Tak Diakui sebagai Pekerja, Hak PRT Kerap Dilanggar
Hak pekerja rumah tangga masih kerap dilanggar, seperti hak libur, hak keamanan, hingga hak menerima upah yang layak. Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga semakin mendesak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja rumah tangga hingga kini belum diakui sebagai pekerja. Hal ini membuat hak-hak pekerja rumah tangga kerap dilanggar.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini mengatakan, situasi kerja PRT masih jauh dari kata layak. Rata-rata PRT diupah rendah atau setara 20-30 persen dari upah minimum regional (UMR). Contohnya, PRT di Semarang rata-rata diberi upah Rp 800.000, Medan 800.000, dan Jakarta Rp 1,2 juta.
Meski diupah rendah, PRT dibebani jam kerja yang panjang. Jam kerja PRT di kota besar biasanya pukul 04.30 hingga 23.00. Hak libur PRT ataupun cuti tahunan pun kerap tak jelas karena tergantung kebijakan dari pemberi kerja.
”PRT juga masih tidak diikutsertakan di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Padahal, dari segi pendapatan, PRT ada di bawah garis kemiskinan. Mereka juga kerap dikecualikan dari program bantuan sosial. Seharusnya mereka berhak atas berbagai program bansos,” kata Lita pada peringatan Hari Kerja Layak Internasional, Jumat (7/10/2022).
Adapun lingkungan kerja PRT belum sepenuhnya aman dan menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Menurut Lita, pekerjaan rumah tangga kerap dianggap tidak berisiko. JALA PRT mencatat sejumlah PRT mengalami kecelakaan, baik akibat ledakan kompor atau gas, tersiram air panas, terkena minyak panas, maupun jatuh.
Royanah, seorang PRT, mengatakan, banyak PRT mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga seksual. Sejumlah PRT mengaku menjadi sasaran kemarahan pemberi kerja tanpa alasan yang jelas, diperintah secara kasar, dikunci di rumah atau unit apartemen, dan dilarang bergaul.
Pengesahan RUU Perlindungan PRT (PPRT) menjadi penting. Namun, RUU yang telah ada di tangan DPR ini mangkrak selama 18 tahun.
Ada pula yang dilarang atau diberi waktu terbatas buat beribadah, dilarang tersenyum atau tertawa, hingga dilarang ikut pemilu. Sebagian PRT juga mengaku tidak diberi makan atau minum, diberi makanan basi, hingga dipukul.
Beberapa lainnya dipecat sepihak, tidak diberi kenaikan upah meski telah bekerja lama, upah terlambat dibayar, hingga upah dipotong secara sepihak. ”Belum lama ini gaji saya juga dipotong,” kata Royanah. ”Saya harap agar PRT bisa mendapat hak-haknya, saat bekerja bisa merasa aman dan nyaman, serta saya harap ada pelindungan dari pemerintah,” ucapnya.
Ketimpangan relasi kuasa
Menurut perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Nur Meylawati, pelanggaran hak PRT terjadi antara lain karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara PRT dan pemberi kerja. Adapun kekerasan sulit dilaporkan karena terjadi di ranah privat. Saksi hingga alat bukti pun sulit diperoleh. Di sisi lain, tidak semua aparat penegak hukum memiliki perspektif memadai terhadap kasus kekerasan PRT.
”Ada yang diajak bermediasi, tetapi bisa saja PRT ditekan untuk mediasi. Jika tidak mau mediasi, mereka akan dilaporkan lagi. Ini sebabnya PRT takut bicara,” ujar Nur.
Menurut data JALA PRT, sejak 2012 hingga Desember 2021, setiap tahun ada sekitar 400 PRT yang mengalami berbagai kekerasan, baik fisik, psikis, ekonomi, kekerasan seksual, maupun perdagangan manusia. Mereka sulit dilindungi karena belum ada payung hukum yang menaungi. Padahal, jumlah PRT diperkirakan mencapai 5 juta orang.
RUU perlindungan PRT
Karena itulah, pengesahan RUU Perlindungan PRT (PPRT) menjadi penting. Namun, RUU yang telah ada di tangan DPR ini mangkrak selama 18 tahun.
Badan Legislasi DPR telah selesai membahas RUU ini pada pertengahan 2020 dan kini menunggu tahap paripurna. Apabila RUU disahkan, negara artinya memberikan pengakuan terhadap keberadaan PRT (Kompas, 1/10/2022).
”PRT itu soko guru yang tidak terlihat, tidak diakui, dan tidak dihitung kontribusinya. Padahal, pekerja domestik berperan penting agar orang lain dapat mengerjakan tugasnya di luar dengan baik pula,” ucap Lita.
Koordinator Koalisi Sipil UU PPRT Eva Kusuma Sundari mengatakan, koalisinya telah menggalang dukungan ke berbagai pihak, baik kelompok agama, lembaga, Kantor Staf Presiden, hingga Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Kompas pada akhir Agustus 2022 mencatat, Wapres mengatakan akan mencari cara agar RUU ini bisa segera dibahas DPR.