Indonesia Mesti Dorong Dialog ASEAN-Myanmar
Keengganan negara-negara anggota ASEAN untuk menekan pemerintahan junta militer Myanmar dipengaruhi karakteristik rezim pemerintahannya. Indonesia bisa lebih berperan.
Kudeta militer Myanmar membawa dampak regional, terutama pada citra ASEAN sebagai satu-satunya organisasi di kawasan. Indonesia perlu mendorong dialog ASEAN dengan rezim militer Myanmar.
JAKARTA, KOMPAS — Keengganan negara anggota ASEAN menekan pemerintahan junta militer Myanmar dipengaruhi karakteristik rezim pemerintahan mereka.
Beberapa pemerintahan yang berkuasa kurang demokratis dan bahkan otoriter sehingga sikap tegas kepada militer Myanmar akan dianggap sebagai inkonsistensi atas kondisi domestik mereka.
Pengamat Asia Tenggara dan ASEAN di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Muhammad Rum, mengatakan hal itu, Senin (8/2/2021).
Beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, yang kini menjadi Ketua ASEAN, sebetulnya telah menyatakan prihatin terhadap situasi di Myanmar.
”Ini bisa menjadi modal bagi diplomasi Indonesia untuk menggalang lebih banyak lagi dukungan di ASEAN untuk mengeluarkan sikap bersama agar sengketa pemilu itu diselesaikan melalui mekanisme hukum yang konstitusional,” katanya.
Baca juga : Bersatunya Rakyat Myanmar, Kesaksian WNI di Yangon
Indonesia, lanjut Rum, harus aktif berdiskusi dengan masing-masing negara anggota ASEAN mengenai kepentingan menjaga stabilitas kawasan. Ada banyak potensi permasalahan sosial, ekonomi, dan keamanan yang dapat ditimbulkan oleh persoalan di Myanmar yang mempengaruhi negara-negara tetangga. Terlebih, jika efek dari pergantian kekuasaan ini berimbas kepada perlakuan negara terhadap masyarakat marjinal di Myanmar.
Senada dengan Rum, peneliti politik internasional di Pusat Penelitian Politik LIPI, Lidya Christin Sinaga, menilai Indonesia harus memulai inisiatif atas nama ASEAN untuk memulai dialog dengan Myanmar.
Hal itu bisa dilakukan dengan mengirimkan utusan khusus seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Peran Indonesia strategis dalam hal ini mengingat track record panjang Indonesia dalam mendorong demokratisasi di Myanmar.
”Dengan cara ini menunjukkan ASEAN tidak mengisolasi Myanmar dan dengan bertindak atas nama ASEAN menunjukkan bahwa hal ini tidak lagi semata urusan internal Myanmar, tetapi telah menjadi perhatian regional karena memengaruhi citra ASEAN,” kata Lidya.
Regional terdampak
Meski kudeta militer murni masalah internal Myanmar, Lidya mengingatkan kudeta militer itu mempunyai dampak regional, terutama terhadap citra ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di kawasan.
Baca juga : Antara Yangon dan Jakarta
Bagaimanapun, Piagam ASEAN dengan tegas menyatakan komitmen menjunjung tinggi prinsip demokrasi, hak asasi manusia, penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Ini berarti pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer merupakan pencederaan terhadap prinsip ini.
ASEAN harus membuka dialog dengan pemimpin junta Myanmar, bukan dalam rangka mencampuri urusan dalam negerinya, melainkan membawa Myanmar kembali ke jalan demokratisasi yang telah dirintis tertatih-tatih selama satu dekade ini.
Kudeta militer Myanmar membuka kembali perdebatan yang sempat terjadi di ASEAN sewaktu merumuskan Komunitas Keamanan ASEAN yang dipelopori Indonesia.
Indonesia pada dasarnya tetap mendukung prinsip non-interferensi dalam urusan dalam negeri masing-masing negara anggota ASEAN, tetapi Indonesia menginginkan agar prinsip tersebut tidak dimaknai secara kaku dan diterapkan lebih fleksibel.
Baca juga : Kudeta Myanmar dan Sikap ASEAN
Negara-negara ASEAN, kata Rum, juga perlu memikirkan perlindungan terhadap orang-orang yang terpaksa harus meninggalkan negaranya untuk menghindari persekusi. Permasalahan kemanusiaan merupakan isu penting. Di masa pandemi ini, performa ekonomi Myanmar menurun ditambah lagi dengan krisis politik dan pembatasan akses komunikasi.
”Indonesia perlu meyakinkan negara-negara lain untuk memanfaatkan forum pembicaraan di ASEAN yang jujur dan terbuka. Prinsip-prinsip menjunjung tinggi demokrasi, penegakan hukum, pemerintahan yang baik, dan perlindungan HAM sudah ada di dalam piagam ASEAN,” ujarnya.
Langkah militer
Belajar dari pengalaman sebelumnya maupun studi kasus di negara lain, kata Rum, pemerintahan militer Myanmar akan melakukan konsolidasi kekuasaan. Utamanya dengan menggalang kekuatan partai proxy yang merepresentasikan kepentingan pemerintahan militer yang berkuasa saat ini.
Waktu satu tahun ini akan digunakan untuk menggalang dukungan politik dan diamati secara seksama apakah cukup mampu meningkatkan potensi elektoralnya.
Apabila dirasa belum dapat memastikan capaian pemilu yang diharapkan oleh penguasa dikhawatirkan jadwal pemilihan umum diundur lebih lama lagi.
Lidya juga mengatakan janji militer untuk melakukan pemilu dalam waktu satu tahun ini harus dikawal. Ini yang masih penuh ketidakpastian.
”Akankah militer menepati janjinya? Sementara itu, kita lihat dalam beberapa hari terakhir militer membatasi penggunaan media sosial. Sikap militer yang semakin represif ini yang dikhawatirkan jika kekuasaan terus di bawah junta,” ujarnya.
Baca juga : Unjuk Rasa Besar-besaran di Myanmar, Ingatkan Revolusi Saffron 2007
Pengamat politik internasional di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, , Teuku Rezasyah, menjelaskan, ke depan, Indonesia perlu terus meyakinkan rezim militer Myanmar perlunya melakukan transisi kepemimpinan nasional dengan melibatkan para tokoh sipil.
Selama transisi setahun ke depan, Indonesia perlu berperan sebagai pendamping yang proaktif menjembatani kritik dunia atas Myanmar. Selain itu, juga memberikan pengalaman terbaiknya dalam mengelola hubungan sipil-militer sekaligus mencegah Myanmar melakukan kebijakan yang berseberangan dengan praktik demokrasi yang diatur dalam hukum internasional.
”Militer Myanmar hendaknya sadar masa depan Myanmar membutuhkan persatuan nasional dan masih memberikan tempat yang mulia bagi mereka melalui pembagian kekuasaan,” kata Rezasyah.
Baca juga : Pemerintahan Sipil Suu Kyi dan Kepentingan Bisnis Petinggi Militer
Militer Myanmar, lanjut Rezasyah, juga hendaknya memberikan kerangka kerja pembagian kekuasaan yang mereka kehendaki secara terukur berikut rekonsiliasi nasional bagi masa depan Myanmar yang sesuai konstitusi Myanmar, Piagam ASEAN, dan Piagam PBB.
Sementara itu, Inggris dan Uni Eropa meminta Dewan HAM PBB mengadakan pertemuan khusus membahas krisis Myanmar. Di Myanmar, ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat terus menggelar unjuk rasa menentang kudeta. Polisi menembakkan meriam air untuk membubarkan massa.
Pemimpin tertinggi rezim militer, Jenderal Min Aung Hlaing, meminta publik untuk memprioritaskan fakta dan bukan perasaan. Dia mengatakan, pemilu baru akan digelar dan kekuasaan kelak akan diserahkan kepada partai pemenang.(AFP/AP/REUTERS/LUK/CAL)