Pandemi Covid-19 menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, hingga trauma meningkat. Jika tidak diatasi, hal ini akan mengganggu produktivitas mereka yang mengalaminya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan gangguan depresi dan kecemasan naik 25 persen pada tahun pertama pandemi Covid-19 di 2020. Kondisi ini, khususnya pada generasi muda, patut diperhatikan karena akan mengganggu produktivitas mereka.
WHO juga mencatat, 15 persen orang dewasa usia kerja di dunia mengalami gangguan mental. Tanpa dukungan yang tepat, gangguan tersebut dapat berdampak ke identitas dan kepercayaan diri seseorang di tempat kerja. Ini juga bisa berdampak ke produktivitas kerja hingga kemudahan memperoleh pekerjaan.
Depresi dan kecemasan menyebabkan 12 miliar hari kerja hilang setiap tahun. Sementara itu, orang dengan kondisi mental yang lebih parah umumnya dikeluarkan dari pekerjaan. Depresi dan kecemasan menimbulkan kerugian ekonomi senilai 1 triliun dollar AS per tahun, utamanya karena penurunan produktivitas.
Menurut Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia DKI Jakarta Anna Surti Ariani, tekanan yang umumnya dialami penduduk usia produktif terkait pekerjaan. Beberapa orang dituntut untuk segera mendapat pekerjaan, tetapi kesulitan karena pandemi. Mereka yang sudah bekerja pun tertekan akibat tuntutan pekerjaan. Ini belum termasuk tekanan lain yang mungkin diterima individu, misalnya beban ekonomi keluarga dan duka.
”Tekanannya besar, sementara sarana mengekspresikan kemarahan hingga kekesalan mengecil selama pandemi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (10/10/2022).
Nugraha Ryadi (23), seorang pekerja di Jakarta, mengatakan, dirinya sering merasakan stres akibat tuntutan pekerjaan. Selain memengaruhi kinerjanya, stres membuatnya lelah secara mental. ”Hampir burned out, waktu itu udah sampe di fase ’bodo amat deh kerjaan gak bagus-bagus amat jadinya yang penting beres tepat waktu’ tapi belom sampai di fase gak mau ngapa-ngapain lagi,” ujarnya, Senin.
Pria yang baru bekerja awal 2022 ini menyampaikan, stres yang dialaminya memperparah kondisi kesehatan mentalnya. Ia sempat ingin mengakses layanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan. Namun, ia mengurungkan niatnya karena stigma negatif pada orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.
Sementara itu, swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) terhadap 14.988 orang pada Maret 2020-Maret 2022 memperlihatkan, 75 persen orang mengalami masalah psikologis.
Sebanyak 71,7 persen responden terdeteksi mengalami masalah cemas, 72,9 persen depresi, dam 84 persen lainnya mengalami trauma psikologis. Adapun 85,1 persen mengalami masalah bunuh diri. Dari 1.201 orang, sebanyak 36 persen orang menyatakan pernah bersiap atau melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup.
Depresi dan kecemasan menimbulkan kerugian ekonomi senilai 1 triliun dollar AS per tahun, utamanya karena penurunan produktivitas.
Menurut Anna, setiap orang di segala usia mengalami tekanan. Namun, ketahanan setiap orang dalam menghadapi tekanan berbeda. Hal tersebut menentukan kesehatan jiwa seseorang.
”Ketahanan itu tergantung banyak hal, misalnya inteligensi. Semakin banyak wawasan seseorang terkait penyelesaian masalah, ketahanannya pun semakin tinggi. Ketahanan juga dipengaruhi stabilitas emosi, kepercayaan diri, dan lingkungan sekitar,” ujar Anna.
Menurut jajak pendapat U-Report Indonesia yang terbit pada Agustus 2020, sebanyak 53 persen dari 638 responden berusia 0-24 tahun mengalami gangguan kesehatan jiwa. Responden mengalami perubahan perilaku, perubahan pola tidur yang ekstrem, seperti tidur terlalu lama atau sulit tidur, menarik diri dari interaksi sosial, kehilangan konsentrasi, serta mudah tersinggung, marah, dan kesal. Mereka juga mengaku mudah bosan dan malas.
Sebanyak 53 persen remaja juga merasa tertekan untuk produktif selama pandemi. Tekanan ini umumnya datang dari orangtua (38 persen), orang lain (29 persen), guru (14 persen), teman (12 persen), dan saudara (6 persen).
Direktur Regional WHO Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh mengatakan, meski beban kesehatan jiwa besar, kesenjangan penanganan kasus kesehatan jiwa masih lebar, yakni 70-95 persen. Negara Asia Tenggara lantas mengadopsi Deklarasi Paro pada September 2022 untuk menyediakan akses layanan kesehatan jiwa yang universal.
”Deklarasi Paro bertujuan untuk memastikan bahwa semua orang di kawasan (Asia Tenggara) dapat mengakses layanan kesehatan mental berkualitas, dekat dengan tempat tinggal mereka, dan tanpa kesulitan finansial. Hal ini menekankan pada kebutuhan untuk reorientasi dan integrasi layanan kesehatan mental pada layanan kesehatan primer, melengkapi strategi regional baru untuk layanan kesehatan primer yang diluncurkan pada Desember 2021,” kata Singh seperti dikutip pada laman WHO.