Di tengah pandemi saat ini, banyak guru terhantam beragam kesulitan, seperti masalah finansial dan pengelolaan pembelajaran, maka tunjangan profesi guru ”double is nothing”, tetapi ”double is everything” bagi para guru.
Oleh
CATUR NURROCHMAN OKTAVIAN
·5 menit baca
Pekan terakhir Januari 2021 timbul keresahan di kalangan guru. Keresahan itu dipicu pernyataan salah satu pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR pada 27 Januari 2021 yang kutipannya dimuat di berbagai media daring tentang tunjangan profesi guru (TPG).
Pemberian TPG dianggap tidak memberikan dampak dalam peningkatan kinerja guru dan hasil belajar siswa. Salah satu indikatornya adalah rendahnya pencapaian nilai uji kompetensi guru (UKG). Pernyataan pejabat tersebut dilandasi sumber dari penelitian Bank Dunia. Lebih lanjut dikatakannya bahwa Kemendikbud bakal hanya memberikan tunjangan kepada guru yang berprestasi dan kompeten (www.jawapos.com, 27 Januari 2021).
Pada zaman teknologi canggih seperti saat ini, berita dalam media daring mudah tersebar luas. Dunia keguruan pun heboh. Sejumlah pihak bereaksi, terutama dari para guru dan organisasi profesi guru PGRI. Tidak menunggu lama, pejabat tersebut buru-buru mengklarifikasi, seperti yang dimuat di media-media daring, keesokan harinya.
Menurut dia, TPG tetap akan diberikan sesuai peta jalan pendidikan 2020-2035 dan tetap masuk dalam program Kemendikbud sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen (JPNN, 28 Januari 2021). Mungkin dengan klarifikasi tersebut, diharapkan dapat menenangkan hati para guru.
Polemik TPG seperti saat ini bukanlah barang baru. Alasannya klasik dan hampir selalu senada bahwa pemberian TPG tidak linear dengan peningkatan kualitas pendidikan yang didasarkan hasil penelitian Bank Dunia tahun 2015 berjudul Double is Nothing. Mungkin maksud judul laporan penelitian itu karena melalui pemberian TPG sebesar dua kali gaji pokok, tetapi belum memberikan dampak bagi peningkatan kinerja guru dan hasil belajar siswa.
Pertanyaan mendasarnya, apakah metodologi penelitian Bank Dunia sudah benar-benar dikaji secara mendalam oleh para ahli pendidikan di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak? Benarkah TPG tidak berpengaruh sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru dan kualitas pendidikan?
Bagi para guru, pemberian TPG ini ibarat setetes air di padang gersang. Mungkin bagi Bank Dunia, double is nothing, tetapi bagi para guru double is everything. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak guru yang belum mendapatkan gaji memadai, minimal memenuhi upah minimum provinsi/kab/kota. Dalam UU No 14/2005, jelas diamanahkan bahwa guru berhak mendapatkan kesejahteraan yang memadai dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Pengelolaan manajemen guru masih saja menemui banyak persoalan hingga berkali-kali ganti menteri. Akibat desentralisasi pendidikan, manajemen pengelolaan guru menjadi kewenangan daerah kab/kota dan provinsi. Permasalahan tata kelola guru harus diurut mulai dari hulu, bagaimana pendidikan guru di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), pendidikan rofesi guru (PPG), hingga hilir (ketika guru itu sudah menjabat). Selain itu, manajemen pengelolaan guru juga tidak hanya ada di Kemendikbud, tetapi juga ada yang di bawah kewenangan Kementerian Agama (Kemenag).
Analisis persoalan dapat dimulai dari LPTK. Berapa jumlah LPTK yang ada di Tanah Air? Apakah keberadaan lembaga pendidikan guru ini sudah seimbang dengan formasi kebutuhan guru yang dapat diserap di lapangan? Belum lagi saat ini lulusan non-LPTK pun dapat menjadi guru setelah mengikuti PPG dan mendapatkan sertifikat pendidik. Dari LPTK yang ada, berapakah yang berkualitas?
Jika ingin persoalan hulu dibenahi, pemerintah harus tegas menyaring dan memberi izin LPTK mana yang berkualitas sehingga dapat terus berdiri, dan yang tidak sesuai kriteria kelayakan harus segera ditutup. Setelah pembenahan di LPTK, berlanjut pada pembenahan PPG. Setelah menempuh pendidikan akademik, calon guru harus menempuh PPG. Libatkan guru/praktisi, organisasi profesi guru, dan akademisi dalam prosesnya.
Bagi guru dalam jabatan, PPG dilakukan di sekolah sehingga calon guru profesional tidak banyak meninggalkan jam mengajarnya. Lantas, bagaimana bagi guru prajabatan? Bagi guru prajabatan, yang mengambil PPG ini terintegrasi dengan pendidikan di LPTK-nya. Setiap LPTK diharapkan memiliki sekolah-sekolah laboratorium (lab school) sebagai tempat mereka berpraktik menjadi guru profesional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan para guru masih jauh dari sejahtera. Dengan adanya pemberian TPG sebesar satu bulan gaji pokok bagi guru PNS dan sebesar 1.5 juta rupiah per bulan bagi guru non-PNS, sebagaimana amanat UU Guru dan Dosen, menjadi begitu sangat berharga dalam memenuhi kebutuhan hidup para guru.
Kita tahu bahwa gaji pokok pangkat tertinggi guru PNS dengan masa kerja puluhan tahun sekitar 5 juta rupiah. Ditambah tunjangan kinerja bagi para guru yang berbeda-beda kebijakannya di setiap daerah (guru SD-SMP merupakan pegawai daerah kab/kota dan guru SMA pegawai provinsi). Dengan gaji sebesar itu, tetapi tugas dan tanggung jawab yang besar karena menyangkut peningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, tentu adanya TPG sangat membantu dapur para guru.
Tentang kualitas pendidikan, parameter yang harus diperhitungkan sangat banyak, bukan semata tentang kualitas guru. Sarana dan prasarana, kurikulum, manajemen kompetensi guru, kebijakan pendidikan di daerah, pembiayaan, standar pengelolaan, dan lain sebagainya juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Belum lagi dari jumlah guru yang ada tidak semuanya PNS.
Ada guru yang masih berstatus honorer dan juga berstatus guru tetap/tidak tetap yayasan yang bertugas di sekolah yang dikelola masyarakat. Mengenai TPG yang dihubungkan dengan nilai UKG rendah, menurut saya, juga bias karena perolehan nilai rata-rata UKG dihitung berdasarkan hasil dari semua guru yang mengikuti tes (baik yang sudah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi).
Untuk menguji tesis yang dikemukakan Bank Dunia, Kemendikbud dapat menghimpun para ahli pendidikan yang hebat dan berserakan di Tanah Air. Sebagai second opinion, dapat dibuat penelitian tandingan dan kajian mendalam secara komprehensif dari berbagai variabel. Janganlah selalu hanya bergantung pada sumber luar yang belum tentu sesuai dengan situasi sosial budaya, kultural, dan psikologis bangsa sendiri.
Di tengah pandemi saat ini, banyak guru terhantam beragam kesulitan, seperti masalah finansial dan pengelolaan pembelajaran. Sebaiknya pemerintah lebih memberi perhatian pada bagaimana menyelesaikan permasalahan pembelajaran pada masa pandemi seperti saat ini, yang sudah berlangsung setahun dan bahkan mungkin bisa lebih lama lagi.
Catur Nurrochman Oktavian,
Guru SMP Negeri 1 Kemang Kabupaten Bogor/Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI