Anak yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung tidak berani melaporkan pelecehan yang dialaminya. Untuk itu, orangtua perlu mengenali tanda-tanda anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual terhadap anak-anak di sejumlah daerah di Indonesia terus terjadi. Namun, para korban kebanyakan tidak berani melapor dan terpaksa tetap diam dengan berbagai pertimbangan. Karena itu, orangtua perlu mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual agar dapat segera memberikan pertolongan, perawatan, dan pendampingan kepada korban.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2021 mencatat, terjadi 11.952 kasus kekerasan pada anak. Sebanyak 7.004 kasus atau sekitar 58,6 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
Menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) dr Baety Adhayati, data tersebut belum tentu menangkap keseluruhan kasus kekerasan seksual pada anak. Sebab, belum semua daerah di Indonesia memiliki infrastruktur sistem pelaporan kekerasan pada anak, khususnya kekerasan seksual, yang memadai.
”Kasus kekerasan pada anak, khususnya kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es. Hanya sedikit kasus yang muncul pada permukaan (terlaporkan). Padahal, lebih banyak kasus lagi yang tenggelam (tidak dilaporkan),” ujarnya dalam konferensi pers daring bertajuk ”Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan. Bagaimana mengenali dan menanganinya?” di Jakarta, pada Jumat (28/10/2022).
Anak sebagai korban cenderung tidak berani melaporkan pelaku kekerasan seksual. Baety menjelaskan, terdapat faktor internal dan eksternal yang menghambat anak untuk melapor. Faktor internal, antara lain, rasa malu, takut, menyalahkan diri sendiri, dan tidak tahu apa yang dialaminya adalah kejahatan yang dapat dilaporkan.
Sementara faktor eksternal meliputi, antara lain, relasi kuasa yang timpang sehingga pelaku membungkam korban dengan cara mengancam dan menakut-nakuti korban. Hal ini diperparah oleh adanya stigma di masyarakat yang buruk terhadap korban kekerasan seksual sehingga korban tidak berani mengakui kekerasan yang dialaminya.
Kasus kekerasan pada anak, khususnya kekerasan seksual, adalah fenomena gunung es. Hanya sedikit kasus yang muncul pada permukaan (terlaporkan). Padahal, lebih banyak kasus lagi yang tenggelam (tidak dilaporkan).
Menurut Baety, kebanyakan pelaku adalah orang terdekat ataupun keluarga korban. Hal ini menjadi penghambat bagi korban untuk melapor karena mempertimbangkan adanya hubungan keluarga dengan pelaku. Pun, jika korban memberitahu kekerasan seksual yang dialaminya kepada orangtua, penegakan hukum cenderung tak dilakukan lantaran pelaku merupakan keluarga.
Pada kasus yang lain, anak berusia belasan tahun yang jadi korban malah dinikahkan dengan pelaku agar keluarga menghindari rasa malu dari stigma negatif masyarakat. ”Bayangkan, jika korban dinikahkan dengan pelaku, dia seakan diperangkap dengan pelaku. Dia akan selamanya menjadi korban kekerasan seksual. Ini akan berujung pada kekerasan bentuk lain, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” ujarnya.
Baety menuturkan, tanda kekerasan seksual dapat dilihat secara fisik. Jika ada indikasi anak mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, orangtua perlu memeriksa tubuh anak, terutama bagian kelamin. Periksa apakah ada luka baru, seperti memar, lecet, robekan kulit, dan robekan selaput dara pada anak. Selain itu, ada luka baru yang perlu diperhatikan orangtua, seperti bekas luka dan robekan kulit lama. Jika ditemukan luka-luka itu, segera bawa anak ke fasilitas layanan kesehatan.
Selain itu, orangtua juga perlu cekatan mencari bukti kekerasan seksual agar mudah menindak tegas pelaku secara hukum. Hal ini penting karena pembuktian terkendala, seperti luka, sulit ditemukan karena kejadiannya sudah lama, korban tidak segera diperiksa sehingga bukti fisik seperti luka dan ejakulat pelaku menghilang. Apalagi, karena masih berusia anak, keterangan korban susah dipercaya. Untuk itu, orangtua perlu segera mengumpulkan bukti dan melaporkan pelaku pada pihak berwajib.
Perubahan perilaku
Konselor Akara Perempyan, Siti Hajar Rahmawati, mengungkapkan, ada perubahan perilaku setelah anak mengalami kekerasan seksual. Hal ini disebabkan mental breakdown atau gangguan mental akibat kekerasan seksual yang dialami. Gangguan mental ini akan menghambat anak untuk beraktivitas sehari-hari, seperti bersekolah, bermain bersama teman, dan anak menjadi pemurung atau depresif.
Masalahnya, setelah mengalami kekerasan seksual, anak belum tahu cara mencari bantuan sehingga dia kebingungan. Ini menyebabkan anak menyalahkan diri sendiri dan tidak mau memberitahu apa yang dialaminya, bahkan sampai di usia dewasa. ”Banyak korban bingung mencari bantuan meskipun berada di lingkungan keluarga terdekat. Padahal, keluarga harusnya menjadi support system korban,” ujarnya.
Padahal, kekerasan seksual memiliki dampak besar bagi kehidupan anak. Tidak hanya secara fisik, mental anak juga akan terganggu dan memengaruhi kehidupannya. Jika kasus diketahui, anak mengalami masalah sosial karena mengalami stigma negatif dari masyarakat. Karena itu, perlu pendampingan intensif kepada korban, seperti pendampingan psikologis, hukum, dan medis. ”Orangtua dan keluarga juga merupakan kunci utama untuk melakukan pendampingan,” ungkapnya.