Kekerasan pada anak hingga kini masih menjadi fenomena gunung es. Sejumlah anak yang menjadi korban kekerasan mulai berani berbicara dan melaporkan kasus yang menimpanya. Pelaku terbanyak adalah orang terdekat anak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati (tengah) berfoto bersama Subandi (Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas), Sarpono (Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei BPS), Ignatius Praptoraharjo (Ketua Tim Penulis SNPHAR 2021), Susanto (Ketua KPAI), serta jajaran pimpinan Kementerian PPPA pada peluncuran hasil pengolahan data dan analisis SNPHAR 2021, Rabu (30/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi kekerasan terhadap anak dan remaja di Indonesia dalam tiga tahun terakhir lebih rendah dibandingkan tiga tahun yang lalu. Namun, kejadian kekerasaan terhadap anak dalam bentuk apa pun masih tinggi. Bahkan, gangguan kesehatan mental dan kekerasan yang dialami anak-anak cukup tinggi.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menemukan, persentase perempuan remaja (berusia 13-17 tahun) di perkotaan dan perdesaan yang memiliki gejala permasalahan kesehatan jiwa lebih tinggi dibandingkan laki-laki dalam usia yang sama.
SNPHAR 2021 menunjukkan kuatnya hubungan antara pengalaman kekerasan dan permasalahan kesehatan jiwa. Sebanyak 20,75 persen atau 21 dari 100 perempuan remaja yang mengalami kekerasan fisik memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri dalam 30 hari.
Sebanyak 17 dari 100 perempuan remaja yang pernah mengalami kekerasan seksual berpikir untuk bunuh diri dalam 30 hari terakhir. Bahkan, delapan dari 100 anak tersebut pernah mencoba untuk bunuh diri.
”Pengalaman kekerasan dalam bentuk apa pun lebih banyak dilaporkan oleh anak yang merasa mengalami gangguan emosional, cemas, gelisah, tidak berharga, sering kali merasa sedih, putus asa, dan segalanya terasa sulit,” ujar Ignatius Praptoraharjo, Ketua Tim SNPHAR, Rabu (30/11/2022), pada peluncuran hasil analisa data SNPHAR di Kantor Kementerian PPPA.
Secara umum, hasil SNPHAR 2021 menemukan prevalensi untuk setiap bentuk kekerasan terhadap anak sepanjang hidup pada SNPHAR 2021 lebih rendah daripada tahun 2018.
Untuk pengalaman kekerasan, survei menemukan sebanyak 37 dari 100 laki-laki remaja dan 46 dari 100 perempuan remaja pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apabpun sepanjang hidupnya. Pada masa pandemi Covid-19, sekitar 25 persen dari mereka mengalami kekerasan satu bentuk atau lebih.
Dari survei, prevelansi kekerasan emosional paling tinggi kejadiannya, yakni 32 dari 100 laki-laki remaja dan 43 dari 100 perempuan remaja baik di kota maupun desa pernah mengalami kekerasan emosional sepanjang hidupnya.
Jenis kekerasan emosional yang paling banyak berupa lelucon dan komentar kasar. Pelakunya paling banyak adalah teman sebaya. Adapun kekerasan seksual, empat dari 100 laki-laki remaja dan delapan dari 100 perempuan remaja mengalami kekerasan seksual sepanjangan hidupnya.
Upaya pencegahan kekerasan terhadap anak perlu mengarusutamakan pesan kesetaraan jender dalam berbagai kegiatannya, termasuk pendidikan seksualitas yang komprehensif.
”Sebenarnya tren kejadian sama dengan 2018, yakni mereka yang mengalami kekerasan cenderung melaporkan gangguan jiwa yang lebih besar. Artinya, kita belum punya intervensi mengarah ke situ. Isu kesehatan jiwa pada anak-anak itu tidak pernah kita sentuh sehingga kejadian konsisten saja,” kata Ignatius.
SNPHAR 2021 dilakukan untuk menggambarkan situasi kekerasan terhadap anak dan remaja rentang usia 3-17 tahun dan 18-24 tahun di Indonesia dalam kurun waktu 12 bulan terakhir dan sepanjang hidupnya, termasuk kekerasan selama pandemi Covid-19.
”Survei ini dirancang secara khusus untuk memperkirakan secara nasional tingkat kejadian kekerasan fisik, psikis, atau seksual yang dialami oleh anak dan remaja laki-laki dan perempuan,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kementerian PPPA Nahar.
SNPHAR 2021 mencakup 14.160 rumah tangga yang tersebar di 1.416 blok sensus di 236 kecamatan di 178 kabupaten/kota dari 33 provinsi, dengan menggunakan desain survei kluster empat tahap yang terstratifikasi di lima wilayah yang mencakup Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyerahkan buku SNPHAR 2021 kepada Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei BPS Sarpono pada peluncuran hasil pengolahan data dan analisis SNPHAR 2021, Rabu (30/11/2022).
Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei Badan Pusat Statistik (BPS) Sarpono menyatakan, survei yang dilakukan atas kerja sama Kementerian PPPA dengan BPS dan Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung mengacu pada standar internasional, yakni violence againts children survey (VACS), yang didesain khusus untuk menggali informasi kekerasan terhadap anak.
Adapun petugas yang melakukan wawancara harus pekerja sosial yang sensitif pada isu anak dan kekerasan pada anak serta berpengalaman melakukan survei. Respondennya laki-laki atau perempuan usia 13-24 tahun yang tidak boleh diwakilkan. Wawancara pada anak 13-17 tahun harus melalui persetujuan orangtua dan dilakukan secara privat pada responden anak dan remaja.
Kendati mengalami kekerasan, hanya sekitar 30 persen responden yang mengetahui adanya layanan. SNPHAR 2021 menunjukkan bahwa masih sangat kecilnya layanan yang bisa diakses atau dimanfaatkan oleh mereka yang mengalami kekerasan.
Alasan mereka tidak mencoba untuk mencari bantuan layanan adalah takut tidak ditanggapi, persepsi bahwa prosesnya rumit, dan solusi tidak tepat. Selain itu, mereka merasa pelayanan yang dibutuhkan tidak tersedia dan khawatir masalahnya akan menjadi berlarut-larut.
Dari analisis data SNPHAR 2021, Ignatius mengungkapkan sejumlah rekomendasi, antara lain perlunya menguatkan program dan pelayanan pencegahan kekerasan serta mengembangkan strategi komunikasi yang lebih efektif dan terfokus. Selain itu, perlu mengintegrasikan layanan pencegahan kekerasan ke dalam berbagai kegiatan yang ditujukan untuk keluarga, sekolah, pelayanan kesehatan dan kegamaan, serta kegiatan sosial masyarakat.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati (tengah) bersama Subandi (Plt Deputi Bidang Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas), Sarpono (Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei BPS), Pribudiarta N Sitepu (Sekretaris Kementerian PPPA), Susanto (Ketua KPAI), dan Nahar (Deputi PKA Kementerian PPPA) secara simbolik meluncurkan hasil pengolahan data dan analisis SNPHAR 2021, Rabu (30/11/2022).
Rekomendasi lain adalah pentingnya penguatan kapasitas dan keterampilan anak dan remaja untuk menolak kekerasan dalam bentuk apa pun. Upaya pencegahan kekerasan terhadap anak perlu mengarusutamakan pesan kesetaraan jender dalam berbagai kegiatannya, termasuk pendidikan seksualitas yang komprehensif.
Penting
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, SNPHAR sangat penting penting bagi pemangku kepentingan untuk memahami skala dan permasalahan kekerasan terhadap anak. Hal ini sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan dan program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.
SNPHAR ini juga diharapkan memiliki peran strategis untuk mengukur pencapaian hasil pelaksanaan program perlindungan anak, menyediakan target-target perencanaan penyelenggaraan perlindungan anak, dan sebagai masukan penyempurnaan penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
”Besar harapan saya bahwa data SNPHAR 2021 ini tidak hanya menjadi sekadar dokumen, tetapi benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi penyelenggaraan perlindungan khusus anak, terutama yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak,” kata Bintang Darmawati.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyerahkan buku SNPHAR 2021 kepada Subandi (Plt Deputi Bidang Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas) pada peluncuran hasil pengolahan data dan analisis SNPHAR 2021, Rabu (30/11/2022).
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Subandi menilai SNPHAR 2021 sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah program yang dilakukan berpengaruh dalam menurunkan tingkat kekerasan pada anak. Hasil analisasi yang dilakukan akan memengaruhi kajian pendahuluan (background study) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengapresiasi publikasi hasil SNPHAR 2021. Ia pun menyatakan survei ini sangat bermanfaat untuk pemajuan perlindungan anak. Menurut dia, hasil survei ini perlu dibedah bersama pemangku kebijakan sebagai pintu masuk untuk refleksi, evaluasi, dan perbaikan kebijakan perlindungan anak ke depan.
Susanto memberi perhatian pada data anak korban kekerasan yang cukup tinggi efeknya terhadap kesehatan mental. ”Bagaimana layanan kita? Perbaikan apa yang seharusnya dilakukan,” katanya.