Selama Pandemi, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Anak Luput Dilakukan
Kekerasan dan eksploitasi seksual kepada anak mewarnai perjalanan sepanjang tahun 2020. Aktivitas di rumah saja yang diharapkan menekan penyebaran Covid-19 malah meningkatkan potensi kerentanan itu.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
AFP/ RAUL ARBOLEDA
Seorang aktivis meletakkan boneka dan pesan di alun-alun Bolivar dalam demonstrasi menentang pelecehan anak di Bogota, Senin (30/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2020, aktivitas anak dominan dilakukan di rumah demi mencegah penyebaran Covid-19. Kondisi ini tidak lantas membuat anak aman dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
”Situasi rentan seperti itu tampaknya kurang tertangani optimal karena fokus semua orang, bahkan kebijakan pemerintah, adalah penanganan kesehatan fisik dari paparan Covid-19. Jika pandemi tak kunjung usai, aktivitas anak akan tetap dominan di rumah dan itu artinya kerentanan mereka berlanjut,” ujar Program Manager ECPAT Indonesia Andy Ardian saat konferensi pers daring ”Catatan Akhir Tahun 2020 ECPAT Indonesia”, Rabu (23/12/2020), di Jakarta.
Mengutip data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), Andy menyebutkan, secara global terjadi peningkatan angka kekerasan dan eksploitasi seksual kepada anak sebesar 98,66 persen dari 15.220 pada Januari-September 2019 menjadi 30.236 kasus pada Januari-September 2020.
Eksploitasi seksual anak telah menggunakan modus ataupun media daring, tetapi pola kasus tidak berubah. Sebagai contoh, pada tahun 2020 terdapat kasus eksploitasi seksual yang dialami lebih dari 300 anak oleh warga negara Perancis. Pelaku menggunakan pola merekrut korban dengan imbalan memperoleh uang, ketenaran sebagai model, dan pekerjaan di kota besar.
Pada awal pandemi Covid-19, kata Andy, ECPAT Indonesia menyurvei 1.203 responden anak mengenai kerentanan terhadap eksploitasi seksual. Hasilnya, 25 persen atau 287 anak di antaranya mengalami pengalaman buruk saat berinternet. Misalnya, mendapat pesan teks tidak sopan dan tidak senonoh serta kiriman gambar atau video pornografi.
Pada November 2020, ECPAT Indonesia menerima pengaduan seorang ibu karena foto dan video vulgar anaknya berusia 15 tahun disebarluaskan oleh mantan pacarnya. Setelah ditelusuri, korban dan pelaku ketika masih berpacaran sering melakukan sexting atau bertukar foto dan video tak senonoh.
KOMPAS/MEDIANA
Program Manager ECPAT Indonesia Andy Ardian.
”Aktivitas di ruang virtual meningkat drastis selama pandemi Covid-19 karena anak harus di rumah dan salah satunya mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) metode daring. Meski pemerintah sudah menaruh perhatian terhadap kekerasan, literasi pencegahan sampai penanganan kasus masih minim,” ujar Andy.
Aktivitas di ruang virtual meningkat drastis selama pandemi Covid-19 karena anak harus di rumah dan salah satunya mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) metode daring. Meski pemerintah sudah menaruh perhatian terhadap kekerasan, literasi pencegahan sampai penanganan kasus masih minim.(Andy Ardian)
Menurut dia, antisipasi pandemi Covid-19 berkepanjangan semestinya diikuti dengan penguatan literasi kekerasan dan teknologi digital. Guru kadang meminta siswa selalu mengunggah profil dan tugas di media sosial, tetapi pada saat bersamaan guru bersangkutan tidak paham perlindungan data pribadi.
Andy menambahkan, sosialisasi pencegahan kekerasan dan eksploitasi seksual perlu terus dilakukan, tetapi harus imbang dengan penanganan kasus. Lintas lembaga/kementerian perlu membuat standar operasional prosedur penanganan kasus sampai rehabilitasi/pemulihan bagi korban.
Mural kampanye perlindungan anak tergambar di tembok rumah warga di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, Senin (20/7/2020).
Buka pengaduan
Secara terpisah, Wakil Kepala SMA Negeri Balung, Jember, Bidang Kesiswaan Sri Sulistiyani mengatakan, sejak awal pandemi Covid-19 hingga sekarang, dia membuka layanan pengaduan kasus kekerasan, baik untuk muridnya maupun siswa dari luar sekolahnya. Pengaduan didominasi kasus kekerasan seksual. Korban kasus adalah anak usia SMP, SMA, dan kuliah. Tidak jarang dia menerima laporan yang korbannya adalah perempuan usia dewasa.
”Ada anak mengalami kekerasan seksual dari ayah kandungnya atau ayah tirinya atau tetangganya yang sudah tua. Selain itu, kami menerima banyak aduan kekerasan jender berbasis daring,” ujarnya.
Sri kebetulan sudah lama bergelut di isu kesetaraan jender. Dia bersama teman-temannya juga telah mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan. LBH ini ikut menangani pengaduan kasus kekerasan yang dia terima.
LBH Jentera Perempuan memberikan layanan pendampingan secara gratis. Dana operasional diperoleh dari mengumpulkan donasi baju bekas dari masyarakat, lalu dijual kembali dengan harga murah. Semua pengacara, paralegal, dan konselor bekerja sebagai sukarelawan.
Menurut dia, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bisa bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan (FPL) untuk upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan kepada anak, termasuk berwujud kekerasan seksual dan jender berbasis daring. Pelibatan sektor pendidikan, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), juga penting. Sosialisasi pencegahan melalui wujud webinar ataupun distribusi modul ke satuan pendidikan tidak cukup.
Senada dengan Andy, Sri memandang pendidikan untuk pencegahan dan penanganan kasus harus berjalan terpadu. Selama ini ada kecenderungan kegiatan pendidikan kencang dilakukan, tetapi penanganan minim bahkan nyaris tak ada.
”Pemerintah bisa mendanai penanganan kasus kekerasan FPL. FPL bisa mempunyai dampingan sekolah-sekolah di sekitar kantor masing-masing. Sebelumnya, sekolah dan FPL harus terlebih dulu membuat nota kesepahaman,” kata Sri.
Pemerintah daerah
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Salah satu amanat penting Permendikbud ini adalah sekolah membentuk tim pencegahan. Hanya saja, dia mengakui amanat itu belum optimal dijalankan sekolah.
Mengenai kekerasan seksual ataupun jender menimpa anak, Chatarina menyadari tren kasusnya meningkat. Berdasarkan pengalamannya bekerja di Kejaksaan Negeri Bekasi sekitar tahun 2000, dia menerima laporan kekerasan dan 80 persen di antaranya adalah kekerasan seksual kepada anak.
”Situasi itu mengkhawatirkan sebab Bekasi yang dekat dengan Jakarta terdapat banyak kasus kekerasan seksual kepada anak. Saya perkirakan di luar Bekasi, kasus yang sama juga semakin marak, baik di ranah daring maupun luring. Kementerian Komunikasi dan Informatika berupaya menangkal dari sisi penyebaran di ruang virtual, tetapi itu pun tak bisa sekali selesai," kata Chatarina saat menghadiri diskusi publik ”Hak Atas Rasa Aman di Dunia Pendidikan: Menghapus Kekerasan di Sekolah dan Perguruan Tinggi”, akhir pekan lalu. Diskusi publik ini untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia.
Oleh karena itu, dia menyampaikan agar pemerintah daerah ikut aktif menangani kasus. Apalagi sekolah, baik negeri maupun swasta, di bawah pemerintah daerah langsung.
Selain itu, Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Permendikbud ini bermaksud melindungi guru ataupun tenaga kependidikan yang mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan jender.