Laporan Kasus Meningkat, Penanganan Belum Sesuai Harapan
Kekerasan terus membayangi perempuan dan anak di berbagai tempat di Indonesia. Namun, penanganan kasus dan proses hukum yang berpihak kepada korban hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Kesadaran masyarakat dalam mengadukan dan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus tumbuh. Dari sekian banyak kasus yang dilaporkan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau LBH APIK mencatat, kekerasan dalam rumah tangga masih mendominasi.
Pada 2022, LBH APIK Jakarta menerima laporan 1.512 kasus. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 1.321 kasus dan tahun 2020 yang sebanyak 1.178 kasus. Kasus terbanyak yang dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan berbasis gender online/daring (KBGO).
Berdasarkan Laporan Tahunan 2022 LBH APIK Jakarta berjudul ”Angka Kekerasan Semakin Meningkat: Potret Buram Keadilan bagi Perempuan dan Anak” yang disampaikan kepada publik, Sabtu (10/12/2022), KDRT menempati posisi paling banyak dilaporkan, yakni 473 kasus.
Selain itu, dari laporan yang dipaparkan Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta Uli Pangaribuan dan Koordinator Divsi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta Dian Novita, terdapat 440 laporan kasus KBGO, 146 kasus kekerasan seksual, dan 126 kasus kekerasan dalam pacaran.
”Dalam pendampingan kasus, kami menghadapi kendala struktur, seperti aparat penegak hukum masih tidak peduli dengan kasus yang dialami korban sehingga banyak kasus yang tidak berjalan. Sidang kasus asusila masih terbuka untuk umum,” tutur Uli.
Hingga kini, sejumlah aparat penegak hukum (APH) juga masih cenderung menyalahkan korban dan tidak ramah ketika korban membuat laporan. Hal ini menyebabkan korban takut dan hilang kepercayaan diri terhadap kasus yang dilaporkannya.
”Dalam proses pendampingan, ada aparat hukum yang masih mengintimidasi korban sehingga korban takut melanjutkan kasusnya dan membuat korban tidak percaya diri dengan kasus yang dilaporkan,” tutur Uli.
Ketika proses hukum berjalan, masih ada aparat penegak hukum yang menanyakan riwayat seksual korban yang tidak ada kaitannya dengan kasus yang dialami korban. ”Aparat hukum masih meminta dua alat bukti yang berkaitan dengan kasus yang dilaporkan,” ujar Uli.
Selain itu, LBH APIK Jakarta juga mencatat proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung didorong melalui mediasi atau keadilan restoratif. Masih ada penyidik yang menginisiasi mediasi antara korban dan pelaku. Apabila korban tidak bersedia, kasusnya sebagai terlapor akan dilanjutkan.
Tantangan
Pendampingan kasus juga menghadapi tantangan terutama dalam kasus kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang ada belum diiplementasikan karena hingga kini belum ada aturan pelaksananya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU Pornografi masih menjadi acuan dalam menangani kasus kekerasan seksual yang rentan mengkriminalkan korban.
Selain itu, substansi UU TPKS belum dipahami penegak hukum sehingga masih ditemui aparat hukum yang meminta saksi yang melihat kejadian karena masih mengacu pada KUHAP.
Uli mencontohkan, kasus yang dialami Mentari (27), korban KDRT fisik yang dilakukan oleh suaminya, B (28), saat mengetahui suaminya berselingkuh. Mentari mengalami luka yang serius di bagian wajah dan hidungnya patah karena suaminya memasukkan jari ke lubang hidungnya.
Dalam proses pendampingan, ada aparat hukum yang masih mengintimidasi korban sehingga korban takut melanjutkan kasusnya dan juga membuat korban tidak percaya diri dengan kasus yang dilaporkan.
Mentari kemudian melaporkan kasusnya ke Kepolisian Resor Jakarta Timur dan kasusnya berlanjut hingga ke pengadilan. Pelaku dituntut hukuman penjara 6 bulan dan divonis penjara 4 bulan. Jaksa sempat mengajukan banding, tetapi kemudian mencabutnya.
Tantangan dalam pendampingan kasus kekerasan seksual juga dihadapi LBH APIK Jakarta. Kasus Merkurius (14), anak korban pemerkosaan ayah tirinya selama 1 tahun, misalnya, telah dilaporkan ke Polres Jakarta Timur sejak Agustus 2022. Keluarga dan warga menyerahkan pelaku ke pihak kepolisian, tetapi hanya sehari ditahan pelaku dibebaskan dengan alasan belum terpenuhinya bukti-bukti.
”Polisi telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan pemeriksaan visum et psikiatrikum maupun visum et repertum. Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan dan terlapor belum ditetapkan sebagai tersangka,” papar Uli.
Oleh karena itulah, melalui laporan tahunan 2022, LBH APIK Jakarta menyampaikan sejumlah rekomendasi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) didesak segera menyelesaikan semua aturan turunan/pelaksana UU TPKS.
”Pemerintah perlu memastikan adanya UU yang mengatur khusus KBGO, mulai dari tingkat pelaporan hingga tingkat di pengadilan yang berperspektif korban, pengadilan yang tertutup, adanya lembaga khusus yang dapat membantu untuk menghapus konten-konten yang mengarah pada KBGO,” kata Dian.
Dalam kasus KDRT, pemerintah diminta membuat peraturan pelaksana UU PKDRT yang mengatur perintah menjaga jarak antara korban dan pelaku. Lembaga penegak hukum, Mahkamah Agung, Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan Agung juga didesak menyosialisasikan secara masif berbagai peraturan yang dikeluarkan terkait penanganan kasus perempuan dan anak.
Anggota DPR, Taufik Basari, mengapresiasi LBH APIK Jakarta atas kerja-kerja pendampingan korban kekerasan seksual selama ini, termasuk mendorong dan mengawal proses UU TPKS. Karena itu, dia berharap pemerintah melibatkan masyarakat sipil dalam menyusun aturan pelaksana UU TPKS. ”Pekerjaan rumah kita bersama mengawal peraturan pelaksana UU TPKS,” katanya.
Terkait pengesahan UU KUHP yang baru disahkan DPR, Taufik menegaskan, sebenarnya UU KUHP yang ada saat ini telah mengalami banyak perubahan, terutama terkait isu krusial dan fundamental.
Dewi Kanti, komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Perempuan (Komnas Perempuan), sependapat dengan LBH APIK Jakarta bahwa masih ada tantangan dalam implementasi UU TPKS karena belum adanya peraturan pelaksana.
”Meningkatnya kasus-kasus merupakan gambaran menguatnya kepercayaan diri korban untuk bersuara. Jadi, bolehlah dalam satu sisi, kita membangun optimisme,” kata Dewi yang berharap kolaborasi aparat penegak hukum dan lembaga layanan untuk memberikan keadilan bagi korban kekerasan.
Margareth Robin Korwa, Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian PPPA, mengatakan, terkait peraturan pelaksana UU TPKS, pada tahap akhir disederhanakan menjadi tiga peraturan pemerintah dan empat peraturan presiden. Tahun ini sebenarnya aturan pelaksana tersebut sudah diusulkan kepada Kementerian Hukum dan HAM ke DPR, tetapi ternyata pembahasannya baru akan masuk pada Program Penyusunan Perpres dan PP di DPR tahun 2023.
Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazuma menegaskan, laporan tahunan LBH APIK Jakarta merupakan hasil refleksi dari penanganan kasus-kasus. Laporan tersebut menggambarkan situasi dan kondisi pada 2022 yang belum berpihak terhadap perempuan korban kekerasan.
Banyak kasus kekerasan kepada perempuan menunjukkan masih belum adanya kebijakan yang komprehensif dalam penghapusan kekerasan atas perempuan dan anak.