Kasus kekerasan terhadap anak terus bermunculan selama beberapa waktu terakhir. Fenomena ini haruslah menjadi alarm bagi semua pihak untuk memberikan pelindungan lebih serius bagi anak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Suwarti (kanan) memeluk R, anaknya, saat rilis kasus kekerasan dalam rumah tangga, Sabtu (1/10/2022), di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Setelah lebih dari lima tahun berpisah, Suwarti akhirnya bertemu dengan R. Anak usia enam tahun itu diduga menjadi korban KDRT yang dilakukan AM, ibu angkatnya.
Kekerasan terhadap anak terus berlangsung, tak berjeda. Di tengah upaya pemerintah mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap anak yang hingga kini masih menjadi fenomena gunung es, kasus demi kasus masih terus terjadi dalam berbagai modus. Kasus lama belum selesai dan bahkan belum terungkap, sudah muncul kasus baru.
Berbagai kebijakan dan aturan perundang-undangan yang dihadirkan hingga akhir 2022 sejauh ini belum menimbulkan ”rasa takut” dan menghentikan praktik kejahatan pada anak-anak. Pelaku kekerasan anak terus bermunculan dan mengincar anak-anak di banyak daerah, di desa ataupun kota.
Penghukuman yang berat bagi para pelaku kekerasan anak, terutama bentuk kekerasan seksual pemerkosaan yang sampai berujung pada hukuman seumur hidup, bahkan hukuman mati, hingga kini belum mampu meredam kasus-kasus kejahatan pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan lembaga layanan anak korban kekerasan masih terus menerima laporan terkait kekerasan terhadap anak.
Sejak memasuki pekan pertama di bulan Januari 2023, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati tak berhenti merespons kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Kasus penculikan anak terjadi berturut-turut di Jakarta dan Makassar. Bahkan, di Makassar, penculikan anak berujung pada pembunuhan anak.
Pemerkosaan pun tetap menjadi momok pada anak-anak. Di Binjai, Sumatera Utara, anak 12 tahun korban pemerkosaan hamil. Di Malang, Jawa Timur, anak 13 tahun jadi korban perundungan di sebuah pondok pesantren. Pemerkosaan beramai-ramai pada perempuan remaja berusia 14 tahun di Bogor, lalu disusul terungkapnya penganiayaan pada pekerja rumah tangga (PRT) anak di Jakarta Selatan, mengundang kemarahan publik.
Pada pekan kedua Januari 2022, publik dikejutkan dengan pengungkapan kasus sodomi terhadap puluhan anak laki-laki oleh guru les rebana di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Lebih dari 21 anak berumur 5-12 tahun menjadi korban kekerasan seksual yang terjadi sejak 2019.
Di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, terungkap kasus pemerkosaan beramai-ramai yang dilakukan 13 pelaku pada seorang perempuan remaja 14 tahun.
Kasus demi kasus kekerasan yang terus terjadi juga menunjukkan semakin sempitnya ruang aman bagi anak-anak di Indonesia.
Kementerian PPPA mengawal sejumlah proses hukum kasus pemerkosaan terhadap anak di Langkat, Sumatera Selatan, dan Banyumas, Jawa Tengah. Di Brebes, Jateng, polisi menangkap enam pelaku pemerkosaan terhadap anak 15 tahun. Kasus kekerasan seksual ayah tiri pada anaknya di Sidoarjo, Jatim, juga mendapat perhatian.
Sementara itu, di Banyuwangi, Jatim, belasan perempuan siswa sekolah dasar diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh gurunya. Di Mojokerto, Jatim, siswa taman kanak-kanak usia 5 tahun mengalami kekerasan seksual dengan pelakunya tiga anak.
Kendati tingginya kasus yang terungkap menunjukkan kesadaran masyarakat dan korban untuk berbicara dan melaporkan kasus-kasus kekerasan yang dialami anak, kasus demi kasus kekerasan yang terus terjadi juga menunjukkan semakin sempitnya ruang aman bagi anak-anak di Indonesia.
Karena itulah, pada akhir Januari 2023, Jumat (27/1/2023), Menteri PPPA menggelar diskusi terbatas. Kementerian/lembaga dan pemerhati anak diajak untuk lebih mempertajam langkah-langkah pencegahan dan penanganan permasalahan anak, serta bersama-sama mencari solusi terbaik dalam menangani isu-isu anak di Indonesia.
Ia pun berharap semakin banyak kasus terungkap, semakin banyak pula anak-anak korban yang diselamatkan dan mendapat keadilan. Tak hanya kekerasan seksual, eksploitasi anak-anak terus terjadi. Praktik perkawinan anak juga terus terjadi di sejumlah daerah.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Sejumlah pelajar menunjukkan telapak tangannya sebagai bentuk kampanye stop kekerasan terhadap anak di sela-sela Peringatan Hari Anak Nasional tingkat Jawa Barat di Kabupaten Kuningan, akhir Juli 2022.
Banyaknya kasus kekerasan pada anak juga tergambar dalam Catatan KPAI tentang Situasi dan Kondisi Perlindungan Anak Indonesia Tahun 2022. Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyebutkan, sepanjang 2022 pihaknya menerima 4.683 pengaduan yang tersebar di berbagai kluster.
Pengaduan tertinggi dari kluster perlindungan khusus anak (PKA) yang menempati angka 2.133 dengan jenis kasus tertinggi, yaitu 834 kasus, anak menjadi korban kejahatan seksual.
KPAI menilai kekerasan pada anak sudah masuk dalam tahap darurat dan mengkhawatirkan. Kondisi ini dipicu faktor kompleksitas kekerasan pada anak yang semakin meningkat. Keterlibatan semua pihak semakin krusial dalam upaya penindakan dan pencegahan.
Usia dini
Daftar kasus kekerasan yang terus memanjang tiada henti terus mengusik nurani kemanusian. Sebab, anak-anak bukan hanya menjadi korban, tetapi juga menjadi pelaku. Anak-anak yang menjadi korban pun usianya semakin muda, bahkan masih di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD).
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), dalam periode Januari-November 2022 terdapat 1.664 anak berusia kurang dari 6 tahun yang menjadi korban kekerasan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Peserta aksi menuliskan pesan dukungan terhadap kampanye antikekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di Jalan Slamet Riyadi, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Juli 2022.
”Melihat data tersebut, hal ini memerlukan dukungan berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam pencegahan kekerasan terhadap anak,” ujar Menteri PPPA ketika menghadiri webinar Pendidikan Antikekerasan di Satuan PAUD, pertengahan Januari 2023.
Semua pihak diingatkan agar memberikan pendidikan antikekerasan terhadap anak sejak usia dini. Hal itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti bercerita atau mendongeng, melalui alat permainan, ataupun melalui musik.
Harapannya, berbagai metode tersebut dapat membentuk kepribadian ataupun perkembangan emosi anak sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
Deputi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Warsito berharap pendidikan antikekerasan di satuan PAUD harus menjadi komitmen bersama semua pihak sebagai upaya menyiapkan generasi emas.