Kolaborasi, Jalan Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan
Perempuan dan anak di kawasan timur Indonesia hingga kini masih banyak yang mengalami kekerasan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengakhiri kekerasan tersebut, termasuk menyuarakan dalam Konferensi Perempuan Timur 2020.
Budaya patriarki yang begitu kuat melekat dalam kehidupan masyarakat membuat kekerasan terhadap perempuan dan anak di kawasan timur Indonesia terus terjadi di dalam rumah tangga. Sejumlah organisasi masyarakat bangkit dan berkolaborasi dengan lembaga pemerintah, legislatif, dan lembaga agama untuk mengakhiri kekerasan tersebut.
Mereka menjalankan berbagai langkah, termasuk kebijakan yang berpihak kepada perempuan dan anak. Kolaborasi tersebut muncul seiring tumbuhnya kesadaran kritis dan komitmen untuk melindungi perempuan dan anak.
Kolaborasi dan sinergi multipihak menghadirkan berbagai perubahan yang terjadi di desa-desa. Bukan hanya angka kekerasan terhadap perempuan menurun, pemahaman terhadap pentingnya kesehatan reproduksi dan kesetaraan jender juga meningkat.
Praktik baik dalam mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak di kawasan timur Indonesia tersebut menyusul Program MAMPU (Kemitraan Pemerintah Indonesia-Australia untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan) di wilayah tersebut dalam delapan tahun terakhir.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Bagian Timur Terus Terjadi
Program pembangunan berkeadilan jender tersebut dilakukan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Forum Pengada Layanan (FPL), dan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) bekerja sama dengan pemerintah dan parlemen di tingkat lokal dan nasional. Gerak bersama multipihak tidak hanya melahirkan berbagai kebijakan, program, dan sistem melindungi perempuan dari kekerasan, tetapi juga melahirkan pelopor-pelopor yang bergerak dalam perlindungan perempuan dan anak.
Sejumlah pemerintah daerah ikut dalam gerakan bersama tersebut. Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, misalnya, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), berhasil melahirkan beberapa kebijakan di dalam upaya pelaksanaan dan percepatan penganggaran yang responsif jender.
Hal itu di antaranya inovasi Klinik Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) untuk mendorong alokasi anggaran responsif jender dan inklusi, yang dirintis sejak 2017, semenjak DPPPA Maros terbentuk. Idrus, yang merupakan Kepala Dinas PPPA pertama di kabupaten tersebut, sangat berperan aktif dalam mendorong pengarusutamaan jender (PUG) diimplementasikan di daerahnya.
Klinik PPRG menjadi sebuah lembaga strategis yang bisa berbagi informasi dan bisa menjadi tempat konsultasi para pejabat di lingkungan Pemkab Maros dalam melakukan penyusunan penganggaran responsif jender sehingga menghasilkan kebijakan dan penganggaran yang responsif jender. ”Kami membuat surat edaran terkait dengan pembentukan klinik PPRG, kemudian kami menyusun peraturan daerah PUG dan peraturan bupati tentang pedoman pelaksanaan PUG,” ujar Idrus saat berbicara pada Konferensi Perempuan Timur (KPT) 2020, Rabu (26/8/2020).
Kehadiran Klinik PPRG memberikan dampak besar bagi daerah. Para pejabat daerah dibekali dengan berbagai pelatihan agar mampu merencanakan dan menyusun anggaran dengan analisis jender sehingga program-program dan anggaran di lembaganya responsif jender. ”Harapannya, mereka bisa melahirkan sebuah anggaran yang bisa berdampak dan bisa dinikmati seluruh kelompok masyarakat di Kabupaten Maros,” kata Idrus.
Sejumlah regulasi juga berhasil didorong lahir di Maros, mulai dari perda hingga peraturan dan surat keputusan bupati, yang berperspektif jender, termasuk membentuk forum data jender dan anak serta menyusun rencana aksi daerah tentang PUG dan sistem informasi data jender dan anak (SIGA). Tahun 2020, Pemkab Maros juga menyusun peta jalan PUG.
Perubahan dari desa
Praktik baik dari kolaborasi pemerintah desa dan organisasi masyarakat sipil yang melahirkan kebijakan desa yang membuka ruang untuk pemenuhan hak perempuan, anak, dan kelompok rentan juga terjadi di Desa Kembang Kerang, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Hal itu bermula dari pembentukan kelompok konstituen (KK) yang diinisiasi Program MAMPU pada 2015, yang melibatkan Yahya Putra, salah satu kepala dusun di desa tersebut. Yahya kemudian dipercayakan menjadi Koordinator Wilayah dan Advokasi KK Mele Maju.
”Di kelompok konstituen saya mendapatkan ilmu, bagaimana cara berbicara, kepemimpinan, memotivasi masyarakat dan transfer ilmu kepada masyarakat,” ujar Yahya.
Baca juga: Masyarakat Adat Mendesak Pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan
Sosialisasi dan pemahaman kepada kepala keluarga mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk hak anak dan perempuan, gencar dilakukan KK Mele Maju. Selain pelatihan peningkatan kapasitas perempuan dan mediasi bagi keluarga yang bercerai untuk pemenuhan hak-hak anak, KK Mele Maju juga hadir mengurus anak telantar, mengadvokasi masyarakat, dan membantu warga yang tidak memiliki BPJS serta membantu anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran.
”Saya diminta maju menjadi kades (kepala desa), segala kebutuhan materi kampanye semuanya dari perempuan di desa,” ujar Yahya yang pada 2018 terpilih sebagai Kades Kembang Kerang.
Begitu menjabat kades, Yahya, didukung Program MAMPU-BAKTI, langsung menyusun Peraturan Desa tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Tidak hanya itu, dia juga mengeluarkan kebijakan strategis yang berpihak kepada perempuan dan anak, seperti Rumah Balai Bala (rumah mediasi terhadap isu-isu yang ditangani kelompok konstituen); pengadaan ambulans desa untuk membantu kesehatan masyarakat; pemberian bantuan kepada kelompok rentan, seperti kursi roda untuk kaum difabel; peluncuran posyandu keluarga untuk menangani tengkes, serta membuka pelatihan menjahit.
Pemberdayaan ekonomi perempuan juga mendapatkan perhatiannya dengan mendirikan badan usaha milik desa (BUMDes) Mars untuk menampung hasil usaha mikro, kecil, dan menengah masyarakat setempat, dan saat ini sedang membuka jaringan penjualan secara daring serta bekerja sama dengan berbagai market place, seperti Tokopedia. ”Saat ini salah satu perempuan anggota Kelompok Konstituen Mele Maju duduk sebagai anggota badan permusyawaratan desa,” kata Yahya.
Tak hanya pemerintah, sinergi dan kolaborasi melindungi perempuan dan anak juga dibangun melalui anggota legislatif di daerah. Di Maros, sejumlah anggota legislatif perempuan mendapatkan penguatan kapasitas dari Program MAMPU sehingga memiliki kepekaan dan kemampuan menyerap aspirasi perempuan dan anak serta memperjuangkan anggaran yang berpihak pada kepentingan perempuan dan anak.
Haeriah, Ketua Komisi III DPRD Maros, mengakui selama ini menyerap aspirasi konstituen dengan melakukan reses partisipatif. Selain melibatkan perempuan dan anak, reses dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok dan diskusi kelompok terarah sehingga mendapat data serta informasi yang beragam dan sahih. Data dan informasi itulah yang digunakan untuk penyusunan pokok pikiran, rapat dengan perangkat daerah terkait, dan usulan pembentukan perda.
Dari reses partisipatif itu, Haeriah dan perempuan legislatif mendorong Perda Pendidikan, Perda Pendidikan Anak Usia Dini, Perda Sistem Kabupaten Layak Anak, Perda Sistem Perlindungan Anak, dan Perda Sistem Perlindungan Perempuan. Selain itu, DPRD juga berhasil menjadikan PPPA di pemkab sebagai DPPPA dan alokasi anggarannya pun meningkat.
Pemerintah daerah
Sinergi dengan pemerintah daerah dalam mewujudkan layanan perempuan korban yang komprehensif juga dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, melalui Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) untuk Perlindungan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan.
Didampingi FPL, sejak 2016 layanan tersebut hadir memudahkan warga miskin dan perempuan serta anak korban kekerasan menjangkau layanan perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan, baik yang dikelola pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, maupun swasta.
Pada 2019, SLRT Cendana di Kabupaten TTS yang juga didukung Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) di Desa Kuatae dan Desa Noemeto mendapat legitimasi pemda, bahkan diatur dalam Peraturan Bupati TTS. Ketika ada kasus kekerasan, perempuan dan anak korban langsung dirujuk SLRT ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) atau Sanggar Suara Perempuan (SSP).
Fasilitator SLRT juga memastikan perlindungan sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan dengan pelayanan bantuan kebutuhan dasar, bantuan jaminan kesehatan, dan jaminan pendidikan khusus bagi anak. (Sugeng W Hartono)
”Fasilitator SLRT juga memastikan perlindungan sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan dengan pelayanan bantuan kebutuhan dasar, bantuan jaminan kesehatan, dan jaminan pendidikan khusus bagi anak,” ujar Sugeng W Hartono, Supervisor SLRT Cendana.
Di Maluku Tengah, Maluku, inisiatif gereja dalam mengupayakan layanan perempuan korban di wilayah pedalaman juga dilakukan Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau Lease, Saparua.
”Sebagai institusi sosial, gereja sering menjadi pintu pertama korban menyampaikan persoalan kekerasan yang terjadi di masyarakat dan mencari perlindungan. Misi gereja adalah menghadirkan keadilan, kebenaran, cinta kasih, dan damai sejahtera,” ujar Pendeta IZ Sapulette, Ketua Klasis GPM Pulau Lease.
Praktik baik di Maros, TTS, maupun Maluku Tengah, merupakan buah dari kerja-kerja panjang kolaborasi dan sinergi multipihak di kawasan timur Indonesia. Pada forum KPT 2020 yang berlangsung 26-27 Agustus 2020, juga hadir sejumlah pelopor perlindungan perempuan dan anak di kawasan timur Indonesia. Kaum perempuan dan anak dari Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara tersebut menampilkan berbagai pengalaman serta upaya mengatasi kekerasan yang dialaminya.
Forum itu juga menjadi pembuktian, kolaborasi menjadi jalan menuju perubahan untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari berbagai kekerasan.