi protes damai di sejumlah kota untuk menentang rezim represif junta militer. Mereka membakar lilin, sejak Sabtu (20/3) malam dan hingga kemarin, untuk mendoakan dan mengenang para korban tewas.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAP) menyebutkan, hingga Minggu pagi sudah 247 orang tewas akibat penembakan aparat, sejak dua hari setelah kudeta pada 1 Februari. Namun, Badan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan, korban tewas lebih dari yang dilaporkan.
Situasi yang semakin buruk telah membuat puluhan anggota kepolisian Myanmar memilih desersi. Mereka menolak perintah untuk menembak dan membunuh warga sipil dengan melarikan diri ke India. Belum terdata secara pasti jumlah mereka, tetapi besar kemungkinan masih terus bertambah.
Baca juga: Indonesia Dorong Krisis Myanmar ke Level Tertinggi di Kawasan
Di India, para polisi yang belum jumlahnya pastinya itu mendesak pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi untuk tidak mengirim mereka pulang ke Myanmar dan memberikan mereka suaka politik atas dasar kemanusiaan. Banyak pula warga sipil juga sudah menyeberang ke negara-negara tetangga.
”Apa yang kami inginkan adalah bila dan kecuali krisis diselesaikan di Myanmar, kami tidak ingin kembali ke sana,” kata salah satu pria, yang mencari perlindungan di sebuah desa di Negara Bagian Mizoram, India timur laut, yang berbagi perbatasan langsung dengan Myanmar.
Tindakan keras aparat junta militer di Myanmar telah memaksa puluhan pengungsi melewati perbatasan ke India. Otoritas negara bagian dan federal India belum memberikan angka apa pun. Akan tetapi, beberapa pejabat di negara bagian menyatakan, jumlah pengungsi mencapai ratusan orang setiap hari.
Sebuah desa di India, yang berbatasan dengan Myanmar, telah menjadi tempat perlindungan bagi 34 perseonel polisi dan satu petugas pemadam kebakaran yang menyeberang ke negara tersebut. Belum diketahui berapa jumlah total polisi yang berada di desa-desa perbatasan lainnya di India.
Beberapa orang polisi Myanmar mengatakan, mereka melarikan diri setelah melanggar perintah militer untuk menembak warga sipil yang menentang kudeta bulan lalu. Mereka berbicara dengan jurnalis kantor berita Associated Press dengan syarat anonim karena khawatir akan balas dendam terhadap anggota keluarga yang masih berada di Myanmar.
Salah satu polisi yang membelot, mengatakan, tentara Myanmar memerintahkan mereka untuk ”menangkap, memukuli, menyiksa para pengunjuk rasa”.
Baca juga: Kudeta Diri Demokrasi Myanmar
Selain itu, mereka adalah yang paling depan berhadapan dengan massa bila ada unjuk rasa, bagian dari gerakan pembangkangan nasional yang telah berlangsung sejak 3 Februari lalu atau dua hari setelah kudeta 1 Februari. ”Kami tidak punya pilihan lain selain meninggalkan negara kami,” katanya.
Klaim mereka belum bisa dibuktikan di lapangan. Tapi, fakta dari sejumlah laporan yang dikeluarkan beberapa LSM hak asasi manusia, seperti AAPP, kekerasan bersenjata aparat militer Myanmar telah mengakibatkan hampir 250 orang warga sipil Myanmar tewas sejak kudeta awal bulan lalu.
Pemerintah federal India dan Pemerintah Negara Bagian Mizoram sempat berselisih mengenai persoalan pengungsi pencari suaka asal Myanmar ini. Namun, pemerintah Mizoram telah mengizinkan pengungsi masuk, memberikan mereka makanan, dan bahkan tempat tinggal sementara.
Namun, pekan lalu, Kementerian Dalam Negeri India mengatakan kepada empat negara bagian India yang berbatasan dengan Myanmar, termasuk Mizoram, untuk mengambil tindakan guna mencegah pengungsi memasuki India kecuali atas dasar kemanusiaan.
Kementerian mengatakan negara-negara bagian tidak berwenang untuk memberikan status pengungsi kepada siapa pun yang masuk dari Myanmar. Sebab, India bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 atau Protokol 1967.
Pada Kamis, pejabat tertinggi Mizoram yang terpilih, Zoramthanga, menulis kepada Modi dan mengatakan India tidak dapat menutup mata terhadap krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di negaranya.
Zoramthanga, pejabat tertinggi di Negara Bagian Mizoram, dalam suratnya kepada Modi menyatakan, warga di negara bagiannya, yang memiliki ikatan etnis dengan para pengungsi dari komunitas Chin di Myanmar, tidak bisa tetap acuh tak acuh dengan keadaan buruk mereka. Dia mendesak pemerintah federal untuk meninjau kembali keadaan itu dan mengizinkan pengungsi masuk ke India.
Peringatan soal melebarnya konflik di Myanmar, tidak sebatas pengambilalihan pemerintahan sipil oleh junta militer pimpinan Jenderal Ming Aung Hlaing disampaikan pengajar Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhammad Rum.
Dia mengatakan, terbuka kemungkinan bila sayap kelompok militer sipil yang terafiliasi dengan beberapa etnis mulai bergerak. ”Kekhawatiran konflik meluas dan melibatkan kelompok militer sipil. Bila tidak ditangani, efeknya bisa lebih luas lagi,” kata dia.
Direktur Eksekutif Human Rights Wacth, Kennet Roth, mengatakan, jika negara-negara demokrasi gagal memulihkan kembali pemerintahan sipil di Myanmar, makan hal itu akan beresonansi internasional. ”Hal ini dapat mendorong pemerintah otoriter dan pemimpin militer lainnya di seluruh dunia, yang mungkin memiliki ambisi politik serupa,” kata Roth di Twitter.
Situasi terkini di Myanmar
Situs berita daring The Irrawaddy melaporkan, para biksu, insinyur, pegawai negeri sipil dan warga turun ke jalan-jalan di kota kecil Ye U, Negara Bagian Sagaing, Minggu, untuk memprotes kudeta militer.
Situs Myanmar Now menyebutkan, sekitar 1.000 orang warga China kelahiran Myanmar, berkumpul di Taipei, Taiwan, beraksi menentang junta militer. Sementara itu, pewarta foto AP di Seoul juga melaporkan, aksi protes menentang kudeta di Myanmar digelar di dekan wihara Buddha Jogyesa di Seoul, Korea Selatan, Minggu (21/3/2021).
Korban tewas pun berjatuhan akibat penembak jitu di pusat Kota Monywa. Meski tidak disebutkan jumlah korban, situasi itu tidak menyurutkan warga Myanmar di 20 kota untuk terus memprotes kudeta militer dan pemerintahan yang ilegal di bawah Jenderal Ming Aung Hlaing.
Aksi menyalakan lilin pada Sabtu (20/3/2021) malam dilanjutkan dengan aksi turun ke jalan di lebih dari 20 kota di seantero Myanmar, Minggu ini, mulai dari Yangon hingga kota di Negara Bagian Kachin di Myanmar utara sampai ke kota paling selatan, Kawthaung.
”Kegagalan rezim militer, tujuan kami tujuan kami ... Demokrasi federal, tujuan kami tujuan kami,” teriak massa sambil mengacungkan salam tiga jari.
Baca juga: Korban Terus Bertambah, Dunia Kembali Kecam Brutalisme Junta Militer Myanmar
Keingingan untuk membentuk Negara Federal terus diupayakan oleh Komite yang Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) dan sejumlah pemerintah negara bagian.
”Kami sudah sekitar 80 persen mengarah ke sana.Kami sedang mendiskusikan bagaimana kami dapat bekerja bersama dalam situasi seperti ini. Kami berusaha agar satu suara bisa bersatu,” kata Zin Mar Aung, anggota parlemen dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang ditunjuk sebagai penjabat Menteri Luar Negeri oleh CRPH, dikutip dari situs berita Irrawaddy.
Baca juga: Empat Skenario Mengatasi Krisis Myanmar
Di antara mereka yang terlibat dalam pembicaraan tersebut adalah Persatuan Nasional Karen, Dewan Pemulihan untuk Negara Bagian Shan, dan Tentara Kemerdekaan Kachin, serta kelompok lain yang telah menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata Nasional.
Zin Mar Aung mengatakan, CRPH terus melakukan pembicaraan dengan berbagai kelompok bersenjata baik secara individu maupun kolektif untuk mencapai kesepakatan tentang syarat-syarat pembentukan serikat federal.
Beberapa hal yang masih menjadi halangan, menurut dia, adalah kecurigaan masa lalu. ”Kami bekerja sama untuk menghapusnya dan membangun kepercayaan. Kami perlahan mulai membangun beberapa kesamaan sekarang,” katanya.
Keterlibatan kelompok militer sipil yang merupakan sayap militer masing-masing etnis menurut dia adalah untuk pembentukan tentara federal, yang memiliki etika.
”Tentara profesional sejati tidak akan pernah bertindak seperti preman,” tambahnya, mencatat bahwa di bawah rezim saat ini, tentara telah bertindak lebih sebagai penindas daripada sebagai pelindung rakyat.
Baca juga : Aparat Bubarkan Paksa Demo Menentang Kudeta
Sementara, Hlaing, Sabtu (20/3/2021), mengunjungi pulau-pulau Coco, salah satu pos terdepan paling strategis di Myanmar, yang berjarak sekitar 400 km (250 mil) selatan Yangon. Di sana, dia mengingatkan anggota pasukan bahwa tugas mereka adalah mempertahankan negara dari serangan tentara asing.
Tidak jelas apa yang dimaksud oleh Jenderal Hlaing mengenai ancaman eksternal. Pulau-pulau Coco merupakan wilayah yang dekat beberapa rute pelayaran terpenting dunia, perairan tempat China dan India berusaha memproyeksikan kekuatan militer mereka. (AP/REUTERS/AP/MHD/CAL)