Kesehatan Jiwa Indonesia Pascapandemi
Paradoks dengan kebingungan terkait regulasi kesehatan jiwa, Bappenas justru sedang memetakan kondisi pembangunan kesehatan dan isu potensial terkait pengembangan pelayanan kesehatan jiwa sebagai salah satu prioritas.
Penguncian wilayah (lockdown) merupakan laboratorium psikologis terbesar bagi manusia dan pertama kali diberlakukan di Indonesia pada 16 Maret 2020. Covid-19 tidak hanya menyerang kesehatan fisik manusia, tetapi juga menimbulkan penderitaan psikologis.
Guncangan akibat Covid-19 memojokkan manusia dalam kerapuhan dan rasa sakit yang lebih besar karena ketakutan terinfeksi, kehilangan orang yang dicintai, kecemasan akan kehilangan pekerjaan, isolasi dan pembatasan pergerakan, dinamika keluarga yang sulit, dan ketakpastian akan masa depan.
Masalah kesehatan jiwa itu sendiri adalah sebuah continuum, dari kondisi ringan, distress terbatas waktu, sampai dengan kondisi kesehatan jiwa berat.
Pandemi Covid-19 memengaruhi posisi orang dalam continuum sebagai berikut: 1) sebelumnya dapat mengatasi masalah dengan baik dan saat pandemi menjadi kurang mampu, 2) sebelumnya mengalami kecemasan dan distress ringan dan saat pandemi mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas kecemasan, 3) kondisi kesehatan jiwa baru muncul saat pandemi, dan 4) sudah memiliki masalah kesehatan jiwa dan saat pandemi mengalami pemburukan.
Menggunakan metode systematic review meta-analysis tahun 2021 dengan 66 penelitian dan 221.970 responden global, prevalensi ansietas sebesar 31,9 persen dan depresi 31,4 persen. Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan terjadinya disrupsi pelayanan kesehatan jiwa di banyak negara.
Sebanyak 75 persen responden menunjukkan ada masalah psikologis.
Efek pandemi
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) juga melakukan swaperiksa melalui laman http://www.pdskji.org/home untuk mendapatkan gambaran masalah psikologis selama dua tahun pandemi Covid-19 di Indonesia. Responden terdiri atas 14.988 orang pada Maret 2020-Maret 2022 dengan 75,8 persen responden perempuan dan 24,2 persen laki-laki.
Sebaran lima provinsi terbesar pemakai swaperiksa adalah Jawa Barat (22,7 persen), DKI Jakarta (18,4 persen), Jawa Timur (12,4 persen), Jawa Tengah (10,8 persen), Banten (7,4 persen), dan lainnya (28,2 persen).
Sebanyak 75 persen responden menunjukkan ada masalah psikologis. Perinciannya, masalah cemas (responden 5.030) 71,7 persen, masalah depresi (responden 6.644) 72,9 persen, masalah trauma psikologis (responden 2.113) 84 persen, dan masalah bunuh diri (responden 1.201) 85,1 persen dengan 36 persennya telah melakukan sesuatu atau bersiap untuk mengakhiri hidup. Estimated true prevalence untuk ansietas sebesar 30,2 persen dan depresi 32,2 persen. Data nasional dan data global saling mengonfirmasi besaran masalah kesehatan jiwa akibat pandemi.
Tenaga kesehatan juga termasuk yang paling terdampak pandemi. Penulis melakukan penelitian dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia untuk menilai perubahan status burnout (kelelahan emosional, fisik, dan mental) di antara tenaga kesehatan.
Pada April 2021 terdapat 364 responden tenaga kesehatan yang berpartisipasi dalam penelitian dan hasilnya menunjukkan terdapat 6,9 persen burnout, sebesar 0,8 persen burnout dengan manifestasi fisik dan kesejahteraan, sebesar 24,7 persen risiko tinggi burnout, sebesar 29,1 persen harus menjadi perhatian, dan 38,5 persen tidak ada kekhawatiran.
Pada Oktober 2022, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kemungkinan untuk segera mencabut status pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Komitmen Indonesia
Indonesia justru harus berkomitmen untuk melakukan pembangunan kesehatan jiwa berdasarkan hasil pembelajaran selama pandemi. Tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2022 adalah ”Jadikan Kesehatan Jiwa dan Kesejahteraan untuk Semua sebagai Prioritas Global”. Tema Indonesia adalah ”Pulih Bersama Generasi Sehat Jiwa”.
Kedua tema menekankan bahwa pemulihan kesehatan jiwa global pascapandemi membutuhkan komitmen peningkatan investasi global. Atlas Kesehatan Jiwa terbaru WHO menunjukkan bahwa pada 2020 pemerintah di seluruh dunia menghabiskan rata-rata 2 persen anggaran kesehatan untuk kesehatan jiwa. Jadi, selain pandemi itu sendiri membangkitkan minat dan perhatian terhadap kesehatan jiwa, pandemi mengungkap kurangnya investasi dalam layanan kesehatan jiwa.
Anggaran pembinaan kesehatan jiwa di Kementerian Kesehatan pada 2022 adalah Rp 37.581.556.000 dan untuk 2023 diajukan anggaran sebesar Rp 55.945.735.000. Pembinaan kesehatan jiwa mencakup promosi kesehatan jiwa, manajemen masalah/gangguan jiwa (deteksi kasus, manajemen kasus), dan manajemen penyalahgunaan NAPZA – institusi penerima wajib lapor.
Jika anggaran kesehatan 2022 sebesar Rp 255,4 triliun (Rp 116,4 triliun untuk penanganan Covid-19 dan Rp 139 triliun tidak terkait Covid-19), maka anggaran pembinaan kesehatan jiwa di Indonesia hanya sekitar 1,47 persen.
Indonesia justru harus berkomitmen untuk melakukan pembangunan kesehatan jiwa berdasarkan hasil pembelajaran selama pandemi.
Namun, tentu kita tidak boleh mengeksklusi pemanfaatan kasus gangguan jiwa dalam program Jaminan Kesehatan Nasional di mana total pembiayaan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut pada 2016-2020 mencapai angka Rp 2,6 triliun dan tidak termasuk di dalamnya biaya pelayanan obat di luar paket INA-CBGs. Pada 2018 terdapat pemanfaatan untuk 3 juta jumlah kasus dengan biaya Rp 1,25 triliun.
Berdasarkan data WHO pada 2010, secara global biaya ekonomi yang ditimbulkan dari gangguan jiwa adalah 4,2 triliun dollar AS dan diproyeksikan menjadi dua kali lipat lebih banyak pada 2030. Pada Oktober 2019, In Depth memperkirakan pada 2011-2030 output ekonomi yang hilang akibat gangguan jiwa mencapai 16,3 triliun dollar AS secara global. Dengan catatan, kedua proyeksi ini dibuat sebelum pandemi.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia
Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan juga sudah berusaha mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, yaitu akses, sarana-prasarana, sumber daya manusia (SDM), dan stigma, sehingga berdampak pada kualitas layanan, kualitas hidup orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)/orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), biaya kesehatan, dan produktivitas serta kualitas SDM.
Terkait akses terhadap layanan kesehatan jiwa, Indonesia mempunyai beberapa pekerjaan rumah. Tercatat enam provinsi belum memiliki rumah sakit jiwa, yaitu Banten, Gorontalo, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat. Belum semua rumah sakit umum memiliki layanan kesehatan jiwa dan sebanyak 4.644 dari 10.205 puskesmas telah menyelenggarakan layanan kesehatan jiwa.
Hal-hal mengenai fasilitas pelayanan di bidang kesehatan jiwa telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
UU Kesehatan Jiwa yang terlahir pada tahun 2014 sudah berusia delapan tahun, tanpa mempunyai satu pun peraturan turunan. Tidak sedikit pihak yang menaruh minat dengan tindak lanjut implementasi UU ini, di antaranya Komisi III DPD yang mengadakan rapat dengar pendapat dengan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat pada 12 September 2022 untuk membahas inventarisasi materi pengawasan atas pelaksanaan UU Kesehatan Jiwa.
Jika dilihat secara kronologis, sudah ada upaya-upaya penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Upaya Kesehatan Jiwa yang dimulai sejak 2015 hingga saat ini. Kementerian Kesehatan memaparkan, kendala penyusunan RPP ini terletak pada kendala penyatuan delapan materi peraturan pemerintah (PP) dan satu peraturan presiden sesuai amanat UU Kesehatan Jiwa dan bahwa banyak organisasi profesi dan lintas sektor yang terlibat sehingga penyamaan persepsi memakan waktu cukup lama.
Namun, bisa diyakini bahwa Kementerian Kesehatan mempunyai cukup SDM dan komitmen tinggi mampu menghadapi kedua rintangan di atas.
Sejak disahkan, UU Kesehatan Jiwa sudah diimplementasikan. Hal yang paling sederhana adalah mengikisnya stigma istilah ”orang gila” yang diganti dengan istilah ODGJ dan ODMK.
Hal yang paling sederhana adalah mengikisnya stigma istilah ’orang gila’ yang diganti dengan istilah ODGJ dan ODMK.
Berbagai upaya percepatan pembangunan rumah sakit jiwa di enam provinsi juga berproses, baik pencarian lokasi, kesiapan pembiayaan, kesiapan SDM, studi kelayakan (feasibility study), dan lain-lain, walau perlu digarisbawahi bahwa sistem pembangunan kesehatan jiwa di Indonesia tak hanya berbasis rumah sakit, tetapi juga berbasis komunitas dengan membangun sistem dari level akar rumput.
Implementasi UU Kesehatan Jiwa yang terbaru adalah Pasal 65 (3) bahwa menteri menetapkan institusi/lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai pusat penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi dan produk teknologi dalam bidang kesehatan jiwa.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membuat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/741/2022 tentang Penetapan Rumah Sakit Jiwa Dr H Marzoeki Mahdi Bogor sebagai Pusat Kesehatan Jiwa Nasional.
Pusat Kesehatan Jiwa Nasional memegang peran penting sebagai pengampu utama jejaring kesehatan jiwa (skizofrenia, depresi, ansietas, NAPZA), koordinator sister hospital, pusat riset di bidang kesehatan jiwa, dan konseptor lima layanan unggulan (psikogeriatri, psikiatri anak remaja, psikiatri forensik, psikiatri adiksi, psikiatri komunitas).
Dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk mengembangkan Pusat Kesehatan Jiwa Nasional sesuai yang dicita-citakan UU Kesehatan Jiwa.
Paradoks
Ada dua perkembangan terakhir terkait kesehatan jiwa yang paradoks, yaitu nasib UU Kesehatan Jiwa dan rencana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Saat ini Rancangan UU Kesehatan yang akan disusun dengan metode omnibus sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas DPR tahun 2023.
Dalam proses penulisan RUU Kesehatan, tidak tertutup kemungkinan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa bisa dicabut dan tidak berlaku lagi. Draf RUU Kesehatan yang beredar luas di masyarakat tampaknya tetap mempertahankan poin-poin krusial terkait kesehatan jiwa, tetapi idealnya UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa tidak dicabut.
Penting untuk dipahami bahwa secara historis Komisi IX DPR pada periode 2009-2014 menuliskan beberapa UU yang lebih spesifik, seperti UU Kesehatan Jiwa, UU Keperawatan, dan UU Tenaga Kesehatan. Demikian juga pada periode 2014-2019 terlahir UU Kebidanan.
Baca juga : Kesadaran Kesehatan Jiwa di Indonesia Masih Rendah
Baca juga : Layanan Kesehatan Jiwa Belum Terintegrasi
Keputusan ini bukan tanpa alasan. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak efektif karena pengaturan yang sangat luas tanpa disertai peraturan-peraturan derivatif.
Paradoks dengan kebingungan terkait regulasi kesehatan jiwa, saat ini Bappenas justru sedang memetakan kondisi pembangunan kesehatan dan isu potensial terkait pengembangan pelayanan kesehatan jiwa sebagai bagian dari salah satu prioritas dalam arah kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Dengan kemungkinan berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia, disertai potensi pembangunan kesehatan jiwa yang masuk dalam prioritas pembangunan nasional dan menjadi indikator RPJMN 2025-2029, Indonesia cukup bisa optimistis dengan arah pembangunan kesehatan jiwa pascapandemi.
Nova Riyanti Yusuf,Sekjen Asian Federation of Psychiatric Associations; Ketua Panja RUU Kesehatan Jiwa Komisi IX DPR 2012-2014; Ketua Umum PDSKJI DKI Jakarta