Stres Bekerja Dapat Berujung pada Gangguan Kesehatan Mental
Kesehatan mental dapat terganggu akibat stres bekerja. Jika tidak ditanggulangi, dampak stres ini akan semakin buruk.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stres akibat pekerjaan dapat berujung pada gangguan kesehatan mental. Masyarakat diharapkan tidak menyepelekan stres dan segera mengatasinya dengan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dan menerapkan pola hidup sehat untuk mencegahnya.
Ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Kamis (6/10/2022), psikiater Ayesha Devina menjelaskan, stres dianggap sebagai hal awam. Padahal, orang yang mengalami stres kronis dapat berujung pada disfungsi sosial dan penutupan diri, bahkan sakit fisik. Karena itu, stres jangan dianggap sepele.
Ayesha menerangkan, stres dapat dialami semua orang. Ketika stres seseorang berujung pada disfungsi atau perlakuan menutup diri dari kehidupan sosial, maka orang tersebut sudah dikategorikan mengalami gangguan mental neurotik. ”Gangguan mental akibat stres terjadi ketika seseorang mengalami disfungsi akan kehidupannya. Misalnya, ketika mengalami ketakutan berlebih akan situasi sosial yang berakibat tidak bisa sekolah, tidak bisa kerja, dan tidak bisa bersosialisasi dengan baik,” katanya.
Nugraha Ryadi (23), pekerja di Jakarta, mengatakan, dirinya sering merasakan stres akibat tuntutan pekerjaan. Selain memengaruhi kinerjanya, stres membuatnya lelah secara mental. ”Hampir burned out, waktu itu udah sampe di fase ‘bodo amat deh kerjaan gak bagus-bagus amat jadinya yang penting beres tepat waktu’ tapi belom sampai di fase gak mau ngapa-ngapain lagi,” ujarnya, Senin (10/10/2022).
Pria yang baru bekerja awal 2022 ini menyampaikan, stres yang dialaminya memperparah kondisi kesehatan mentalnya. Ia sempat ingin mengakses layanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan. Namun, ia mengurungkan niatnya karena stigma negatif pada orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Sementara, menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2021, sekitar 20 persen penduduk Indonesia memiliki potensi gangguan jiwa. Artinya, sekitar 54 juta masyarakat dapat mengalami gangguan jiwa.
Stres bisa berdampak pada kesehatan fisik, antara lain, menipisnya rambut hingga kebotakan, sesak napas hingga asma, diabetes karena insulin berkurang, disfungsi ereksi pada pria dan nyeri haid pada wanita, insomnia, sakit kepala, jerawat, dan hipertensi.
Lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.
Sementara itu, di tempat terpisah, pendiri Social Connect Andy Sepriandi menyampaikan, pembicaraan soal stres belum secara serius dikaitkan dengan kesehatan mental. Stres menjadi ungkapan biasa yang dipakai secara awam tanpa mempertimbangkan aspek medis. Padahal, secara ilmiah, terdapat banyak gangguan mental akibat stres yang perlu ditanggapi secara medis.
”Misalnya, panic attack yang menyebabkan seseorang sesak napas atau asma. Ini bisa berakibat fatal. Masalahnya, kebanyakan orang menganggap orang yang stres adalah orang yang tidak mampu secara mental sehingga (gejala kesehatan mental) yang dia alami diabaikan,” ujar Andy.
Ilustrasi gangguan mental akibat stres.
Ia menjelaskan, masalah lainnya adalah ketika stres dibuat menjadi hal sepele dan bahan bercandaan. Setiap orang memiliki tingkat ketahanan yang berbeda terhadap stres. Namun, dengan menganggap stres sesuatu yang sepele membuat penanganan stres menjadi tidak serius.
Menurut Andy, hal itu tidak bisa dipisahkan dari stigma negatif yang dilekatkan pada orang yang mengalami stres. Stigma membuat orang yang mengalami stres justru takut mengakuinya. ”Misalnya, apabila seorang karyawan mengakui bahwa dirinya stres, ketakutannya adalah dirinya akan dianggap sebagai orang yang tidak mampu menangani masalah dan tekanan sehingga akan berpengaruh pada penilaian kerja,” jelasnya.