Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat, Penguatan Kelembagaan Diperlukan
Kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat jumlahnya. Seiring layanan yang perlu terus ditingkatkan, kelembagaan Komnas Perempuan pun perlu diperkuat secara kelembagaan. Terkait itu, Presiden Jokowi mendukung.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Laporan kasus kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin banyak. Kesadaran untuk berani melapor perlu disertai pendampingan dan penanganan korban yang lebih baik. Karena itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan juga perlu diperkuat.
Presiden Joko Widodo menerima Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani yang disertai Wakil Ketua Olivia Salampessy di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (27/2/2023). Hadir pula komisioner lainnya, yaitu Dewi Kanti, Imam Nahei, Bahrul Fuad, Rainy M. Hutabarat, Satyawanti Mashudi, Theresia Iswarini, dan Veryanto Sitohang. Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati turut mendampingi Presiden Jokowi.
Andy menjelaskan, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat terus. Setidaknya, pada 2022 kasus meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya menjadi 510.584 kasus. Sebanyak 61 persen kasus di ranah personal, terutama oleh mantan pacar dan suami. Sebanyak 65 persen pengaduan memuat kekerasan seksual.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberi keberanian para korban untuk melaporkan kasusnya. Bahrul Fuad menambahkan, dalam sehari, Komnas Perempuan bisa menerima lima sampai tujuh pengaduan kekerasan yang dialami perempuan.
Tingginya kesadaran ini perlu diiringi dengan layanan Komnas Perempuan yang semakin baik, juga penanganan kasus-kasus terkait perempuan yang semakin baik di aparat penegak hukum.
Andy menyampaikan urgensi dukungan penguatan kelembagaan Komnas Perempuan. Karena itu, diharapkan Presiden Joko Widodo mendukung perubahan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang kelembagaan Komnas Perempuan dan Perpres No 132/2017 tentang Hak Keuangan Komnas Perempuan.
Tingginya kesadaran ini perlu diiringi dengan layanan Komnas Perempuan yang semakin baik, juga penanganan kasus-kasus terkait perempuan yang semakin baik di aparat penegak hukum.
Di sisi lain, kata Fuad, perlu ada akses keadilan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan.
Dalam temuan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, baik disabilitas psikososial maupun mental, baru diketahui setelah korban hamil. Korban sendiri terkadang menyadari kalau mengalami kekerasan. Karena itu, pemerintah perlu mendorong pendidikan seksual termasuk kepada perempuan disabilitas supaya bisa melindungi diri dari kekerasan.
Selain itu, pemahaman aparat penegak hukum terkait korban disabilitas juga perlu ditingkatkan. ”Seringkali kalau korban tuli, polisi tidak mengerti bahasa isyarat sehingga tidak memahami apa yang disampaikan. Kalau korbannya disabilitas intelektual atau psikososial, sering dianggap tidak kapabel untuk menjelaskan atau tidak dipercaya aparat,” ujar Fuad.
Seringkali kalau korban tuli, polisi tidak mengerti bahasa isyarat sehingga tidak memahami apa yang disampaikan. Kalau korbannya disabilitas intelektual atau psikososial, sering dianggap tidak kapabel untuk menjelaskan atau tidak dipercaya aparat.
Karena itu, diperlukan peningkatan kapasitas di unit-unit pelayanan perempuan dan anak di kepolisian di berbagai wilayah.
Penguatan implementasi di berbagai unit pelayanan perempuan dan anak di kepolisian dinilai penting karena aturan perundangan yang ada. UU TPKS yang disahkan pada tahun 2022 juga dinilai cukup komprehensif. Ada pencegahan sampai aspek pemulihan korban. Hak-hak korban juga mulai mendapat perhatian.
Dukungan dari Presiden
Dari diskusi yang singkat ini, Bapak Presiden menegaskan dukungan beliau untuk memastikan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam hal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan mendorong adanya payung hukum yang lebih baik bagi perempuan pekerja, khususnya perempuan pekerja rumah tangga.
Presiden Jokowi pun mendukung implementasi UU TPKS. ”Dari diskusi yang singkat ini, Bapak Presiden menegaskan dukungan beliau untuk memastikan penghapusan kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam hal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan mendorong adanya payung hukum yang lebih baik bagi perempuan pekerja, khususnya perempuan pekerja rumah tangga,” ujar Andy Yentriyani dalam keterangannya seusai pertemuan.
Sosialisasi UU TPKS, diharapkan Presiden, juga terus dilakukan. Dengan demikian, masyarakat dan aparat penegak hukum dapat menggunakan undang-undang tersebut untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan. Diharapkan juga masukan untuk pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Selain itu, Presiden juga menyampaikan komitmen pemerintah untuk melindungi PRT. (INA)