Dorong RUU PPRT, Komnas Perempuan Luncurkan Buku tentang PRT
Kehadiran UU PPRT sudah dinantikan. Karena itu, berbagai kalangan terus mendorong DPR segera mengesahkan UU PPRT untuk melindungi PRT dari berbagai kekerasan serta memberi kepastian hukum bagi PRT dan pemberi kerja.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Kamis (16/2/2023), meluncurkan buku Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga: Perspektif Agama dan Sosial Budaya. Buku tersebut diharapkan mendorong pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat mempercepat penetapan legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai undang-undang.
Selain memotret nilai-nilai agama/kepercayaan atau sosial budaya terkait dengan pekerja rumah tangga (PRT), buku tersebut juga memotret kondisi sosial budaya masyarakat dalam memperlakukan PRT.
”Buku ini ditulis oleh beberapa penulis dari latar belakang agama berbeda, sebagai upaya membangun perspektif di dalam kultur masyarakat kita terkait PRT dan sebagai kontribusi pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang,” ujar Tiasri Wiadani, komisioner Komnas Perempuan, saat peluncuran buku tersebut, sekaligus memperingati Hari PRT Nasional.
Tidak ada agama yang mendiskriminasikan PRT. Pemahaman tersebut penting dalam penempatan tenaga kerja sebagai PRT.
Komnas Perempuan menyusun buku Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga: Perspektif Agama dan Sosial Budaya sebagai salah satu dokumen tertulis penting yang menunjukkan profesi PRT merupakan pekerjaan yang diakui dan dilindungi oleh setiap agama/kepercayaan. Melalui buku tersebut diharapkan publik semakin memahami pentingnya peran PRT. Hanya saja, meski berperan penting, PRT masih sering mengalami ketidakadilan jender, diskriminasi, dan kekerasan dengan beragam bentuk, termasuk kekerasan seksual.
Theresia Iswarni, komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan, buku tersebut disusun karena kerja PRT merupakan pekerjaan perawatan (carework) menjadi proporsi signifikan dalam angkatan kerja nasional. Mayoritas PRT adalah perempuan yang memberi kontribusi tambahan ekonomi bagi keluarga PRT dan dukungan bagi keluarga pemberi kerja.
”Selain itu, konteks penyusunan buku ini karena ketiadaan pelindungan dan pengakuan rentan mengakibatkan PRT mendapat kekerasan dan pelanggaran hak pekerja. Dari kacamata agama, penindasan terhadap PRT adalah pelanggaran kemanusiaan dan ajaran agama,” tutur Theresia.
Proses legislasi RUU PPRT yang terkatung-katung hampir dua dekade menunjukkan pengakuan dan perlindungan terhadap pekerja rumah rumah tangga belum dianggap serius oleh pimpinan di DPR.
Buku tersebut berisi tujuh tulisan yang berjudul ”Rahim Perempuan Diperalat sebagai Penerus Perbudakan Tradisional” (Martha Hebi), ”Cerita Hagar dan Sara: Perbudakan Perempuan Terjadi dari Zaman ke Zaman” (Yuliana Magdalena Benu), dan ”Tentang Wayan, PRT di Rumah Kami dan Perjuangan Memanusiawikan Orang Lain dalam Pandangan Buddhisme” (Ivy Sudjana).
Tulisan lain berjudul ”Islam Menjamin Hak Asasi Pekerja Rumah Tangga Imam” (Nahe’i), ”Gereja Mengangkat Derajat PRT dari Budak, Ngenger, Menjadi Pekerja (Aegidius Eka Aldilanta), ”Bagaimana Konghucu Melihat Relasi Pemberi Kerja dan PRT: Harus Adil dan Setara” (Liem Liliany Lontoh), dan ”Di Tengah Perubahan Politik dan Aktor Elit, Mari Melihat Jalan Keadilan bagi PRT” (Arie Sujito).
Praktik perbudakan
Buku Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga: Perspektif Agama dan Sosial Budaya, menurut Luviana Arijanti, yang menjadi editor buku tersebut, menggambarkan berbagai perspektif, seperti praktik perbudakan yang terlihat dari adanya relasi kuasa, yang menjadi budak adalah perempuan, anak, dan laki-laki.
”Secara sosio-ekonomi, tuan adalah mereka yang memiliki kekayaan, kuasa, dan posisi atau kedudukan yang tinggi. Adapun budak atau hamba adalah mereka yang berasal dari keluarga miskin dari generasi atau keturunan budak atau hamba sejak lahir, musuh yang menjadi tawanan perang, dan mereka yang terjebak utang,” kata Luviana, yang juga Pemimpin Redaksi Konde.co.
Peluncuran buku tersebut disambut positif oleh Willy Aditya (anggota DPR) dan Liliek Setyarini (Direktorat Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan). Buku tersebut diharapkan akan menambah cara pandang DPR terhadap PRT, terutama terkait dengan RUU PPRT.
”Kehadiran buku ini memberikan salah satu perspektif,” ujar Willy.
Menurut Liliek, buku tersebut bisa menggambarkan kondisi di lapangan terkait PRT. Ia berkeyakinan tidak ada agama yang mendiskriminasikan PRT. Pemahaman tersebut penting dalam penempatan tenaga kerja sebagai PRT.
Veryanto Sitohang, komisioner Komnas Perempuan, menambahkan, RUU PPRT tidak hanya bicara PRT, tetapi juga perlindungan pemberi kerja. Karena itu, pihaknya mendorong DPR segera membahas dan menetapkan RUU PPRT menjadi UU.
Sementara itu, desakan kepada DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT menjadi UU terus mengalir. Aliansi Perempuan Bangkit yang tergabung dari para aktivis perempuan dari gerakan tahun 1980, 1990, hingga 2000 mendukung perjuangan para PRT untuk pengesahan RUU Perlindungan PRT menjadi undang-undang.
”Sudah 19 tahun berjuang, tetapi DPR bergeming, tak juga mengesahkannya. Draf RUU PPRT sudah diputuskan Baleg DPR untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR, tetapi sudah lebih dari dua tahun menunggu, Ketua DPR tidak juga membawa RUU ini ke rapat paripurna,” ujar Nur Amalia, mewakili Aliansi Perempuan Bangkit.
Karena itu, mereka mendesak DPR, terutama Ketua DPR, agar memproses RUU PPRT menjadi UU demi menghentikan kekerasan dan praktik perbudakan modern terhadap PRT.