Masyarakat Sipil Terus Memprotes Kudeta Militer
Warga berjuk rasa dengan menggelar festival mengusir setan. Mereka menganggap Tatmadaw, militer Myanmar, sebagai setan yang harus diusir.
YANGGON, KAMIS - Warga Myanmar terus memprotes kudeta militer negara itu. Kudeta dikhawatirkan menyeret perekonomian Myanmar ke periode gelap seperti sebelum 2017. Pada Kamis (4/2/2021), sejumlah pengunjuk rasa membentangkan poster protes di Mandalay, kota terbesar kedua setelah Yangon.
Sementara di Yangon, unjuk rasa terus berlangsung sejak Selasa atau sehari selepas kudeta pada 1 Februari 2021.
Di Yangon, unjuk rasa dilakukan dalam bentuk festival mengusir setan yang dikenal dalam kebudayaan Indocina dan China. Mereka membuat aneka kebisingan dengan menabuh apa pun. Mereka menganggap Tatmadaw, militer Myanmar, sebagai setan yang harus diusir.
Mereka juga membuat aneka cahaya. “Cahaya bersinar dalam kegelapan. Kami perlu menunjukkan banyak orang menentang kudeta tidak adil ini,” kata Min Ko Naing, salah seorang warga Myanmar.
Baca juga Suara Berisik untuk Mengusir ”Setan” Tatmadaw
Aksi itu terjadi setelah regu-regu tentara menangkap Presiden Myanmar Min Wyint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, 400 anggota parlemen, dan puluhan orang yang tidak terkait dengan politik praktis, Senin dini hari.
Penangkapan terus berlangsung seiring unjuk rasa yang terus berlangsung di berbagai penjuru Myanmar.
Sejak Rabu, sejumlah warga juga mogok kerja. Dokter dan perawat di berbagai klinik dan rumah sakit milik pemerintah menolak bekerja.
Mereka memilih melayani pasien dari klinik atau rumah sakit swasta. Sejumlah pegawai negeri juga menolak bekerja. Sebelum dilarang, warga juga menunjukkan kemarahan lewat media sosial.
“Kami punya kekuatan digital. Jadi, kami menggunakan ini sejak hari pertama untuk menentang junta militer,” kata Thinzar Shunlei Yi, salah seorang penggagas pembangkangan sipil untuk menentang kudeta.
Baca juga Protes dan Gerakan Perlawanan Sipil atas Kudeta Militer Myanmar
Protes masif di media sosial membuat pemerintah membatasi akses terhadap media sosial. Para penyedia jasa internet di Myanmar mengaku terpaksa mengikuti permintaan pemerintahan sementara yang dibentuk militer selepas kudeta. Naypyidaw menyebut, media sosial jadi pelantar penyebar kebohongan dan pemicu ketidakstabilan.
Tuduhan Suu Kyi
Aparat Myanmar juga telah mengumumkan pasal untuk menjerat Suu Kyi. Mereka menyebut Suu Kyi memiliki enam radio komunikasi secara ilegal. Meski tuduhan telah diumumkan, keberadaan Suu Kyi belum diketahui sampai sekarang.
Tuduhan terhadap Suu Kyi dikecam banyak pihak, termasuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Antonio Guterres. “Kalau ada hal yang bisa dituduhkan padanya, maka itu adalah dia (Suu Kyi) terlalu dekat dengan militer, dia terlalu melindungi militer,” ujarnya.
Guterres merujuk pada keputusan Suu Kyi untuk menjadi pembela Myanmar di Mahkamah Kriminal Internasional. Sejumlah komandan militer dan tokoh Myanmar digugat karena diduga terlibat dalam pemberangusan terhadap orang Rohingya.
Panglima Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing, termasuk salah satu yang digugat. Kini, Hlaing memimpin kudeta terhadap pemerintahan yang secara faktual dikendalikan Suu Kyi.
Baca juga Min Aung Hlaing, Jenderal Pemberangus Tunas Demokrasi di Myanmar
“Kami akan melakukan apa untuk untuk memobilisasi aktor dan komunitas internasional untuk menekan Myanmar dan memastikan kudeta ini gagal. Selepas pemilu yang saya yakin berlangsung normal dan proses transisi panjang, sangat tidak bisa diterima upaya untuk membalikkan hasil pemilu dan kehendak warga,” tutur Guterres.
Ia merujuk pada hasil pemilu Myanmar pada 8 November 2020. Liga Nasional untuk Demokrat (NLD) pimpinan Suu Kyi meraih 396 dari 498 kursi parlemen.
Sementara Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP) hanya mendapat 33 kursi. Padahal, partai yang disokong militer itu butuh sekurangnya 167 kursi untuk bisa mengukuhkan kekuasaan Tatmadaw melalui parlemen.
Dewan Keamanan PBB sampai sekarang belum bersikap, meski telah menggelar sidang darurat pada Selasa. DK PBB masih terus berunding untuk menentukan sikap atas perkembangan di Myanmar.
Mereka antara lain menuntut pembebasan segera terhadap orang-orang yang ditangkap. DK PBB juga meminta status darurat yang ditetapkan selepas kudeta dicabut.
Perundingan DK PBB terutama untuk membuat China dan Rusia mendukung keputusan DK PBB. Tanpa persetujuan anggota tetap DK PBB, yang antara lain terdiri dari China dan Rusia, tidak ada satu pun keputusan bisa dibuat DK PBB dan PBB.
Tidak Pasti
Kudeta telah menimbulkan ketidakpastian di antara investor asing yang memasuki Myanmar pada 2017 atau setahun setelah NLD mulai memerintah. “Dengan kudeta ini, semua akan memandang (Myanmar) sebagai negara kacau,” kata analis di Yangon, David Mathieson.
Baca juga Akses Media Sosial di Myanmar Diblokir
Ia menyebut, banyak negara barat dan sekutunya menjauhi Myanmar. Jepang, yang menempati peringkat 3 dalam daftar mitra dagang Myanmar, menunjukkan penolakan pada kudeta.
Suzuki, perusahaan otomotif Jepang, telah memerintahkan pabriknya di Myanmar berhenti beroperasi sejak Selasa karena alasan keamanan.
Masalahnya, tekanan pada Naypyidaw bisa membuat Myanmar semakin dekat pada China.
“Kudeta ini akan mendorong Myanmar semakin dalam genggaman China dan ketimpangan investasi China dan barat di negara ini akan semakin meningkat,” kata direktur Asia pada French Institute of International Relations, Francoise Nicolas.
Bagi China, hal terpenting adalah memastikan Myanmar tetap stabil. Sebab, stabilitas dibutuhkan untuk investasi puluhan miliaran dollar AS yang dikucurkan Beijing ke Naypyidaw.
Baca juga Sekjen PBB Desak Dunia Gagalkan Kudeta Militer di Myanmar
Selain itu, China juga bisa terdampak jika ada kerusuhan yang memicu pengungsian dari Myanmar ke China. Beijing pernah terpaksa menerima puluhan ribu pengungsi Myanmar gara-gara konflik di perbatasan China-Myanmar.
Bagi China, kudeta awal pekan ini bisa dianggap sebagai gangguan. “Sebagai negara tetangga, saya tidak melihat hal bagus bagi China, mempertimbangkan bahwa seluruh investasi dan proyek infrastruktur membutuhkan kestabilan,” kata peneliti di Shanghai Institute for International Studies, Zhao Gancheng. (AP/REUTERS/AFP/RAZ)