Pemerintah Siap Bahas RUU Perlindungan PRT Bersama DPR
Proses legislasi RUU PPRT hingga kini masih menanti langkah di DPR. Hampir sebulan pasca-pernyataan Presiden Joko Widodo soal percepatan pengesahan UU PPRT, hingga kini belum ada kepastian kapan DPR membahas RUU itu.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran undang-undang yang melindungi dan mengakui status pekerja rumah tangga mendesak diwujudkan. Saat ini, pemerintah siap untuk membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU PPRT agar segera ditetapkan menjadi undang-undang. Pemerintah menanti ajakan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas RUU tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, pemerintah menunggu panggilan dari DPR dan sudah menyiapkan segala perangkat yang diperlukan untuk membahas RUU PPRT.
”Karena dari sudut prosedural dan pengambilan inisiatif, RUU ini merupakan inisiatif DPR, maka pemerintah sekarang ini menunggu untuk diajak, dipanggil, membahas RUU itu secepatnya,” ujar Mahfud saat hadir pada Pawai HAM Mendukung Percepatan Pengesahan UU PPRT yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Minggu (12/2/2023) pagi, di kawasan bebas kendaraan bermotor di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
RUU ini merupakan inisiatif DPR, maka pemerintah sekarang ini menunggu untuk diajak, dipanggil, membahas RUU itu secepatnya.
Dukungan penuh diberikan pemerintah pada RUU PPRT karena pembahasan RUU tersebut di DPR sudah melalui prosedur-prosedur ketat dan telah tertunda lama hampir 19 tahun. Maka, pada tanggal 18 Januari 2023 lalu, Presiden Joko Widodo memberikan dukungan terbuka agar RUU PPRT segera dibahas dan diundangkan.
”Kami menunggu dari DPR, secepatnya,” tambah Mahfud.
Selain Menko Polhukam, dukungan terhadap RUU PPRT juga disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang hadir menemui para peserta pawai yang dipimpin Ketua Komnas Perempuan Atnike Sigiro dan para komisioner Komnas HAM.
Menaker menegaskan kembali perintah Presiden Jokowi untuk mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU PPRT. Sebelumnya, Kantor Staf Presiden juga membentuk Satuan Tugas Percepatan Pembahasan RUU PPRT dan menggelar diskusi grup terfokus dengan pemerintah dan pemangku kebijakan lainnya.
”Intinya, kami pemerintah siap menyambut adanya inisiatif RUU PPRT yang sekarang masih ada di DPR. Begitu RUU PPRT jadi RUU inisiatif DPR, pemerintah sudah siap membahas,” ujar Ida.
Ida juga menegaskan, pemerintah sangat siap mendiskusikan dan mendengarkan pendapat berbagai pemangku kebijakan jika masih ada isu-isu yang menjadi perdebatan. Hingga kini bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemenaker terus menjalin komunikasi dengan DPR.
”Mudah-mudahan tidak dalam waktu yang lama RUU ini segera menjadi RUU inisiatif DPR yang segera dibahas DPR,” tambah Ida.
Dukungan kepada DPR untuk segera mempercepat pembahasan RUU PPRT juga disampaikan Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V Kantor Staf Presiden), Ratna Susianawati (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Theresia Iswarini (komisioner Komnas Perempuan), Eva K Sundari (Koordinator Koalisi Sipil UU PPRT), Mutiara Ika (Perempuan Mahardhika), serta sejumlah aktivis pendukung RUU PPRT.
Beri kepastian hukum
Atnike menegaskan, Komnas HAM memberikan perhatian pada RUU PPRT karena PRT merupakan salah satu kelompok marjinal atau rentan. Selama ini Komnas HAM kerap menerima pengaduan kasus PRT yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia, antara lain gaji tidak dibayarkan, hilang kontak, kekerasan, perdagangan orang, dan kekerasan seksual.
”Karena mereka tidak mendapat status resmi sebagai PRT, hak mereka sebagai pekerja kerap diabaikan oleh pemberi kerja,” kata Atnike.
Karena itu, Komnas HAM pada tahun 2021 melakukan kajian tentang pekerjaan yang layak bagi PRT dan urgensi pengesahan RUU PPRT sebagai UU. Hasilnya, Komnas HAM berkesimpulan mendorong kondisi HAM yang kondusif bagi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak PRT melalui pembentukan UU PPRT.
UU PPRT memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja serta mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT. UU PPRT juga akan mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan; meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT; serta meningkatkan kesejahteraan PRT.
”Tentu tidak mudah mewujudkan hak PRT sebagai pekerja. Namun, Komnas HAM memandang adanya UU justru menaikkan kualitas PRT menjadi pekerja profesional, yang selama ini diabaikan kemampuannya karena tidak ada pengakuan pemerintah,” ujar Atnike.
Dengan adanya pengakuan sebagai pekerja, lembaga pemerintah dapat mengalokasi anggaran untuk memperkuat profesionalitas PRT. Artinya, pemberi kerja tidak perlu khawatir UU PPRT akan mempersulit posisi pemberi kerja, tetapi justru akan mendapatkan kualitas PRT yang lebih baik, kepastian hukum, dan sebagainya.
Eva Sundari menegaskan, pengesahan RUU PPRT menjadi UU tidak bisa lagi ditunda-tunda. Sebab, ketiadaan payung hukum yang melindungi PRT membuat para PRT hingga kini mengalami berbagai kekerasan.
”Angka dari Jala PRT, setiap hari ada 10 hingga 11 orang yang laporkan kasus yang diderita PRT, mulai dari yang ditipu agen, disiksa dan ditinggalkan di tengah jalan, dan lain-lain. Hanya satu-dua yang bisa ditindaklanjuti. Artinya, kalau menunda lagi, akan ada 10-11 korban lagi tiap hari. Mudah-mudahan DPR terketuk hatinya,” kata Eva.