Pemerintahan Sipil Suu Kyi dan Kepentingan Bisnis Petinggi Militer
Sesungguhnya motif ekonomi yang beriringan dengan kekuasaan politik telah mendorong kudeta itu.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
Harian ini, edisi Rabu (3/2/2021), menurunkan tulisan ”Militer Myanmar Takut Kehilangan Kekuasaan”. Kemewahan kekuasaan politik dan ekonomi selama lima dekade membuat elite militer Myanmar nyaman. Kemapanan kini terusik oleh menguatnya demokrasi dan kekuasaan sipil sehingga terjadi kudeta pada 1 Februari 2021.
Dugaan soal kecurangan pemilu parlemen pada November 2020 disebut sebagai alasan militer mengudeta pemerintahan sipil hasil pemilu demokratis dan konstitusional pada November 2015. Sesungguhnya motif ekonomi yang beriringan dengan kekuasaan politik telah mendorong kudeta itu.
Myanmar di bawah pemerintahan sipil pertama yang dipimpin tokoh pejuang demokrasi, Aung San Suu Kyi, hasil pemilu 2015, terbebas dari sanksi internasional yang dipelopori Amerika Serikat.
Beberapa bulan setelah Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), berkuasa, AS mencabut sanksi ekonomi pada Oktober 2016.
Pencabutan sanksi oleh AS membawa kabar baik bagi militer karena jaringan bisnis militer terbebas dari sanksi. Namun, pemerintahan sipil menjadi persoalan besar bagi petinggi militer yang telah mapan dan nyaman secara ekonomi karena Suu Kyi mendorong transparansi dalam bisnis.
Setahun setelah Suu Kyi berkuasa, Financial Times (2/2/2017) menulis laporan tentang gurita bisnis militer di tengah mayoritas warganya yang miskin. Ada Myanmar Economic Corporation (MEC), konglomerasi rahasia milik Kementerian Pertahanan yang beroperasi di sektor strategis, mulai dari pelabuhan hingga telekomunikasi.
Ada juga Myanmar Economic Holdings Public Co Ltd (MEHL), induk perusahaan yang memperkaya perwira militer dan veteran; hasil dari bisnis yang menguntungkan, termasuk rokok hingga impor minyak bumi.
Keputusan AS untuk mencabut sanksi ekonomi disambut sebagai pembebasan Myanmar dari hampir terisolasi selama puluhan tahun. Perusahaan pun mulai memanfaatkan pasar besar. Namun, pencabutan sanksi juga memiliki sisi lain yang rumit, yakni membebaskan kepentingan komersial militer yang telah menggurita dari sanksi.
Perusahaan-perusahaan lokal memproyeksikan diri sebagai mitra potensial bagi perusahaan multinasional asing yang tergoda prospek ekonomi di bawah pemerintahan sipil. Namun, tetap sulit melepaskan diri dari pengaruh era otoritarianisme militer.
Perusahaan asing di berbagai sektor memutuskan lebih baik bermitra dengan militer yang dituduh korup, merampas tanah rakyat, dan melanggar HAM selama puluhan tahun ketimbang tidak berbisnis sama sekali.
Dilema itu merefleksikan gugatan yang lebih besar tentang seberapa banyak perubahan yang sudah terjadi dalam struktur politik dan ekonomi sejak Suu Kyi berkuasa? Kudeta pada 1 Februari lalu adalah jawabannya, betapa militer tetap ingin mengamankan kekuasaan mereka.
”Sulit untuk memikirkan masa depan perusahaan milik militer tanpa memikirkan tempat masa depan angkatan bersenjata di Myanmar,” kata Thant Myint-U, sejarawan dan analis Yangon, kepada Financial Times.
”Suka atau tidak, militer telah menjadi inti negara dan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi fondasi pembangunan selama beberapa dekade,” katanya.
Transparansi
Situs berita Frontier Myanmar (27/7/2020) menyebutkan, di bawah pemerintahan Suu Kyi dan partai berkuasa, NLD, banyak langkah penting telah diambil untuk mereformasi lingkungan bisnis dan ekonomi Myanmar, terutama dalam hal transparansi. Myanmar memiliki daftar perusahaan terbuka. Tender diumumkan secara terbuka dan keterbukaan lainnya.
Namun, di beberapa subsektor penting ekonomi, banyak perusahaan terkait kepentingan militer aktif dan pensiunan sangat tertutup. Mereka tidak memberikan informasi memadai, termasuk soal beneficial owner. Di dalamnya termasuk sejumlah anak perusahaan dari dua konglomerasi utama Tatmadaw: MEHL dan MEC.
Dilaporkan, dua jenderal aktif dan satu jenderal pensiun mengendalikan sepertiga perusahaan. Perusahaan terdaftar dengan 50 pemegang saham, tetapi mereka hanya memiliki hampir 1 persen dari total saham. Sisanya dimiliki perwira aktif dan pensiunan dari berbagai satuan Tatmadaw.
MEC termasuk salah satu dari 24 perusahaan yang tidak memberikan informasi sama sekali tentang beneficial ownership. Meskipun MEC dimiliki Kementerian Pertahanan, keuntungannya tidak dibukukan dalam anggaran seperti perusahaan milik negara lainnya.
Al Jazeera (10/9/2020), mengutip Amnesty International (AI), menyebutkan, saham MEHL dikuasai perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh petinggi militer aktif dan pensiunan. Divisi tempur yang ditugaskan di Rakhine, tempat konflik yang membuat 1 juta warga etnis Rohingya lari, memiliki sepertiga saham perusahaan itu.
Di antara mereka yang secara langsung menikmati keuntungan dari perusahaan itu adalah Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing. Pada 2010-2011, ia dilaporkan memiliki 5.000 saham dan menerima pembayaran sekitar 250.000 dollar AS, kata dokumen yang diperoleh AI.
Menurut The New York Times, misi pencari fakta PBB pernah mendesak para pebisnis dan pemerintah asing untuk memutuskan hubungan dengan lebih dari 140 perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan militer.
Desakan itu terkait dugaan mereka membiayai dan memfasilitasi operasi pembersihan etnis Rohingya.
Bisnis militer sebagian besar beroperasi secara tertutup dan memiliki hubungan dekat dengan BUMN dan perusahaan swasta besar ternama di Myanmar sebagai perusahaan kroni. Mereka bertanggung jawab atas sebagian besar perekonomian negara.