Makin Represif Tindakan Junta, Makin Militan Perlawanan Rakyat Myanmar
Strategi represif dan kekerasan junta militer dengan terus melakukan pembunuhan terhadap para pengunjuk rasa di Myanmar semakin menyalakan semangat perlawanan rakyat Myanmar.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
MANDALAY, SENIN — Pemimpin pemerintahan bayangan dari kelompok sipil di Myanmar, Mahn Win Khaing Than, mengajak rakyat terus melawan junta militer yang mengudeta pemerintahan sipil, 1 Februari lalu. Saat bersamaan, perlawanan rakyat terhadap junta kian militan, dan direspons aparat dengan kian brutal, mengakibatkan korban terus bertambah.
Hingga Minggu (14/3/2021), korban tewas akibat kebrutalan aparat junta dalam unjuk rasa selama 1,5 bulan terakhir hampir menembus 100 orang. Pada Minggu kemarin, menurut media Myanmar Now yang mengutip petugas penyelamat dan petugas medis di rumah sakit, sedikitnya 14 orang tewas akibat tembakan aparat keamanan dalam unjuk rasa di Yangon.
Dari laporan saksi mata dan media setempat, dua orang lain tewas ditembak di kota Bago, dekat Yangon, dan di Hpakant, wilayah utara negara itu. Sehari sebelumnya, sedikitnya 13 orang juga tewas.
Menurut informasi yang dikumpulkan The New York Times, lebih dari seperlima dari para korban itu tewas akibat tembakan di kepala. Lebih dari seperlima korban adalah para remaja usia belasan tahun. Disebutkan, strategi junta terlihat ingin meneror rakyat dengan pembunuhan setiap hari dan kekerasan tanpa batas dengan harapan bahwa perlawanan rakyat Myanmar meredup.
Akan tetapi, pengunjuk rasa antikudeta militer justru semakin militan dalam melawan junta. ”Ini masa-masa tergelap negeri ini. Demokrasi federal menjadi impian seluruh rakyat yang selama puluhan tahun menderita dalam tekanan kediktatoran, dan revolusi ini menjadi kesempatan kita mewujudkan demokrasi bersama-sama,” kata Mahn Win Khaing Than, yang ditunjuk menjadi pemangku wakil presiden Myanmar oleh para anggota parlemen yang digulingkan junta militer, dalam video melalui Facebook, Sabtu.
Pernyataan Mahn Win Khaing Than itu merupakan pernyataan publik pertama dari pemerintahan sipil sejak kudeta. Pemerintah bayangan menyatakan, kelompok-kelompok etnis minoritas di Myanmar yang tertindas selama kekuasaan junta militer bisa ikut berperan dalam pemerintahan Myanmar.
Ia menambahkan, pemerintahan sipil mencoba membuat undang-undang yang memungkinkan rakyat memiliki hak untuk membela diri melawan kekerasan militer.
Kota praja Monywa di Myanmar tengah menyatakan sudah membentuk pemerintahan lokalnya sendiri lengkap dengan satuan kepolisian. ”Kita tidak akan menyerah pada ketidakadilan militer. Kita akan mengukir masa depan kita bersama dengan persatuan. Misi ini harus kita capai,” kata Than yang kini tengah bersembunyi bersama para tokoh senior partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Junta militer menggulingkan pemerintahan sipil, 1 Februari lalu, dengan menuding ada kecurangan pemilu Myanmar yang dimenangi secara telak oleh NLD pimpinan Aung San Suu Kyi, November lalu. Merespons tindakan junta, sekelompok anggota parlemen—sebagian besar mereka kini bersembunyi—membentuk ”parlemen” bayangan Komite untuk Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH).
Sementara junta militer yang membentuk pemerintahan Dewan Administrasi Negara menuding pembentukan CRPH sama dengan pengkhianatan dan bisa diganjar hukuman penjara maksimal 22 tahun.
Perlawanan agresif
Setelah CRPH mengajak rakyat terus melawan militer, gelombang pengunjuk rasa kembali turun ke jalanan kota Yangon, Dawei, dan Monywa, Minggu (14/3/2021). Bahkan, para pengunjuk rasa pun tetap turun ke jalan pada malam hari seperti di Mandalay dan kota-kota lain sejak Jumat lalu meski junta militer memberlakukan jam malam.
Unjuk rasa pada malam hari merefleksikan pertahanan diri yang lebih agresif. Ini karena aparat kepolisian juga agresif berpatroli di kawasan permukiman pada malam hari dengan menembakkan senjata ke udara dan granat setrum untuk mengintimidasi rakyat.
Aparat juga menangkapi orang-orang yang menjadi target operasi dari rumah mereka. Ada dua kasus orang ditangkap, lalu tewas di tahanan beberapa jam setelah diciduk polisi di rumah.
Meski dikecam sejumlah pihak, bahkan komunitas internasional, aparat keamanan Myanmar tetap menembaki para pengunjuk rasa. Jumlah korban tewas dikhawatirkan jauh lebih banyak karena banyak rumah sakit yang dijaga aparat keamanan sehingga hasil visum dan informasi korban disembunyikan.
Pakar independen hak asasi manusia untuk Myanmar di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tom Andrews, pekan lalu mengaku mendapat laporan kredibel bahwa ada paling tidak 70 orang yang tewas. ”Ini bukti militer melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Di kota Yangon, ratusan orang berunjuk rasa dan memasang barikade dengan pagar kawat dan kantong pasir untuk memblokir aparat keamanan. Tak peduli, aparat keamanan tetap melemparkan gas air mata dan menembaki para pengunjuk rasa. ”Mereka seperti sedang berada di medan perang melawan orang-orang tidak bersenjata,” kata aktivis Myat Thu di Mandalay.
Salah seorang pengunjuk rasa, Thu Tun, mengaku melihat dua orang ditembak dan salah satunya biksu. Ada juga seorang sopir truk di kota Chauk yang tewas ditembak di bagian dadanya oleh polisi. (REUTERS/AFP/AP/SAM)