Dalam RUU PPRT yang sudah selesai dibahas di tingkat Badan Legislasi DPR, antara lain definisi PRT, kejelasan penyalur, dan perihal kontrak kerja.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 18 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU PPRT mangkrak, padahal keberadaannya sudah di tangan DPR. Pada pertengahan tahun 2020, proses pembahasannya telah selesai dilakukan di Badan Legislasi DPR dan sampai sekarang tinggal menunggu tahap paripurna. RUU PPRT ini, jika disahkan, akan memberikan kejelasan pengakuan negara terhadap keberadaan PRT.
“Selama proses penyusunan, kami melibatkan ahli dan sosiolog. Kami berikan landasan filosofis, sosiologis, hingga yuridis di balik RUU PPRT. Tinggal menunggu tahap paripurna dan kami sudah mendapati baik pemerintah maupun kalangan masyarakat sipil telah mendukung penuh RUU PPRT,” ujar Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja RUU PPRT Willy Aditya dalam konferensi pers, Jumat (30/9/2022), di Jakarta.
Willy menjelaskan beberapa substansi penting dalam RUU PPRT yang sudah selesai dibahas di tingkat Badan Legislasi DPR, antara lain definisi PRT, kejelasan penyalur, dan perihal kontrak kerja. Dari sisi definisi, ada PRT yang direkrut langsung berdasarkan semangat kekeluargaan dan ada pula PRT yang direkrut tidak langsung, yaitu oleh pemberi kerja melalui agen penyalur.
Kejelasan penyalur yang semula berbentuk yayasan diharuskan menjadi badan usaha. Proses perijinannya pun harus ke tingkat kabupaten/kota sehingga pemerintah daerah turut berperan memberikan perlindungan minimum. Lalu, perekrutan PRT wajib mempunyai landasan kontrak kerja sebagai salah satu bentuk kejelasan hukum.
“Pengaturan perlindungan PRT selama ini terakomodasi dalam peraturan setingkat peraturan menteri, bukan setingkat UU. Kami sepakat bahwa RUU PPRT ini mendesak dalam hal memberikan kepastian hukum bagi PRT,” kata Willy.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi menegaskan bahwa kementerian mendukung RUU PPRT segera menjadi produk hukum untuk mengatur ketenagakerjaan di sektor domestik. Dinamika yang harus dilalui RUU PPRT selama 18 tahun, menurut dia, terlalu panjang.
“Selama ini, masih banyak orang salah kaprah menyebut PRT, seperti asisten rumah tangga dan pembantu rumah tangga. Ditambah lagi, terdapat persoalan-persoalan sosial yang mereka alami. Apabila Indonesia ingin berbicara perlindungan PRT, maka kita harus mengedepankan regulasi perlindungan PRT dalam negeri (terlebih dulu),” tutur Anwar.
Pada saat bersamaan, Staf Pengembangan Kapasitas dan Pengorganisasian Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Ari Ujianto mengungkapkan, sepanjang tahun 2017 hingga sekarang terdapat 1.148 kasus kekerasan ekonomi dialami oleh PRT. Contoh kekerasan ekonomi yang dimaksud adalah upah tidak dibayar. Lalu, terdapat 1.382 kasus kekerasan psikis, 1.027 kasus kekerasan fisik, dan 831 kasus kekerasan seksual dialami oleh PRT.
JALA PRT memperoleh data kasus kekerasan tersebut dari pengaduan sampai laporan yang ada di media massa. Ari meyakini, masih banyak kasus kekerasan yang dialami oleh PRT, tetapi tidak dilaporkan ataupun diungkap ke media massa.
“Kehadiran UU PRT amat diperlukan juga untuk meminimalkan kasus-kasus kekerasan kepada PRT,” ucap Ari.
Ari menambahkan, jika RUU tersebut disahkan menjadi UU, maka akan ada implikasi sosial- budaya yang besar di masyarakat. PRT akan mendapat pengakuan dari negara. Selain itu, kepastian hak dan kewajiban PRT, pemberi kerja, dan penyalur menjadi lebih jelas, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.