Menyadari Diri sedang Tidak Baik-baik Saja
Identifikasi persoalan emosi diri menjadi langkah awal untuk bisa mengelola emosi menjadi lebih baik. Karena itu, merasa diri sedang tidak baik-baik saja merupakan hal lumrah.
Menjadi dewasa itu tidak mudah. Barangkali kalimat tersebut sering diutarakan oleh sebagian dari kita. Berbagai tekanan yang dialami ditambah dengan kenyataan yang jauh dari ekspektasi membuat kepercayaan diri menjadi luruh.
Terkadang diri juga menganggap lumrah terhadap masalah yang dihadapi. Diri pun berusaha untuk menyelesaikannya sendiri dan menuntut agar kuat untuk mengadapinya. Padahal, hal itu justru dapat menambah tekanan, terutama tekanan emosional.
Psikolog klinis yang juga Co-founder Ohana Space, Veronica Edesla menuturkan, kerentanan emosi terjadi di setiap kelompok usia. Setiap kelompok usia memiliki persoalannya masing-masing. Pada usia dewasa muda, kerentanan emosi paling sering menyangkut dua aspek, yakni keuangan dan relasi, baik hubungan romantis maupun hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan.
“Pertanyaan yang sering muncul dari diri sendiri seperti, apakah secara karier sudah sesuai dengan goal (target) atau apakah pekerjaan yang dijalani sudah tepat? Selain itu ada hal yang memengaruhi emosi seperti kesiapan untuk menikah dan menjalani kehidupan keluarga baru,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Menurut Barbara Hansen Lemme (1995) dalam “Development in Adulthood”, masa dewasa muda dimulai pada usia 18-22 tahun dan berakhir pada usia 35-40 tahun. Pada masa ini seorang individu memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri yang menyangkut tindakan, sikap, dan keinginannya dan tidak lagi bergantung pada orang lain, terutama orangtua.
Berbagai penyesuaian pun terjadi. Individu yang masuk masa dewasa muda sedang berupaya menyesuaikan diri dengan pola kehidupan baru dan harapan sosial yang baru. Pada masa ini pula seorang individu dihadapkan dengan peran baru, seperti sebagai suami atau istri pencari nafkah, orangtua, atau juga sebagai seorang anak yang bertanggung jawab atas orangtuanya.
Baca juga: Gangguan Kesehatan Jiwa Pengaruhi Produktivitas
Veronica menyampaikan, kerentanan emosi yang terjadi pada dewasa muda yang kini masuk pada usia produktif semakin besar dengan perkembangan situasi saat ini. Persaingan global serta kondisi pascapandemi yang tidak menentu turut menambah kerentanan emosi tersebut.
Maka dari itu, kelompok dewasa muda membutuhkan dukungan dan pendampingan yang tepat. Pada sebagian orang dengan resiliensi atau tingkat ketahanan yang tinggi, tekanan emosi yang dihadapi mungkin bisa dikelola dengan baik. Namun, pada sebagian orang, tekanan itu dapat berdampak buruk.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Selain itu, lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.
Kelompok dewasa muda membutuhkan dukungan dan pendampingan yang tepat. Pada sebagian orang dengan resiliensi atau tingkat ketahanan yang tinggi, tekanan emosi yang dihadapi mungkin bisa dikelola dengan baik. Namun, pada sebagian orang, tekanan itu dapat berdampak buruk.
Menurut Veronica, dampak yang paling terlihat ketika seseorang tidak dapat mengelola emosinya dengan baik yaitu kemampuan dan fungsi diri dalam kehidupan menjadi terganggu. Ia cenderung tidak dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
“Jadi peran, baik sebagai anak, pimpinan dalam perusahaan, atau sebagai pasangan jelas menjadi terganggu. Pada saat itu amat penting untuk menyadari bahwa diri kita sedang tidak baik-baik saja,” ucap dia.
Di tengah situasi penuh tekanan, kondisi emosi yang tidak baik-baik saja merupakan hal yang lumrah. Meski begitu, ketika sudah menyadari bahwa diri sedang tidak baik perlu diikuti dengan kesadaran untuk mengelola diri. Jika dibiarkan, dampaknya bisa menjadi lebih buruk menjadi depresi hingga keinginan untuk bunuh diri.
Kelola emosi
Menurut Veronica, hal pertama yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan emosi yakni mampu mengidentifikasi diri. Artinya, seseorang perlu mengetahui bahwa pikiran dan perasaannya sedang tidak baik.
Baca juga: Stres Bekerja Dapat Berujung pada Gangguan Kesehatan Mental
Ketika sudah mengetahui hal tersebut, pikiran perlu diistirahatkan sementara. Secara sederhana, itu bisa dilakukan dengan mencari alternatif pikiran sehat atau pikiran rasional yang dapat menyenangkan diri, seperti membaca buku, berjalan-jalan sendiri, atau mencari ketenangan lain.
Sembari melakukan hal itu, pengelolaan diri bisa dilakukan dengan memperbaiki pola hidup menjadi lebih sehat. Pepatah yang menyatakan di dalam badan sehat terdapat jiwa yang kuat bukan tanpa arti. Kesehatan jiwa seseorang juga dipengaruhi oleh kesehatan fisiknya. Saat tubuh sedang sakit, situasi emosi biasanya sulit dikendalikan.
Karena itu, mengatur pola makan menjadi lebih sehat, memiliki pola tidur yang cukup, serta menghindari alkohol dan obat-obatan terlarang menjadi sangat penting. Selain itu, seseorang perlu merawat dirinya sendiri, termasuk dengan mengikuti kelas atau pendampingan psikologi.
“Datang ke psikolog jangan dianggap tabu. Meski saat ini kesadaran masyarakat sudah lebih baik, masih ada yang menganggap tabu untuk datang ke psikolog atau psikiater. Selain itu, masih ada pula yang berpikir datang ke psikolog atau psikiater hanya sekadar curhat berbayar,” kata Veronica.
Oleh sebab itu, pemahaman masyarakat mengenai kebutuhan pendampingan psikologi dari pihak profesional, seperti psikolog dan psikiater perlu ditingkatkan. Layanan yang sudah disediakan oleh pemerintah pun perlu lebih gencar untuk disosialisasikan.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi menuturkan, persentase masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan mental meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Gangguan kesehatan mental tersebut tidak hanya terjadi pada usia dewasa tetapi juga remaja.
Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 menunjukkan, prevalensi penduduk usia di bawah 15 tahun yang mengalami gangguan mental emosional sebesar 6,1 persen atau sekitar 12 juta orang. Jumlah itu meningkat pada 2018 menjadi 9,8 persen atau sekitar 20 juta penduduk.
“Kondisi ini diperburuk dengan adanya COVID-19. Saat pandemi, masalah gangguan kesehatan jiwa dilaporkan meningkat sebesar 64,3 persen, baik karena menderita penyakit Covid-19 maupun masalah sosial ekonomi dari dampak dari pandemi,” kata dia.
Layanan
Peningkatan gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sayangnya tidak diikuti dengan peningkatan ketersediaan layanan kesehatan jiwa. Saat ini, dari 10.321 unit puskesmas di Indonesia baru sekitar 50 persen yang mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa.
Kondisi itu juga ditemui pada layanan kesehatan jiwa di rumah sakit. Setidaknya masih ada empat provinsi yang belum memiliki rumah sakit jiwa dan baru 40 persen rumah sakit umum yang menyediakan fasilitas kesehatan jiwa.
Persoalan lainnya juga terjadi pada ketersediaan psikiater yang belum mencukupi. Perbandingan jumlah psikiater dengan jumlah penduduk di Indonesia masih amat timpang yaitu satu berbanding 200.000 penduduk. Itu artinya, setiap satu psikiater harus melayani 200.000 penduduk. Jumlah itu jauh dari angka ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 1:30.000.
Baca juga: Kesehatan Jiwa Indonesia Pascapandemi
Endang mengatakan, pemerintah berupaya untuk memperkuat jejaring layanan kesehatan jiwa, mulai dari tingkat masyarakat, puskesmas, sampai rumah sakit rujukan. Upaya tersebut merupakan bagian dari transformasi layanan kesehatan, terutama transformasi pada fasilitas kesehatan primer dan rujukan.
Menurut dia, kerja sama yang kuat dari berbagai pihak sangat diperlukan. Berbagai terobosan perlu dilakukan agar beban kesehatan jiwa di masyarakat bisa dikurangi. “Kalau hanya mengandalkan jumlah psikiater yang ada penanganan kesehatan mental akan membutuhkan waktu lama. Kita perlu mengatasi dengan memperkuat jejaring yang ada,” tuturnya.