Kejahatan Seksual Tetap Mengintai, Tingkatkan Pengawasan terhadap Anak
Kejahatan seksual berbasis daring terus mengintai perempuan dan anak perempuan di masa pandemi Covid-19. Berbagai modus digunakan pelaku untuk menjerat korban. Sejumlah anak perempuan menjadi korban prostitusi daring.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak masyarakat ternyata tidak menghentikan langkah pelaku kejahatan, terutama kejahatan seksual terhadap anak-anak. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, kasus-kasus kekerasan seksual pada anak terus terungkap ke publik.
Kejahatan seksual terjadi di kota-kota besar ataupun daerah terpencil. Di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, ada beberapa kasus kejahatan seksual yang terungkap ke publik dan mendapat perhatian khusus dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
Salah satunya adalah kasus kejahatan seksual dan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap seorang siswi berusia 15 tahun yang masih duduk di kelas IX SMP. Korban diduga diperkosa oleh AT (21), anak dari anggota DPRD Bekasi.
Dari informasi yang diperoleh Kementerian PPPA, pelaku awalnya berpacaran dengan korban. Ketika sedang libur sekolah, pelaku mengiming-imingi korban dengan pekerjaan di sebuah toko. Kemudian pelaku meminta korban untuk tinggal di tempat kos dengan alasan agar dekat dengan tempat kerjanya. Namun, ternyata pekerjaan yang dijanjikan tidak ada karena sudah terisi orang lain.
Belakangan, korban diperkosa di tempat kos dan selanjutnya menjadi korban prostitusi daring. Menggunakan aplikasi media sosial MiChat, pelaku menjual korban kepada laki-laki dengan memperlihatkan foto korban. Korban dipaksa pelaku melayani tamu 3-4 orang per hari.
Keluarga mencari korban yang telah beberapa hari tidak pulang dan akhirnya menemukan korban di kos. Pada 12 April lalu, keluarga korban kemudian melaporkan AT ke Polres Metro Bekasi Kota dengan tuduhan pemerkosaan dan perdagangan orang. AT yang sempat buron pada 21 Mei 2021 berhasil ditangkap polisi dan menjalani proses hukum. ”Kami terus memantau dan mengawal kasus ini,” ujar Deputi Perlindungan Anak Khusus Kementerian PPPA, Nahar, Minggu (23/5/2021).
Nahar juga meminta kepolisian mendalami pemeriksaan kasus tersebut. Sementara Kementerian PPPA berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan perlindungan korban serta meminta Dinas PPPA Kota Bekasi mendampingi dan memastikan pemulihan psikologis korban.
Nahar menyampaikan, perbuatan pelaku bisa diancam hukuman berat hingga tindakan kebiri jika memenuhi unsur-unsur yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. ”Kementerian PPPA punya kepentingan untuk memastikan kebijakan penghapusan kekerasan terhadap anak diimplementasikan,” ujar Nahar.
Kasus tersebut merupakan salah satu kasus serupa di Bekasi yang mendapat perhatian Kementerian PPPA. Pekan lalu, Kementerian PPPA juga memantau kasus perampokan dan pemerkosaan terhadap anak berusia 15 tahun yang terjadi di rumah korban di Kota Bekasi pada 15 Mei 2021.
Pelaku masuk ke rumah korban sekitar pukul 04.30 dan mengancam akan membunuh korban yang berada sendirian di salah satu ruangan. Pelaku kemudian memperkosa korban lalu mengambil telepon genggam korban.
Setelah pelaku kabur, korban memberitahukan kejadian tersebut kepada ibunya dan langsung melapor ke Kepolisian Sektor Bekasi Kota. Peristiwa itu telah membuat korban trauma berat, takut bertemu dengan orang baru, terutama laki-laki, mengurung diri di kamar, dan menolak bertemu siapa pun.
Saat ini, tiga pelaku kejahatan tersebut dalam proses hukum. Kementerian PPPA bersama dinas PPPA setempat terus memastikan adanya pendampingan hukum, pemulihan psikologis, dan sosial bagi korban.
Pelaku terus beraksi
Kasus-kasus tersebut menunjukkan betapa pembatasan sosial di masa pandemi yang berlangsung lebih dari setahun tidak menyurutkan niat pelaku untuk melakukan kejahatan.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 21 Mei 2021 memperlihatkan, terdapat 2.795 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi dengan 3.094 korban.
Yang paling banyak menjadi korban adalah anak perempuan (2.189 anak) disusul laki-laki (905 anak). Adapun dari jenis kejahatannya, kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, yakni 1.719 kasus. Ada juga kasus eksploitasi (37 kasus) dan perdagangan orang (74 kasus).
Tak hanya di Kementerian PPPA, kekerasan seksual, TPPO, dan berbagai praktik eksploitas terhadap anak di masa pandemi juga disoroti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menemukan 234 anak menjadi korban eksploitasi, TPPO, dan prostitusi daring sepanjang Januari-April 2021.
Kementerian PPPA punya kepentingan untuk memastikan kebijakan penghapusan kekerasan terhadap anak diimplementasikan.
Modus prostitusi anak pun bermacam-macam, begitu juga TPPO daring. Bahkan, KPAI menemukan profil usia anak korban prostitusi yang masih 12 tahun. Hal ini menjadi peringatan bagi orangtua betapa jaringan prostitusi mulai menyasar anak di usia remaja awal, bahkan sudah menyasar anak di bangku sekolah dasar.
Adapun medium paling banyak yang digunakan untuk menjerat anak menjadi korban eksploitasi seksual adalah aplikasi media sosial, terutama MiChat. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan menaruh perhatian serius terhadap penyalahgunaan aplikasi ini untuk kejahatan.
”KPAI mendorong peran Kementerian Kominfo untuk pro aktif pada penyedia aplikasi agar mempersulit penyalahgunaan dan untuk tidak segan men-takedown serta mencabut izin beroperasinya di Indonesia,” ujar Ai Maryati Sholihah, komisioner KPAI.
Tidak surutnya pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di masa pandemi ini membuat semua orang harus waspada. ”Untuk itu, semua harus tetap waspada,” kata Nahar.
Kasus-kasus yang menimpa anak-anak perempuan remaja di masa pandemi juga seharusnya menjadi alarm bagi keluarga untuk meningkatkan perlindungan pada anak-anaknya. Perhatian yang kita berikan harus ekstra. Jangan biarkan anak-anak luput dari perhatian dan menjadi sasaran kejahatan. Mari lindungi anak-anak kita.