Penetapan Kelas Standar JKN Perlu Perhatikan Kemampuan Masyarakat
Kelas standar rawat inap dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat akan dijalankan secara bertahap mulai pada 2022 ini. Kesiapan peserta dan fasilitas kesehatan pun perlu dipastikan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uji coba pelaksanaan kelas rawat inap standar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat akan dijalankan secara bertahap mulai tahun 2022 ini. Penerapan kelas standar ini juga diharapkan mempertimbangkan kemampuan semua kelompok masyarakat, terutama masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar saat dihubungi di Jakarta, Kamis (27/1/2022), mengatakan, penerapan kelas standar rawat inap dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) akan berpengaruh pada besaran iuran yang akan dibayarkan oleh peserta. Dengan besaran biaya yang diperkirakan Rp 50.000 sampai Rp 75.000 per bulan dinilai akan memberatkan peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah kelas 3.
”Bila iuran baru yang akan ditetapkan karena adanya KRIS (kelas rawat inap standar) antara Rp 50.000 sampai dengan Rp 75.000, untuk peserta kelas satu dan dua tidak masalah. Namun, bagi peserta kelas tiga yang tidak mampu akan menjadi masalah karena iuran menjadi naik,” ujarnya.
Selama ini, besaran iuran program JKN-KIS untuk peserta bukan penerima upah kelas tiga sebesar Rp 35.000. Karena itu, peningkatan tarif bagi peserta pada kelompok ini dikhawatirkan jumlah peserta yang menunggak akan meningkat sehingga dapat mengganggu sistem pembiayaan dan pelayanan pada program JKN tersebut.
Timboel menyampaikan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan perlu mendata dan menganalisis kepesertaan kelas mandiri. Bagi peserta mandiri kelas tiga yang saat ini dalam kondisi tidak mampu perlu diarahkan untuk menjadi peserta penerima bantuan iuran.
”Bisa menjadi pertimbangan bagi peserta kelas tiga mandiri yang kurang mampu bisa masuk dalam layanan perawatan untuk PBI (peserta bantuan iuran) sehingga iurannya bisa tetap Rp 35.000 dengan subsidi dari pemerintah sebesar Rp 7.000,” ucapnya.
Sebelumnya anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Iene Muliati, dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Kementerian Kesehatan serta Rapat Dengar Pendapat dengan DJSN dan BPJS Kesehatan pada Selasa (25/1/2022), menuturkan, penerapan kelas standar rawat inap JKN tidak hanya bertujuan mengurangi defisit dalam pembiayaan JKN, tetapi juga untuk memenuhi mutu dan layanan bagi semua peserta. Dengan penerapan kelas standar ini, peserta diharapkan bisa mendapatkan pelayanan yang sama, baik terkait dengan layanan medis maupun nonmedis.
”Tantangan saat ini, klasifikasi kelas perawatan yang ada di beberapa daerah belum terstandar. Akses ke fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan obat juga belum merata di semua wilayah. Oleh karena itu, salah satu solusi yang diberikan pemerintah ialah memberlakukan kelas rawat inap standar,” ujarnya.
Berbagai persiapan pun telah dilakukan untuk memastikan implementasi kelas rawat inap standar bisa berjalan dengan baik. Penilaian kesiapan rumah sakit sudah dilakukan pada 1.916 rumah sakit dan 144 rumah sakit milik TNI-Polri. Dari jumlah itu, sebanyak 80 persen rumah sakit dinilai telah siap menjalankan kebijakan kelas rawat inap standar meskipun 78 persen di antaranya masih perlu penyesuaian infrastruktur dalam skala kecil.
Tantangan saat ini, klasifikasi kelas perawatan yang ada di beberapa daerah belum terstandar. Akses ke fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan obat juga belum merata di semua wilayah.
Sementara untuk RS milik TNI-Polri, dengan perbaikan dan peningkatan infrastruktur skala kecil, 74 persen RS telah siap dengan penerapan kelas rawat inap standar. Sebanyak 26 persen lainnya membutuhkan perbaikan skala sedang hingga berat.
Oleh karena itu, Iene menyampaikan, penerapan kelas rawat inap standar akan dijalankan secara bertahap. Uji coba akan mulai dilakukan pada 2022 di rumah sakit vertikal dengan mempertimbangkan kesiapan peserta dan fasilitas kesehatan. Ditargetkan, pada 2024 kelas standar sudah bisa diimplementasikan di semua rumah sakit.
Kebutuhan dasar kesehatan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, peninjauan pemberian manfaat berbasis kebutuhan dasar kesehatan pada program JKN-KIS juga sudah dilakukan. Dalam peninjauan yang dilakukan telah dihasilkan bahwa akan ada peningkatan dan penambahan manfaat pada aspek promotif dan preventif yang terkait dengan pengendalian penyakit katastropik.
Adapun manfaat yang diberikan, antara lain, ialah penambahan antigen imunisasi, penambahan layanan pemeriksaan ANC (antenatal care) menjadi enam kali pemeriksaan yang dilengkapi dengan USG, serta penapisan penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi. Selain itu, pengendalian sejumlah layanan yang berlebihan (excessive) dan berpotensi fraud akan dilakukan lebih intensif.
Potensi asuransi swasta juga akan ditingkatkan melalui pengembangan kebijakan selisih biaya dan urun biaya sesuai dengan revisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang urun atau selisih biaya. Bagi peserta yang memiliki asuransi kesehatan tambahan akan dibuka ruang negosiasi antara asuransi kesehatan tambahan dan provider dalam pelaksanaan urun biaya.
”Contoh kalau peserta melakukan operasi usus buntu, biaya yang akan dijamin oleh BPJS sebesar Rp 7,3 juta. Jika yang bersangkutan ingin naik ke kelas VIP yang biayanya Rp 14,59 juta, selisihnya bisa dibiayai oleh asuransi swasta sehingga bisa mengefisiensikan uang yang dikeluarkan oleh peserta,” ujar Budi.
Sementara itu, ia menambahkan, antigen imunisasi rutin dalam kebutuhan dasar kesehatan akan ditambah dari 11 jenis vaksin menjadi 14 jenis vaksin. Tambahan jenis vaksin yang diberikan ialah vaksin HPV (Human Papillomavirus) yang dapat mencegah kanker serviks, serta vaksin pneumonia dan rotavirus.
Dalam peningkatan upaya promotif dan preventif ini, pemerintah juga akan melengkapi semua puskesmas dengan fasilitas USG. Pelatihan bagi tim tenaga kesehatan juga akan dilakukan, termasuk dalam menggunakan USG dan pemeriksaan ANC yang berkualitas. Penapisan juga akan dilakukan pada 14 jenis penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi, seperti stroke, jantung, dan diabetes.
”Kita akan membutuhkan biaya tahunan untuk program promotif preventif sekitar Rp 1,78 triliun. Namun, jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyakit katastropik, seperti jantung, yang hampir Rp 10 triliun serta kanker dan stroke yang hampir mencapai Rp 5 triliun, biaya ini cakupannya akan jauh lebih luas dan membuat masyarakat hidup lebih aman karena penyakit bisa dicegah,” ujar Budi.