Kekerasan Seksual Terjadi Bertubi-tubi, Ketajaman Pisau UU TPKS Dinanti
Perempuan dan anak terus menjadi korban kekerasan seksual. Implementasi UU TPKS masih terkendala aturan turunan yang belum tersedia. Di sisi lain, aparat penegak hukum diminta tak ragu terapkan UU TPKS.
Lebih dari setahun Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, kekerasan seksual hingga kini terus menjadi mimpi buruk bagi perempuan dan anak-anak di Tanah Air. Kasus demi kasus kekerasan seksual bermunculan dalam modus beragam di ruang privat dan publik.
Hampir tak ada lagi ruang aman bagi perempuan dan anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Bahkan, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk pendidikan berbasis agama, pun belum berhenti. Para pelaku adalah sosok yang seharusnya menjadi pembimbing dan panutan.
Hampir tiap pekan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menerima berbagai kasus kekerasan seksual. Pada pertengahan Mei 2023, terungkap 13 perempuan dan anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan guru mengaji di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di tahap awal ini yang masih menimbulkan kebingungan, terutama sistem pelayanan terpadu saat awal pengaduan.
Pekan lalu, Kementerian PPPA kembali mendapat laporan adanya dugaan kekerasan seksual di pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang diduga dilakukan pimpinan lembaga, yakni LMI (43) dan HSN (50). Sebanyak 41 santriwati yang menjadi penghuni pondok pesantren tersebut diduga menjadi korban kekerasan seksual selama rentang waktu tujuh tahun (2016-2023). Tiga di antara korban telah membuat laporan polisi beberapa waktu lalu. Saat ini, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kepolisian Resor Lombok Timur.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menegaskan kasus dengan modus di antaranya ”janji masuk surga” melalui ”pengajian seks” tersebut merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat.
Pada pekan lalu, publik juga dikejutkan dengan berita kematian ABK (16), putri Penjabat Gubernur Papua Pegunungan, yang diduga menjadi korban kasus kekerasan seksual oleh pelaku yang baru dikenal di media sosial, awal Mei 2023.
Kasus-kasus kekerasan seksual yang tak kunjung berhenti mengundang berbagai keprihatian mendalam sekaligus pertanyaan mengapa kasus kekerasan seksual tak berhenti, padahal Indonesia sudah punya regulasi yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual.
Sejumlah pertanyaan pun mengemuka, antara lain bagaimana implementasi dari UU TPKS ? Apakah UU yang diundangkan sejak 9 Mei 2022 tidak berdampak di tengah masyarakat? Apakah aparat penegak hukum sudah menerapkan UU TPKS ketika menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan masyarakat kepada kepolisian? Bagaimana dengan lembaga-lembaga layanan korban kekerasan baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat sipil?
Bicara implementasi UU TPKS, salah satu kendala yang dihadapi ketika kasus kekerasan seksual dilaporkan kepada aparat penegak hukum (kepolisian), umumnya kepolisian belum berani memproses dengan UU TPKS. Alasannya, menunggu aturan turunannya atau peraturan pelaksana yang hingga kini belum ada.
Baca juga: Kasus Terus Mencuat, Implementasi UU TPKS Masih Terhambat
Padahal, sebulan setelah UU TPKS diundangkan, 28 Juni 2022, Kepala Polri langsung mengirim telegram ke seluruh jajaran kepolisian dan memerintahkan agar kepolisian langsung menggunakan UU TPKS. Tidak ada persyaratan harus menunggu aturan turunan dan lainnya.
Simplifikasi aturan pelaksana
Terkait aturan pelaksana, hingga kini pemerintah (Kementerian PPPA dan Kementerian Hukum dan HAM) berupaya merampungkannya sebagaimana diamanatkan UU TPKS. Setelah melewati kajian, pemerintah memutuskan melakukan simplifikasi dari peraturan pelaksana UU TPKS tersebut.
Simplifikasi dilakukan dari 5 peraturan pemerintah dan 5 peraturan presiden menjadi 3 PP dan 4 perpres.
Adapun ketiga PP yakni PP tentang Dana Bantuan Korban TPKS; PP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; dan PP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan TPKS.
Sementara empat perpres terdiri dari Perpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Pusat (Kementerian PPPA); Perpres tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum, Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA); serta Perpres tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.
Saat ini, aturan turunan tersebut sudah pada tahap akhir penyusunan. Pekan lalu, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengundang Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan di seluruh Indonesia. Masyarakat sipil diminta mengawal implementasi UU TPKS termasuk memberikan masukan terkait penyusunan aturan turunan dari UU TPKS.
Baca juga: Publik Perlu Kawal Implementasi UU TPKS
”Masukan publik penting untuk memastikan peraturan yang disusun tepat sasaran dan dapat dilaksanakan di lapangan,” kata Darmawati.
Sinergi lembaga layanan
Koordinator Sekretaris FPL, Siti Mazuma, mengungkapkan, ada sejumlah isu krusial yang menjadi masukan FPL. Salah satunya adalah terkait PP tentang UPTD PPA.
”Kami berharap PP ini mampu menjawab tantangan di lapangan, bagaimana antara lembaga layanan berbasis masyarakat dan UPTD PPA dapat bersinergi memberikan layanan yang terbaik bagi korban kekerasan seksual, khususnya di wilayah kepulauan, terluar, dan termiskin,” kata Siti.
Tak hanya itu, PP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS juga perlu mendapat perhatian. Hal tersebut karena banyak hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
PP tersebut perlu memastikan pendekatan dalam rehabilitas sosial yang tidak menempatkan korban sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Maka, perlu dibangun mekanisme rehabilitas sosial berbasis komunitas dengan mengoptimalkan elemen-elemen kunci di masyarakat.
Misalnya, tenaga penyedia bimbingan rohani dan spiritual bagi korban tidak boleh menghakimi, menyalahkan, dan menghambat proses pemulihan korban. Sebab, pengalaman selama ini, ketika korban mengikuti bimbingan rohani, dia justru mendapat nasihat yang kerap kali menyudutkan korban.
Dalam penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban TPKS, FPL juga mengusulkan perlu memasukkan tata cara publikasi di media untuk menjaga kerahasiaan identitas korban. Di sejumlah kasus, publikasi identitas berdampak terhadap trauma dan reviktimisasi pada korban.
Baca juga: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat, Penguatan Kelembagaan Diperlukan
Asfinawati, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, prihatin melihat penerapan UU TPKS yang tidak bisa dilakukan pasca-diundangkannya UU TPKS. Di lapangan, sejumlah kasus kekerasan seksual penegakan hukumnya belum menggunakan UU TPKS karena belum ada peraturan pelaksananya.
”Di tahap awal ini yang masih menimbulkan kebingungan, terutama sistem pelayanan terpadu saat awal pengaduan,” ujar Asfinawati.
Banyaknya kasus kekerasan seksual semakin menunjukkan betapa mendesaknya UU TPKS segera diimplementasikan. Semakin lama penerapannya, semakin panjang daftar kasus yang bisa terjadi. Harapan masyarakat terhadap UU TPKS yang besar haruslah segera diwujudkan.
UU TPKS harus menjadi senjata pamungkas memerangi kejahatan seksual. Maka, aparat penegak hukum seharusnya tanpa ragu menerapkan UU TPKS. Tidak ada alasan lagi menunggu aturan pelaksana. Jika tidak, UU TPKS hanya akan jadi macan kertas yang tak pernah membawa efek jera pada pelaku kekerasan seksual.