Penerapan kelas rawat inap standar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional perlu dilakukan secara bertahap. Penerapan kelas standar tersebut harus memastikan kesiapan rumah sakit.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di salah satu loket di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, November 2021.
DENPASAR, KOMPAS – Penerapan kelas rawat inap standar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat diharapkan tidak terburu-buru. Kesiapan rumah sakit perlu menjadi pertimbangan utama. Aturan terkait tarif iuran dan kebutuhan dasar kesehatan pun perlu disesuaikan secara bersamaan.
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Bambang Wibowo menuturkan, rumah sakit menyatakan dukungan penuh dalam penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Dalam survei terkait penerapan kelas standar tersebut, 91 persen dari sekitar 1.200 rumah sakit setuju dengan penerapan kelas rawat inap standar.
”Dukungan rumah sakit akan penerapan kelas standar sangat besar, namun memang kesiapannya belum optimal. Dari 12 kriteria kelas standar, capaian untuk kesiapannya baru 30-60 persen,” katanya dalam acara Media Workshop BPJS Kesehatan 2022 di Denpasar, Bali, Rabu (12/10/2022).
Dua belas kriteria kelas standar yang dimaksud diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor 1811 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Kesiapan Sarana Prasarana Rumah Sakit dalam Penerapan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional. Kriteria tersebut, antara lain, meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas tinggi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, nakas per tempat tidur, tirai atau partisi antartempat tidur, serta kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas.
Saat ini, uji coba penerapan KRIS masih berjalan. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor 2995 Tahun 2022 tentang Rumah Sakit Penyelenggara Uji Coba Penerapan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional, terdapat empat rumah sakit yang ditunjuk untuk menerapkan uji coba tersebut. Empat rumah sakit itu adalah RSUP Abdullah Rivai, Palembang; RSUP Surakarta; RSUP Tadjudin Chalid, Makassar; dan RSUP Leimena, Ambon.
Dukungan rumah sakit akan penerapan kelas standar sangat besar, namun memang kesiapannya belum optimal. Dari 12 kriteria kelas standar, capaian untuk kesiapannya baru 30-60 persen.
Bambang menuturkan, pemenuhan kriteria tersebut tidak mudah bagi sejumlah rumah sakit. Hal ini membutuhkan Investasi yang cukup besar agar memenuhi semua kriteria. Maka, penerapan kelas standar pun perlu dijalankan secara bertahap menyesuaikan dengan kesiapan rumah sakit.
Meskipun mayoritas rumah sakit mendukung pelaksanaan kelas rawat inap standar untuk program JKN-KIS, penolakan masih terjadi pada sejumlah rumah sakit. Penolakan itu terutama pada rumah sakit yang berada di wilayah Nusa Tenggara Timur dan Papua. Fasilitas serta ketersediaan sarana dan prasarana di wilayah tersebut masih amat terbatas sehingga sulit untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan.
”Kami (rumah sakit) berharap agar kelas standar diterapkan secara bertahap. Jangan terlalu cepat dan jangan tergesa-gesa agar bisa disiapkan dengan baik,” kata Bambang.
Selain itu, ia menambahkan, peru dipastikan adanya regulasi yang jelas terkait dengan penerapan kelas standar. Berbagai perubahan masih terjadi mengenai definisi dan implikasi kelas standar, khususnya kelas standar untuk peserta mandiri dan peserta penerima bantuan iuran (PBI). Konsep yang belum jelas tersebut membuat rumah sakit kebingungan, sementara investasi yang dibutuhkan cukup besar.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Aplikasi Mobile JKN yang dimiliki para kader JKN-KIS dapat memeriksa status kepesertaan warga dalam jaminan kesehatan. Ini menjadi salah satu aplikasi penting yang wajib dimiliki para kader JKN-KIS. Foto diambil di Tangerang Selatan, Banten, pertengahan November 2019.
Bambang menuturkan, penyesuaian kelas standar pun diharapkan tidak berjalan secara parsial. Penerapan kelas standar harus diikuti dengan penyesuaian besaran iuran peserta dan penetapan kebutuhan dasar kesehatan. Hal tersebut perlu dipastikan terlebih dahulu seiring dengan penerapan kelas standar.
Senada dengan Bambang, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti menuturkan, penerapan kelas standar diharapkan tidak tergesa-gesa. Kajian ulang perlu dilakukan untuk melihat tujuan dari penerapan kelas rawat inap standar JKN-KIS.
”Awalnya tujuan KRIS untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Namun, kondisi saat ini defisit sudah bisa diatasi sehingga tujuannya lebih untuk peningkatan mutu dan pemerataan akses. Untuk meningkatkan mutu itu tidak hanya terkait fisik layanan kesehatan, tetapi juga ketersediaan dokter dan obat,” tuturnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, penerapan KRIS juga harus memperhatikan dampak yang bisa terjadi. Penerapan KRIS justru bisa kontraproduktif dengan sistem yang saat ini sudah berjalan baik.
KOMPAS/ WISNU WIDIANTORO
Petugas melayani warga yang mengurus keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Tangerang, Banten, pertengahan November 2018.
Penerapan kelas standar akan mengarah pada besaran iuran tunggal. Itu artinya, besaran iuran pada peserta mandiri kelas tiga bisa meningkat, sementara besaran iuran untuk peserta segmen mandiri kelas satu akan menurun. ”Pada peserta mandiri kelas tiga ini berpotensi untuk menunggak sehingga bisa berdampak pada kondisi BPJS Kesehatan,” katanya.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berpendapat, penerapan KRIS dinilai tidak tepat diterapkan saat ini. Penerapan KRIS yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat justru bisa menimbulkan diskriminasi dalam layanan di rumah sakit. Masyarakat yang enggan untuk turun kelas dalam layanan JKN-KIS akan memilih layanan kesehatan lain sehingga semangat gotong royong yang diusung dalam program JKN-KIS tidak tercapai.