Untuk menyatakan dukungan pada gerakan demokrasi dan menolak kudeta militer di Myanmar, warga menggunakan ”cara tradisional” untuk berunjuk rasa.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Sudah dua malam ini warga kota Yangon, Myanmar, keluar ke jalanan dan heboh membuat bunyi-bunyian nan berisik dengan memukul-mukul apa saja, seperti panci, wajan, kaleng, drum, pot, kardus, hingga alat musik simbal. Suara berisik itu diharapkan bisa mengusir ”setan” dan setan yang dimaksud itu adalah militer Myanmar yang dikenal dengan sebutan Tatmadaw.
Militer adalah aktor utama kudeta di Myanmar. Tatmadaw menggulingkan pemerintahan sipil, Senin lalu.
Geram dengan kudeta militer, rakyat Myanmar melakukan pembangkangan sipil. Tenaga medis, dokter dan perawat, memilih mogok kerja. Warga masyarakat yang lain memilih gaduh seberisik mungkin pada malam hari, mulai pukul 8 malam, sebagai ekspresi menolak kudeta. Ini sebenarnya tradisi lama di kampung-kampung di Myanmar untuk mengekspresikan ketidaksenangan atau penolakan. Biasanya kegaduhan ini juga hanya berlangsung selama satu jam.
Warga yang sedang mengendarai mobil atau sepeda motor pun tak ketinggalan ikut urun suara gaduh dengan membunyikan klakson tanpa henti. ”Kami biasa melakukan ini untuk mengusir setan keluar dari rumah atau kampung. Warga juga sekarang memakai cara ini untuk mengusir keluar junta militer,” kata Thinzar Shunlei Yi, aktivis yang ikut terlibat menggalang massa Gerakan Pembangkangan Sipil yang menentang kudeta.
”Memukul-mukul pot dan panci membantu mengurangi kemarahan saya sedikit. Tetapi, sebentar saja karena saya masih sangat marah,” kata Min Theint Oo (50), warga Tharkayta yang pernah mengalami hidup di masa junta militer.
Geram
Kudeta militer yang terjadi Senin lalu mengagetkan rakyat yang sudah bersiap melanjutkan hidup di bawah kepemimpinan pemerintahan sipil dan mengarah ke demokrasi. Kini, rakyat Myanmar harus kembali terjebak hidup di bawah kekuasaan junta militer yang pernah memerintah selama 50 tahun dengan tangan besi.
Rakyat geram dan mengekspresikan kemarahannya dengan suara berisik karena ada rasa takut dan khawatir dengan tentara yang ditempatkan di mana-mana. Ada juga rasa khawatir pada nasib keselamatan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi yang mereka puja. Belum lagi kekhawatiran pada isu pandemi Covid-19 yang belum juga tertangani dengan baik. Ini yang membuat api perlawanan warga terus berkobar.
Suasana seperti sekarang pernah terjadi saat gelombang unjuk rasa besar-besaran pada 1988 dan 2007. Militer menangani kedua unjuk rasa itu dengan tangan besi. Ribuan pengunjuk rasa pada waktu itu ditembak aparat bersenjata di jalanan.
Sekarang suasana malam hari hampir tak pernah sepi. Di sela-sela suara bising dari pukulan beragam barang, warga juga menyanyikan lagu lama tentang revolusi, ”Kabar Ma Kyay Bu” (Kami Tidak Akan Pernah Lupa Hingga Akhir Zaman). Lagu yang pernah populer semasa unjuk rasa tahun 1988 itu bermuatan pesan harapan akan kebebasan.
”Sejarah ditulis dengan darah kami. Bagi mereka yang kehilangan nyawa dalam peperangan untuk memperjuangkan demokrasi,” nyanyi para warga dari atas balkon rumah mereka di Pazundaung, Yangon.
Seorang pria mengibarkan bendera merah partai Liga Nasional untuk Demokrasi di depan rumahnya dan disambut klakson-klakson dari mobil yang lalu lalang. Mereka membalas dengan salam tiga jari, gestur yang juga terlihat dalam gerakan prodemokrasi di Thailand dan Hong Kong. Sesekali terdengar teriakan dukungan untuk Suu Kyi.
”Saya ingin semua generasi keluarga militer merasakan penderitaan yang kami rasakan. Kami tidak akan pernah lupa sampai akhir zaman,” kata Meme Win Maw (28) di Sanchaung. (AFP)