Implementasi Kelas Rawat Inap Standar Masih Tunggu Revisi Aturan
Penerapan kelas rawat inap standar dilakukan secara bertahap yang direncanakan diterapkan paling lambat 30 Juni 2025.
JAKARTA, KOMPAS — Uji coba penerapan kelas rawat inap standar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional masih terus berjalan. Meski demikian, implementasi terkait kelas standar tersebut masih harus menunggu pengesahan revisi aturan terkait jaminan kesehatan.
Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengutarakan, kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat diterapkan setelah Revisi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disahkan oleh Presiden.
Revisi tersebut diperlukan karena operasionalisasi dari kelas rawat inap standar belum diatur dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Baca juga: Uji Coba Penerapan Kelas Standar Rawat Inap Dimatangkan
” Belum ada (update penerapan KRIS). Saat ini masih menunggu Presiden menandatangani Perpres No 82/2018. Pengaturan operasionalisasi KRIS akan ada di perpres. Jika perlu, aturan rinci akan ada di peraturan Menteri Kesehatan dan peraturan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan,” ujarnya, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (15/2/2024).
Belum ada ( update penerapan KRIS). Saat ini masih menunggu Presiden menandatangani Perpres No 82/2018. Pengaturan operasionalisasi KRIS akan ada di perpres.
Asih menuturkan, ketentuan operasionalisasi KRIS yang akan diatur dalam revisi Perpres No 82/2018 antara lain terkait dengan kriteria dan tahapan pelaksanaan dari kelas standar tersebut. Selama revisi tersebut belum disahkan, aturan kelas standar dalam program JKN belum bisa diterapkan.
Menurut dia, kelas rawat inap standar dalam program JKN diperlukan sebagai bentuk harmonisasi penyelenggaraan program JKN yang memenuhi ketentuan dan prinsip ekuitas atau keadilan. Selain itu, penerapan kelas standar ini sesuai dengan prinsip gotong royong yang diamanatkan UU SJSN.
Dalam penerapan kelas rawat inap standar, setidaknya ada 12 kriteria yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Kriteria tersebut meliputi komponen bangunan rumah sakit, ventilasi udara ruang perawatan, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, nakas di tempat tidur, suhu dan kelembaban udara, serta pembagian ruang rawat.
Kriteria lainnya yakni kepadatan ruang rawat inap dan kualitas tempat tidur, tirai dan partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan, aksesibilitas kamar mandi, dan outlet oksigen. Terkait dengan tempat tidur, misalnya, dalam satu ruangan kelas rawat inap standar akan diatur hanya berisi empat tempat tidur yang dilengkapi nakas untuk tiap-tiap tempat tidur. Setiap ruangan pun diminta ada kamar mandi dalam ruangan.
Uji coba
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, penerapan kelas rawat inap standar kini masih dalam proses uji coba. Pelaksanaannya pun akan dilakukan secara bertahap paling lambat pada 30 Juni 2025.
Baca juga: Penerapan Kelas Standar Jangan Tergesa-gesa
”Jadi, waktu (penerapan KRIS) masih ada. Tidak berarti harus langsung berubah semua. Saat ini justru kebanyakan rumah sakit swasta yang memenuhi KRIS di atas 80 persen. Sementara rumah sakit pemerintah yang memang belum,” tuturnya.
Bagi rumah sakit milik pemerintah daerah yang memiliki kapasitas fiskal terbatas untuk menerapkan KRIS, pemerintah pusat akan membantu dalam pembangunan kelas rawat inap standar melalui dana alokasi khusus kesehatan. Dengan begitu, tiap rumah sakit, termasuk rumah sakit milik daerah, bisa menerapkan kelas rawat inap standar dan meningkatkan mutu yang dimiliki.
Azhar berpendapat, penerapan KRIS ini diperlukan sebagai upaya meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pada peserta JKN. Lewat penerapan kelas standar, setiap peserta akan mendapatkan layanan yang sama sehingga tidak lagi dibedakan antara peserta kelas 1, 2, dan 3.
Apabila peserta ingin meningkatkan kualitas layanan dari layanan standar yang diberikan, menurut rencana akan dibuka juga skema COB atau cost of benefit. Biaya layanan yang lebih dari standar yang berlaku dibayarkan melalui skema pembiayaan lain, misalnya melalui asuransi swasta.
”Kami harap KRIS ini bisa diterapkan paling lambat 30 Juni 2025. Kita optimistis karena angkanya terus bergerak. Rumah sakit swasta yang sudah memenuhi kelas standar ini bahkan sudah di atas 80 persen,” katanya.
Azhar mengungkapkan, dengan adanya KRIS ini, juga tidak akan membuat kapasitas ruangan untuk peserta JKN di rumah sakit semakin berkurang. Sebab, menurut dia, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) rumah sakit untuk peserta JKN rata-rata masih di bawah 80 persen.
Dengan begitu, apabila KRIS diterapkan, sekalipun ada pengurangan ruangan untuk peserta JKN, tidak akan membuat keterisian tempat tidur menjadi penuh. Kebutuhan tempat tidur bagi peserta JKN pun masih dapat terpenuhi.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyebutkan, berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Kementerian Kesehatan per 31 Januari 2024, total rumah sakit yang terdaftar di Indonesia sebanyak 3.164 rumah sakit.
Dari jumlah itu, 3.039 rumah sakit menjadi target implementasi dari KRIS. Sebanyak 125 rumah sakit masuk dalam kriteria eksklusi, yakni rumah sakit jiwa, rumah sakit pratama, dan rumah sakit yang belum ditetapkan.
Adapun dari 3.039 rumah sakit tersebut, sebanyak 2.358 rumah sakit atau 78 persen di antaranya telah menyatakan siap mengimplementasikan 12 kriteria KRIS dan 125 rumah sakit menyatakan bisa menerapkan 10 kriteria KRIS. Sementara, 681 rumah sakit menyatakan belum siap menerapkan KRIS.
“Pertemuan dengan dinas kesehatan dan rumah sakit seluruh Indonesia pun dilakukan untuk mempercepat implementasi KRIS, terutama pada 681 rumah sakit yang belum siap,” kata Nadia.
Kendala
Sebelumnya, Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Wibowo menyampaikan, penerapan kelas rawat inap standar dalam program JKN perlu dikaji kembali. Rumah sakit pun kini belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai penerapan kelas standar tersebut.
Baca juga: Penetapan Kelas Standar JKN Perlu Perhatikan Kemampuan Masyarakat
”Bukan berarti kami setuju atau tidak setuju dengan kelas standar ini. Namun, perlu dipastikan terlebih dahulu besaran klaim yang akan diterima, juga iuran, dari peserta. Selama ini yang terjadi ada cross subsidi antarkelas perawatan. Investasi untuk kelas standar cukup besar sehingga jangan sampai justru merugikan rumah sakit, peserta, dan BPJS Kesehatan,” tuturnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, penerapan kelas standar dikhawatirkan dapat membatasi ketersediaan tempat tidur bagi peserta. Sementara saat ini masih ditemukan adanya peserta JKN yang kesulitan mendapatkan ruangan perawatan.
”Kualitas layanan yang ada saat ini masih harus ditingkatkan. Namun, jangan sampai tujuan untuk meningkatkan mutu layanan itu justru diatasi dengan membuka persoalan baru. Sebaiknya dikaji kembali agar bukan kelas standar yang diterapkan, tetapi standar kelas yang diatur. Jadi, setiap kelas, baik kelas 1, 2, 3, maupun 4 itu bisa terstandar,” tuturnya.