Janji Mengakhiri Era Guru Oemar Bakri
Draf RUU Sistem Pendidikan Nasional menjadi sorotan. Salah satu hal yang memicu protes kalangan organisasi profesi guru berkaitan dengan tak adanya ketentuan tentang tunjangan profesi guru.
”Oemar Bakri, Oemar Bakri, pegawai negeri/
Oemar Bakri, Oemar Bakri, 40 tahun mengabdi/
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati/
Oemar Bakri, Oemar Bakri banyak ciptakan menteri/
Oemar Bakri, bikin otak orang seperti Habibie/
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperi dikebiri/...”
Penggalan lagu yang dinyanyikan Iwan Fals tersebut menggambarkan sosok guru Indonesia yang jauh dari sejahtera meskipun penuh pengabdian dalam mendidik generasi penerus bangsa. Salah satu lagu hit Iwan Fals dari Album Sarjana Muda berkumandang sejak tahun 1981. Namun, para guru model Oemar Bakri ini nyatanya masih banyak hadir dalam keseharian di sekolah-sekolah milik pemerintah dan swasta di berbagai penjuru negeri.
Perjuangan para guru lewat berbagai organisasi profesi guru, untuk menuntut pemerintah memartabatkan dan memuliakan guru, akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Payung hukum khusus guru dan dosen ini menjadi pegangan para guru untuk menuntut pemerintah dan pemerintah daerah guna memastikan kesejahteraan, meningkatkan mutu, profesionalisme, dan karir, serta melindungi guru.
Meski tidak mulus, perjuangan untuk mengakhiri guru era Oemar Bakri mulai terbuka. Pemerintah pun mengatur adanya sertifikasi guru, dengan berbagai perubahan syarat dan model sebagai jalan keluar menyejahterakan guru. Para guru yang lolos sertifikasi akan mendapatkan penambahan satu kali gaji pokok setara pegawai negeri sipil (PNS) setiap bulannya yang dinamakan tunjangan profesi guru (TPG).
Pada tahun 2007 pun perjalanan sertifikasi guru dimulai dengan memprioritaskan guru senior. Awalnya hanya dengan model portofolio, selanjutnya terus bertansformasi. Guru pun pontang-panting mencari dana dan mengatur waktu untuk bisa kuliah ke jenjang S-1 (sebelumnya maksimal diploma 2). Pada tahun 2022, modelnya guru ikut pre-tes untuk bisa mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) dalam jabatan yang digelar lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPT) atau perguruan tinggi penghasil calon guru.
Perjalanan panjang sertifikasi guru penuh dengan pengawalan, protes, dan unjuk rasa, dari organisasi profesi guru, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), hingga Perhimpunan Pendidik dan Guru (P2G). Kalangan organisasi profesi guru ini merasa percaya diri ”memaksa” pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memenuhi hak kesejahteraan guru lewat pembayaran TPG karena tertulis di dalam UU Guru dan Dosen.
Baca juga: ”Quo Vadis” Tunjangan Profesi Guru?
Bukan hanya soal kuota sertifikasi guru yang terbatas dan model pelaksanaan sertifikasi yang menyulitkan guru yang terus disorot para guru. Bahkan, pembayaran TPG yang menjadi hak guru agar lancar dan tanpa potongan oleh oknum, dan agar bisa dibayar tanpa mengutak-atik dengan syarat yang memberatkan guru, juga menjadi perjuangan para guru.
Tidak heran, ketika akhirnya naskah dan draf Rancangan UU Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas versi Agustus dibuka Kemendikbudristek ke publik di laman https://sisdiknas.kemdikbud.go.id, sejumlah organisasi profesi guru ”meradang”. Apalagi RUU Sisdiknas sedang dibahas di Badan Legislasi DPR karena diajukan pemerintah untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan 2022.
Padahal, RUU Sisdiknas yang bersifat omnibus law atau undang undang sapu jagat, salah satunya menghapus UU Guru dan Dosen. Namun, di dalam batang tubuh RUU Sisdiknas, tidak ada pasal yang menyebutkan soal TPG yang selama ini menjadi pengaman kesejahteraan guru meskipun untuk memperolehnya butuh pengorbanan dan perjuangan lahir dan batin.
Terkait kesejahteraan guru, RUU Sisdiknas versi Agustus, di Pasal 105 tertulis, ”Dalam menjalankan tugas keprofesian, Pendidik berhak: a. memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. mendapatkan penghargaan sesuai dengan prestasi kerja”.
Sejumlah organisasi guru pun segera menyatakan keberatan dengan tidak adanya secara tegas di batang tubuh RUU Sisdiknas tentang TPG. Tanpa ada rujukan TPG di RUU Sisdiknas, mereka tak yakin aturan hukum di bawahnya bisa menjamin kesejahteraan guru yang ada meski belum semua guru mendapatnya. Dalam RUU Sisdiknas, pengaturan kesejahteraan guru aparatur sipil negara (ASN) untuk memperoleh penghasilan dan jaminan sosial yang layak merujuk pada UU Aparatur Sipil Negara, sedangkan guru swasta merujuk pada UU Ketenagakerjaan.
Untuk tahun 2023, Kemendikbudristek menganggarkan TPG guru PNS daerah Rp 50,45 triliun. Ada juga dana tambahan penghasilan guru PNS daerah Rp 1,4 triliun, dan tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus senilai Rp 1,67 triliun.
Tidak punya pegangan
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi, di Jakarta, Minggu (28/8/2022), mengatakan PGRI menyesalkan hilangnya ketentuan TPG dan dosen dan tunjangan lain dalam UU Guru dan Dosen. ”Para guru seharusnya dimuliakan. Dalam melakukan pekerjaannya, para guru mengunjungi para siswanya yang terbatas jaringan internet dengan hati tulus. Pemberian TPG hal yang wajar sebagai bentuk penghargaan dan keadilan bagi guru,” ujarnya.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, mengatakan, P2G juga menyesalkan hilangnya pasal tentang TPG. ”Kami tidak bisa berpegang tentang kesejahteraan guru dari janji pejabat, tetapi harus tertulis jelas di RUU Sisdiknas sebagai rujukan. Kami tetap meminta supaya pengaturan TPG ada dalam batang tubuh RUU Sisdiknas,” tegasnya.
Baca juga: RUU Sisdiknas Diminta Tidak Masuk Prolegnas Prioritas Perubahan 2022
Satriwan menambahkan, di RUU Sisdiknas hak guru hanya diatur dalam satu pasal. Hal ini bertolak belakang dengan UU Guru dan Dosen yang cukup lengkap dan detail mengatur hak guru. ”RUU Sisdiknas sangat buruk dalam mengatur hak-hak guru. Ini sebuah langkah mundur dalam tata kelola guru,” ungkapnya.
Kami tidak bisa berpegang tentang kesejahteraan guru dari janji pejabat, tetapi harus tertulis jelas di RUU Sisdiknas sebagai rujukan. Kami tetap meminta supaya pengaturan TPG ada dalam batang tubuh RUU Sisdiknas.
Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Danang Hidayatullah menyatakan, di dalam naskah RUU Sisdiknas, ada beberapa hal positif yang jadi energi baru bagi guru, misalnya dimasukkannya pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai salah satu jenjang pendidikan. Hal positif lain yaitu tentang karier guru. Namun, perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut.
”Di dalam naskah akademik RUU Sisdiknas dijelaskan upaya dan niat baik pemerintah terkait pemisahan pengaturan antara sertifikasi dan penghasilan guru. Namun, niat baik itu tidak tertuang dalam batang tubuh RUU Sisdiknas sehingga memunculkan berbagai persepsi di kalangan guru dan pegiat pendidikan. Salah satunya adalah terkait hilangnya klausul TPG. Dalam tataran implementasi, yang menjadi dasar kebijakan adalah UU Sisdiknas, bukan naskah akademik,” ujarnya.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Tety Sulastri Lokolo mengatakan, di era merdeka belajar saat ini, sangat penting adanya ruang inovasi dan kreativitas dalam sistem pendidikan sehingga harus terkandung jelas di RUU Sisdiknas. Setiap pasalnya tidak boleh ada yang mengabaikan hak-hak guru dan hak-hak pelajar. Guru yang merdeka dengan tingkat kesejahteraan layak akan berdampak pada peningkatan mutu pelajar sebagai generasi bangsa berkarakter Pancasila.
Kabar gembira
Kekecewaan sejumlah organisasi profesi guru tetang ketidakberpihakan pemerintah pada kesejahteraan guru dalam RUU Sisdiknas mendapat tanggapan serius dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. Dalam Rapat Kerja Komisi X DPR, secara daring, Selasa (30/8/2022), secara tegas Nadiem yang menjalani isolasi mandiri akibat terpapar Covid-19 menolak tudingan tak berdasar tersebut.
”RUU Sisdiknas ini mungkin menjadi kebijakan yang paling berdampak postif pada kesejahteraan guru. Menurut kami, belum pernah ada RUU yang benar-benar punya dampak lebih holistik dan terintegrasi terhadap peningkatan kesejahteraan guru,” ungkapnya.
Nadiem meminta para guru melihat rekam jejak pemerintah dan Kemendikbudristek tiga tahun terakhir yang sangat berpihak pada kesejahteraan guru, Berbagai inisiatif dilakukan untuk memartabatkan dan menyejahterakan guru antara lain pengangkatan guru honorer menjadi guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang masif. Selain itu, ada kebijakan pemanfaatan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang fleksibel untuk membayar gaji guru honorer agar layak hingga bantuan subsidi upah bagi guru di masa pandemi Covid-19.
Kesejahteraan guru dalam RUU Sisdiknas, kata Nadiem, justru adil bagi semua guru. Para guru ASN dan non-ASN yang selama ini sudah mendapatkan TPG akan tetap mendapat TPG sampai pensiun selama memenuhi syarat. Sebaliknya, para guru yang belum disertifikasi tidak lagi perlu menunggu antrean sertifikasi. Ketentuan sertifikasi bagi guru yang sudah ada ”diputihkan” sehingga mereka bisa langsung mendapatkan penambahan penghasilan sesuai peraturan yang ada.
”Mungkin yang masih mempertanyakan atau mencemaskan posisi pemerintah dalam kesejahteraan guru, saya ingin menekankan sekali lagi, lihat track record (rekam jejak) pemerintah untuk kesejahteraan guru yang meningkat selama tiga tahun terakhir. Kami selalu mendukung guru. RUU Sisdiknas ini kabar gembira untuk semua guru,” kata Nadiem.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Iwan Syahril mengatakan, RUU Sisdiknas ini untuk menjawab ”teriakan” para guru yang mengeluhkan untuk bisa mendapatkan tambahan penghasilan TPG, guru harus mengantre lama sertifikasi, bahkan ketika ikut ujian tidak lulus. Padahal, guru sama-sama mengajar. Ada guru yang sampai pensiun tidak juga mendapat panggilan sertifikasi atau lulus ujian sertifikasi.
Saat ini sekitar 1,6 juta guru belum bisa ikut sertifikasi. JIka RUU Sisdiknas disahkan, mereka langsung bisa mendapat tambahan penghasilan tanpa ikut sertifikasi lewat PPG. Selain itu, para pendidik di pendidikan anak usia dini hingga di pendidikan nonformal, termasuk di pesantren, yang menjalankan pendidikan dengan standar pendidikan formal, ketika nanti memenuhi syarat berarti bisa mendapat tambahan penghasilan tanpa harus disertifikasi.
Baca juga: Kami Juga Mendidik Anak Bangsa, Mengapa Kami Dibedakan
”Selama ini hanya guru yang memiliki sertifikasi yang bisa menikmati TPG. Ini sumber frustasi karena guru harus menunggu antrean yang lama dan belum tentu lulus. Kita ingin perbaikan agar setiap guru bisa menerima tunjangannya tanpa ikut proses sertifikasi,” kata Iwan.
Iwan menekankan, dalam RUU Sisdiknas ini, prinsip kesejahteraan guru menjadi yang utama, yakni dengan menghilangkan ketentuan perolehannya tanpa mekanisme sertifikasi guru. RUU Sisdiknas ini menghilangkan status quo, karena itu yang diutamakan prinsip dulu, lalu untuk rinciannya dikawal dalam aturan di bawah UU Sisdiknas nanti.
”Prinsip untuk semua guru bisa langsung mendapatkan peningkatan penghasilan, itu dulu yang kita pegang dan kawal. Lalu, regulasi turunannya dikawal. Tidak semua yang sangat terperinci tentang penyelenggaraan pendidikan diatur di RUU Sisdiknas, tetapi di turunannya. Perjalanan masih panjang,” ujarnya. Kelas PPG dikhususkan untuk calon guru. Artinya, setiap guru baru harus lulusan PPG sehingga terjamin mutunya dan langsung mendapat penghasilan yang layak.