Mereka Terus Menanti Pengakuan Negara
Selama 18 tahun, nasib para pekerja rumah tangga terus-menerus digantung. Diskriminasi dan intimidasi selalu menghantui. Mereka berharap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera dibahas dan disahkan.
Pada tahun 2009, Yuni SR (39) memutuskan menjadi pekerja rumah tangga demi menopang ekonomi keluarga. Ibu empat anak tersebut tidak punya pilihan pekerjaan lain kecuali menjadi pekerja rumah tangga. Suaminya ketika itu hanya bekerja di bengkel, sementara anaknya yang paling kecil masih berusia setahun.
”Waktu itu bingung mau kerja di mana. Saya tidak punya ijazah. Pernah sekolah di sekolah menengah kejuruan, tapi enggak lulus. Akhirnya teman saya menawarkan bekerja di apartemen,” ujarnya, Senin (14/2/2022).
Selama bekerja, Yuni mengaku telah kenyang dengan perlakuan buruk, termasuk kekerasan seksual dari majikan ataupun lingkungan tempat kerja. Meski demikian, hingga kini dia tetap bertahan sebagai pekerja rumah tangga (PRT) karena tidak punya pilihan lain.
”Selama menjadi PRT, perlakuan-perlakuan diskriminasi dan intimidasi sudah biasa saya alami,” ujar Yuni saat menyampaikan testimoni dalam webinar ”Memperkuat Dukungan terhadap Pembuat Kebijakan dan Membangun Strategi Mendorong Pengesahan RUU Perlindungan PRT” yang digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Senin.
Hingga kini, menurut Yuni, masyarakat masih merendahkan dan memperlakukan semena-menaPRT. Dia pun menceritakan berbagai persoalan yang dihadapi PRT, seperti diperintah majikan dengan kaki, didorong kepala, kata-kata kasar, didiamkan, dicurigai, dan dianggap kotor.
”Kawan kami ada yang dikunci dari luar rumah atau diminta menunggu di teras ketika majikan pergi.Para kawan PRT yang bekerja di apartemen tidak boleh lewat lobi dan menggunakan lift majikan,” cerita Yuni.
Baca juga : Saatnya Tuntaskan RUU PPRT
Pengalaman pahit sebagai PRT juga dirasakan Indah Mustikaningsih dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Operata Panongan, Tangerang. Dalam testimoni di sebuah acara Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Indah mengungkapkan, ia hanya mendapat upah Rp 500.000 per bulan ketika pertama kali menjadi PRT, padahal mengasuh anak 24 jam. Ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dia mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) saat suaminya sakit.
Di Yogyakarta, Wanti, PRT yang bekerja sejak usia anak (13 tahun), memaparkan, ketika pertama kali bekerja, dia tidak digaji selama lima tahun. Padahal, dia bekerja dari subuh hingga tengah malam. Ia kemudian memutuskan berhenti dan bekerja di tempat lain karena tidak pernah digaji oleh majikannya.
PRT saat bekerja di rumah-rumah pribadi yang tidak terpantau dari luar juga rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Belum lagi, dalam pekerjaannya tidak ada batasan kerja dan jam kerja yang jelas sehingga rentan eksploitasi.
Situasi PRT tersebut diakui Komnas Perempuan. Theresia Iswarini, anggota Komnas Perempuan, mengungkapkan, sebelum dan saat pandemi, PRT berada dalam situasi rentan berbagai kekerasan, baik di dalam rumah tangga pemberi kerja maupun di rumah sendiri. Di sisi lain, PRT rentan mengalami diskriminasi karena mereka dianggap melakukan pekerjaan yang dianggap tidak membutuhkan keahlian.
Sementara PRT saat bekerja di rumah-rumah pribadi yang tidak terpantau dari luar juga rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Belum lagi, dalam pekerjaannya tidak ada batasan kerja dan jam kerja yang jelas sehingga rentan eksploitasi.
”Tidak punya posisi tawar terhadap pemberi kerja. Tidak ada jaminan kesehatan. Di masa pandemi Covid-19, PRT tidak memiliki akses atas pelayanan kesehatan Covid-19 dan harus menyediakan peralatan kesehatan sendiri. Bahkan rentan kehilangan pekerjaan atau berkurangnya upah karena pembatasan jarak sosial,” papar Theresia.
Dari babu hingga pekerja
Tidak hanya perlakuan diskriminasi, cara memandang PRT sebagai pekerja rendahan pun hingga kini masih banyak belum berubah. Bahkan, hingga kini masih ada yang menyebut PRT dengan istilah babu atau pembantu.
Beberapa tahun terakhir memang sudah ada perubahan ketika masyarakat mulai menyebut asisten rumah tangga. Seiring kampanye perlindungan PRT, kini sebutan untuk pekerja domestik ini perlahan-lahan mulai bergeser ke pekerja rumah tangga meskipun belum begitu banyak yang menggunakannya.
Di kalangan pemberi kerja sendiri, istilah PRT belum dikenal secara luas. Seperti yang diakui Lusiani Julia, perwakilan pemberi kerja. Sampai saat ini pemberi kerja belum banyak yang mau menyebut pekerja bagi PRT di rumahnya dan lebih banyak menyebut sebagai pembantu.
”Ya, kalau agak sopan nyebutnya asisten, sekarang masih ada yang menyebut pembantu. Masih banyak juga yang nyebut babu. Saya sendiri sebagai pemberi kerja agak jengah kalau ada yang menyebut babu. Tetapi mau bilangin itu PRT harus sedikit-sedikit, karena istilah itu belum dikenal secara luas,” ungkap Julia.
Baca juga : Pemimpin Agama Mengetuk Hati DPR, Segera Sahkan RUU PPRT
Jangankan istilah PRT, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) pun belum banyak diketahui pemberi kerja. Mereka yang berpendidikan tinggi juga banyak yang belum tahu RUU tersebut.
Saat ini yang lebih terlihat justru ada ketakutan apabila RUU PPRT akan memperberat pemberi kerja. Misalnya, ketakutan akan menggaji tinggi PRRT dan menghadapi masalah hukuman jika terlambat membayar gaji PRT. ”Perlu dijelaskan kepada pemberi kerja, apa, sih, manfaat RUU PPRT,” ujar Julia yang mengatakan RUU tersebut belum tersosialisasi dengan baik.
Meski demikian, jika nantinya ada UU PPRT, para pemberi kerja berharap regulasi tersebut bisa memberikan keadilan bagi pemberi kerja dan PRT, dapat membantu pemberi kerja dalam memastikan perlindungan bagi PRT, serta memperkuat perlindungan sosial, seperti penyediaan layanan BPJS Ketenagakerjaan.
Penantian 18 tahun
Maka, bertepatan dengan Hari PRT Nasionalyang diperingati setiap tanggal 15 Februari, suara lantang untuk mewujudkan perlindungan dan pengakuan akan profesi PRT melalui RUU PPRT pun menggema. Komnas Perempuan dan jaringan organisasi masyarakat sipil kembali mengetuk hati para wakil rakyat di Senayan untuk segera melanjutkan proses legislasi RUU PPRT yang sudah 18 tahun terhenti di tangan DPR.
Semakin lama hadirnya payung hukum yang mengakui profesi PRT, maka semakin panjang daftar PRT yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Situasi yang tidak layak akan terus berlanjut, mulai dari bekerja dengan beban kerja tak terbatas dan jam kerja panjang rata-rata lebih dari 16 jam per hari, tidak ada istirahat, tidak ada libur mingguan, tidak ada cuti tahunan, hingga tidak ada jaminan sosial, baik jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan.
Survei Jaminan Sosial JALA PRT tahun 2019 terhadap 4.296 PRT yang diorganisasi di enam kota menemukan 89 persen responden (3.823 PRT) tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan 99,9 persen responden (4.253 PRT) tidak mendapatkan hak jaminan ketenagakerjaan. Bahkan, survei JALA PRT pada Agustus 2021 terhadap 743 PRT atau 86 persen responden PRT tidak bisa mengakses jaminan kesehatan nasional sebagai peserta.
Seharusnya, menurut Eva Sundari, Direktur Institut Sarinah, kehadiran UU PPRT justru untuk mencegah praktik perbudakan modern karena nantinya akan ada praktik demokrasi musyawarah mufakat dalamperjanjian kerja untuk hak-hak normatif, mulai dari gaji, libur,pulang kampung, beribadah, hingga jenis pekerjaan. UU PPRT juga akan memperluas penerima paket perlindungan sosial(BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, termasuk bantuan sosial).
Lebih jauh lagi, UU PPRT akan berdampak positif, yakni perbaikan kesetaraan jender, inklusivitas pembangunan, serta mendukung pencapaian 10 target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Di DPR, Ketua Panitia Kerja RUU PPRT Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengakui, lambatnya proses legislasi RUU tersebut lebih banyak pada ketakutan pada pimpinan DPR. ”Sterotip tentang RUU PPRT ini lebih besar di pimpinan,” ujar Willy. Sampai sekarang, masih ada dua partai besar di DPR yang belum mendukung RUU tersebut.
Luluk Nur Hamidah, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengakui, belum berlanjutnya RUU PPRT kemungkinan karena isu PRT belum dianggap isu prioritas dan penting. ”Sebaliknya, walaupun sudah menunggu 18 tahun, sampai sekarang kita belum melihat tanda-tanda kapan RUU PPRT diputuskan sebagai RUU inisiatif DPR. Walaupun ini sangat memalukan, itulah fakta-fakta yang terjadi,” ujar Luluk.
Jalan panjang perjuangan RUU PPRT selama 18 tahun diungkapkan Theresia Iswarini. RUU yang telah diajukan sejak tahun 2004 itu masuk dalam Prolegnas DPR Tahun 2009-2014, bahkan pernah masuk dalam pembahasan Komisi IX DPR pada tahun 2010. Lalu, pada tahun 2014 berhenti di Baleg DPR dan masuk lagi pada periode 2014-2019, dilanjutkan 2019-2024. Namun, akhirnya pembahasan RUU itu terhenti di Badan Musyawarah DPR.
Bagi Koordinator JALA PRT Lita Anggraini, perjalanan 18 tahun RUU PPRT di DPR merupakan proses legislasi RUU terlama. Karena itulah, bersama para PRT yang berjumlah sekitar lima juta orang, Lita mengetuk hati anggota DPR dan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan UU PPRT dan menghentikan perbudakan modern yang terjadi hingga saat ini.
Baca juga : Saatnya Tuntaskan RUU PPRT
Maka, di saat Hari PRT Nasional, Lita berharap Presiden tidak membiarkan nasib PRT yang menopang perekonomian terus-menerus digantung dan ditinggalkan, serta berharap RUU PPRT segera dibahas dan disahkan.