Keadilan Restoratif Bergeser Jadi Cara Hentikan Perkara
Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif seharusnya masih jauh dari harapan. Pelaku justru sering memanfaatkan mekanisme tersebut untuk menghindari proses hukum.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat mengikuti aksi damai antikekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jalan Jenderal Sudirman depan Kantor Gubernur Sumatera, Padang, Sumatera Barat, Kamis (25/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme dan penerapan keadilan restoratif sebagai penyelesaian alternatif perkara pidana masih menghadapi tantangan dan hambatan. Mekanisme yang seharusnya memastikan perempuan korban mendapatkan hak-haknya untuk pulih dari kekerasan yang dialami, dalam praktiknya justru bergeser menjadi cara untuk menghentikan perkara.
Pergeseran penerapan mekanisme keadilan restoratif malah menguntungkan para pelaku kekerasan terhadap perempuan. Hal ini juga semakin membuka celah impunitas pelaku dan keberulangan tindakan kekerasan yang dilaporkan korban.
Kondisi ini ditemukan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) saat melakukan pemantauan terkait penerapan keadilan restoratif baik oleh institusi penegak hukum melalui sistem peradilan pidana, maupun melalui mekanisme sosial yang hidup di masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis jender. Pemantauan tersebut berlangsung pada Agustus-November 2022, di 23 kabupaten/kota di 9 provinsi di Indonesia.
Perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban yang paling dirugikan dari kondisi ini, terutama perempuan adat yang berhadapan dengan diskriminasi yang berlapis.
Hasil pemantauan tersebut disampaikan komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini dan Siti Aminah Tardi, pada Peluncuran Laporan Nasional Hasil Pemantauan tentang Pelaksanaan Mekanisme Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Jender di 9 Provinsi, Selasa (19/9/2023).
TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Peluncuran Laporan Nasional Hasil Pemantauan Tentang Pelaksanaan Mekanisme Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Jender di 9 Provinsi, Selasa (19/9/2023).
Selain belum terdapat regulasi yang lebih kuat dalam sistem hukum di Indonesia, penerapan keadilan restoratif juga masih terkendala oleh minimnya pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan aparat penegak hukum (APH) dan penyelenggara layanan. Sosialisasi kepada masyarakat luas, lembaga layanan pemerintah, lembaga berbasis keagamaan, dan lembaga berbasis masyarakat juga masih kurang.
”Praktik mediasi yang dilakukan lembaga adat menjadi alternatif bagi kepolisian dalam perkara-perkara yang dianggap cukup diselesaikan di lembaga adat, maupun menjadi syarat perkara dapat dicabut dalam laporan kepolisian,” ujar Siti Aminah.
Bahkan, dalam praktik selama ini, penerapan keadilan restoratif pada akhirnya menghambat perempuan korban kekerasan berbasis jender dalam mengakses keadilan, serta berpotensi terjadinya pelanggaran hak konstitusional baik korban maupun pelaku.
”Perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban yang paling dirugikan dari kondisi ini, terutama perempuan adat yang berhadapan dengan diskriminasi yang berlapis,” tegas Siti Aminah.
Komnas Perempuan melakukan pemantauan penerapan keadilan restoratif karena mekanisme ini menjadi arah pembangunan hukum nasional agar penyelesaian kasus atau perkara pidana lebih cepat dan mengurangi kelebihan kapasitas penghungi di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Pemantauan dengan mewawancarai 449 narasumber untuk mengenali praktik-praktik penerapan mekanisme keadilan restoratif dan praktik serupa baik dalam sistem peradilan ataupun di luar sistem peradilan.
Belum ada regulasi yang kuat
Dari hasil pemantauan, sampai saat ini belum terdapat regulasi yang lebih kuat dalam sistem hukum di Indonesia, terutama untuk merespons penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis jender dengan menggunakan mekanisme keadilan restoratif.
Sejauh ini, kebijakan yang digunakan aparat penegak hukum (APH) berupa Peraturan Kepala Polisi No 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung No 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakukan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, dan Peraturan MA No 4/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Namun, dalam pelaksanaannya, peraturan-peraturan tersebut belum diikuti dengan peningkatan kapasitas APH dan penyelenggara layanan yang cukup, terkait pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan dalam penerapan mekanisme keadilan restoratif. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat luas, lembaga layanan pemerintah, lembaga berbasis keagamaan, dan lembaga berbasis masyarakat juga masih kurang.
Theresia mengungkapkan, dari pemantauan Komnas Perempuan menemukan lima ciri utama dalam praktik keadilan restoratif, yakni adanya praktik pelibatan prosedural, adanya celah impunitas dan keberulangan, pengabaian pemulihan korban, pengutamaan citra semu harmoni, serta minim akuntabilitas.
”Praktik-praktik ini disumbang oleh kondisi kebijakan yang masih sumir dan belum lengkap, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, pengawasan yang langka, serta budaya patriarki dan feodalisme yang diadopsi dalam penyelenggaraan keadilan restoratif,” kata Theresia.
Aparat penegak hukum
Peluncuran hasil pemantauan yang dibuka Wakil Ketua Komnas Perempuan Marianna Amiruddin, juga mendengarkan tanggapan dari perwakilan lembaga penegak hukum antara lain Robert Sitinjak (Jaksa Ahli Madya di Kejaksaan Agung), Komisaris Besar (Pol) Ciceu CW Meilawati (Analis Kebijakan Madya, Badan Reserse Kriminal Polri), dan Lucky Endarwati (dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya).
Robert menegaskan, dari catatannya, kendalanya bukan karena semata-mata SDM, tetapi pada penerapan yang keliru soal keadilan restoratif. Dia mencontohkan dalam konteks pembuktian unsur paksaan dalam kasus kekerasan seksual, diakuinya masih ada penuntut umum yang memberikan petunjuk yang keliru pada penyidik.
Suasana para aktivis mengikuti Aksi Kamisan ke-767 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/3/2023). Aksi Kamisan ke -767 ini mengangkat tema hak perlindungan perempuan seiring peringatan Hari Perempuan Internasional.
Di kepolisian, menurut Ciceu, terkait belum terdapat regulasi yang lebih kuat dalam penerapan mekanisme keadilan restoratif. Hal tersebut masih terus dievaluasi terkait implementasinya dan akan disiapkan juga petunjuk teknisnya sehingga dalam pelaksanaannya tidak terkendala.
”Masih ada dalam implementasi, mekanisme penanganan keadilan restoratif masih perlu disingkat,” ujar Ciceu. Ia mencontohkan di Bareskrim, mekanisme keadilan restoratif sesuai aturan harus diajukan kepada Kepala Bareskrim, sementara Kepala Bareskrim dengan tingkat kesibukannya tidak bisa menampung semuanya.
Mariana Amiruddin menegaskan, keadilan restoratif saat ini sudah menjadi konsumsi publik sebagai alternatif penyelesaian atas sejumlah kasus termasuk pidana dan menjawab masalah-masalah penanganan hukum yang masih menemui sejumlah kendala.
Anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat berorasi dalam aksi damai antikekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jalan Jenderal Sudirman depan Kantor Gubernur Sumatera, Padang, Sumatera Barat, Kamis (25/11/2021).
Masalah tersebut seperti kelebihan kapasitas di Lapas, meningkatnya jumlah perkara yang tidak sebanding dengan jumlah APH hingga mahalnya biaya perkara, ditambah lagi dengan kondisi kasus yang beragam dan kondisi geografis di Indonesia dengan fasilitas terbatas terutama di wilayah kepulauan.
Hasil pemantauan tersebut diharapkan memberi gambaran tentang situasi penanganan kekerasan terhadap perempuan dan tantangan penanganannya, baik dalam praktik sistem peradilan maupun dalam mekanisme sosial.
”Sebuah mekanisme yang komprehensif merespons situasi dan kebutuhan pemulihan korban semoga segera dapat kita wujudkan sebagai bagian dari komitmen berbangsa kita, serta Indonesia yang lebih baik,” papar Mariana.