Modus Kejahatan Perdagangan Orang Berkembang, Pelaku Kini Menyasar Korban Lewat Daring
Kejahatan di dunia daring terus meningkat, dengan berbagai ragam modus. Media sosial menjadi pintu masuk sejumlah pelaku kejahatan termasuk pelaku perdagangan orang, untuk mengincar para korban, terutama anak-anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Modus perdagangan orang terus berkembang, seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi. Saat ini pelaku kejahatan semakin mudah menyasar korban melalui media daring. Kebanyakan korban adalah perempuan dan anak-anak baik anak perempuan maupun laki-laki. Mereka menjadi sasaran pelaku, saat mengakses media daring terutama melalui media sosial.
Kejahatan perdagangan orang dilakukan dalam berbagai bentuk, yakni penjualan anak, pornografi, penyelundupan manusia, migrasi dengan tekanan, prostitusi anak, pekerja anak, anak-anak yang dilacurkan, pedofilia, perdagangan anak melalui adopsi, dan implantasi organ tubuh. Pada masa pandemi Covid-19, pelaku perdagangan orang semakin mudah beraksi, karena semakin banyak perempuan maupun anak-anak yang mengakses internet.
Hal ini terungkap dalam Seri Diskusi Daring Meyambut Peringatan Hari Dunia Anti Perdagangan Orang “Perdagangan Orang Untuk Tujuan Eksploitasi Seksual Melalui Media Daring: Apa yang Perlu Diketahui, Rabu, (29/7/2020) yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
“Pertumbuhan arus informasi menggunakan media daring ini juga memiliki ancaman tersendiri, khususnya pada eksploitas seksual dan perdagangan orang, baik pada perempuan, laki-laki dan anak-anak,” ujar Sekretaris Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, saat membuka diskusi tersebut.
Data SIMFONI PPA menyebutkan selama Januari hingga Juni 2020, terdapat 50 kasus eksploitasi seksual pada perempuan dewasa dan 60 anak korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual.
Diksusi menghadirkan pembicara Marco A Champion (Country Attaché for Homeland and Security Investigations pada Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia), Ai Maryati Solihah (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Valentina Sagala (Institut Pendiri Perempuan/pendamping korban kasus eksploitasi seksual), Jhehan Septiano Borti Leksono (analis media sosial di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri), dan Destri Handayani (Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dan Tindak Perdagangan Orang KemenPPPA).
“Setiap tahun ratusan kasus yang kami tangani. Dari tren kasus yang kami tangani, setiap tahun ada perubahan pola. Jadi ada perkembangan pola dari konvensional menuju ke daring, banyak tersangka atau pelaku memanfaatkan media daring dan sarana sosial lain yang secara daring dapat diakses oleh siapa saja,” kata Jhehan.
Menurut Jhehan, kekerasan fisik, dan psikis, dan seksual, terhadap perempuan sudah sering didengarkan masyarakat. Namun saat ini semua kekerasan tersebut bisa dilakukan secara daring. Apalagi, dari beberapa survei pengguna media sosial di Indonesia angkanya mencapai dua kali lipat atau 200 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Hal itu menjadi celah atau peluang bagi pelaku kejahatan untuk berdekatan dengan anak-anak, apabila kontrol dan pengawasan dari orangtua saat anak menggunakan gawai sangat kurang. “Banyak kasus, pelaku menggunakan teknik profiling dari sosial media anak yang akan ditarget atau yang akan disasar sebagai korban perundungan atau grooming (pelaku memaksa anak melakukan kegiatan seksual dari jarak jauh). Korban sangat mudah didekati apabila kita tidak memberikan literasi bersosial media yang aman dengan anak,” katanya.
Adapun Marco mengungkapkan Homeland and Security Investigations (HSI) Jakarta berkomitmen penuh untuk membantu pemerintah Indonesia dalam memerangi eksploitasi anak, dengan bermitra bersama Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kepolisian Negara RI. Bahkan beberapa kasus ditangani dan diselidiki bersama oleh HSI Jakarta dan penyidik Unit Siber Polda Metro Jaya, termasum membantu Polri dalam mendapatkan akses CyberTip Downloader NCMEC (sistem pelaporan terpusat negara untuk eksploitasi daring anak-anak).
HSI Jakarta juga memberikan pelatihan yang bermanfaat bagi Imigrasi, Polri, Kejaksaan, Kehakiman dan lembaga perlindungan anak, serta bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam membentuk Satuan Tugas/Satgas Internet Crimes Against Children (ICAC).
”Di Indonesia kami juga melakukan banyak hal dalam pengembangan kapasitas, melalui pelatihan. Selama beberapa tahun terakhir kami hadir di Batam, Medan, tentu saja di Bali, Lombok, Kalimantan, dan daerah lain di seluruh Indonesia, sebagai bagian dari upaya kami dalam memerangi eksploitasi anak. Kami juga bermitra dengan organisasi non-pemerintah,” kata Marco.
Anak muda akses gawai
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solimah memaparkan hasil survei KPAI dengan 25.164 responden anak dan 14.169 responden orangtua yang tersebar di 34 provinsi, menunjukkan betapa mudahnya anak-anak mengakses internet di masa pandemi Covid-19.
Hasil survei memperlihatkan kebanyakan anak diizinkan menggunakan gawai selain untuk belajar (79 persen) dan anak memiliki gawai sendiri (71,3 persen) dan mayoritas anak tidak memiliki aturan (79 persen) penggunaan gadget dengan orang tua.
“Bahkan orang tua mengizinkan anak menggunakan gawai selama selain untuk belajar (76,8 persen) dengan alasan sarana mencari pengetahuan, sarana informasi, membuat video tulisan, dan aktivitas produktif lainnya,” kata Ai.
Aktivis lintas agama
Pada hari yang sama, menyambut Peringatan Hari Melawan Perdagangan Manusia Internasional 2020 (World Day Against Trafficking in Person) yang diperingati pada tanggal 30 Juli 2020, organisasi Migrant CARE, Vivat Indonesia, Fahmina Institute, dan Institut DIAN/Interfidei yang tergabung dalam jaringan Zero Human Trafficking Network (ZTN) bersama para aktivis lintas agama menyerukan kepada semua pihak untuk memerangi perdagangan manusia di masa pandemi.
Elga Sarapung, Direktur Institut DIAN/Interfidei sekaligus Sekretaris ZTN menegaskan peran agamawan diyakini menjadi kunci utama pemberantasan perdagangan manusia khususnya di wilayah-wilayah basis Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan perbatasan Indonesia-Malaysia.
“Kami ingin memerangi perdagangan manusia, menjadi gerakan bersama, terutama bagi jemaat agama-agama dan pimpinan agama,” kata Elga bersama sejumlah aktivis agama, dalam keterangan pers daring, Rabu (29/7/2020).
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE mengingatkan pentingnya perlindungan bagi para aktivis, seperti tema global Hari Melawan Perdagangan Manusia Internasional tahun ini orang – Commited to The Cause: Working on The frontline to End Human Trafficking.
“Di masa pandemik ini, selain hambatan mobilitas dalam layanan untuk para korban perdagangan manusia, kebijakan sekuritisasi yang berpotensi pada kriminalisasi pada para aktivis pembela korban perdagangan manusia juga terjadi,” ujar Wahyu.