BPJS Kesehatan dinyatakan tidak defisit pada 2021. Aset bersih BPJS Kesehatan pada 2021 sebesar Rp 38,7 triliun.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di salah satu loket di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (23/11/2021). Dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) BPJS Kesehatan terus mengupayakan kemudahan pelayanan dengan pemanfaatan layanan digital. Selain itu, BPJS Kesehatan mendorong pemerintah yang menjalankan program jaminan sosial untuk mengembangkan jaminan pendapatan saat sakit atau tunjangan sakit kepada warga.
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan pada 2021 dinyatakan sehat, tidak defisit. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat.
Hal tersebut tampak dari kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) yang positif. Per 31 Desember 2021, aset bersih BPJS Kesehatan adalah Rp 38,7 triliun. Angka ini tergolong sehat karena mampu memenuhi pembayaran klaim hingga 5,15 bulan ke depan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015, aset DJS dikatakan sehat jika mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk sedikitnya 1,5 bulan ke depan, atau paling banyak enam bulan ke depan. Kondisi surplus ini baru pertama kali dialami BPJS Kesehatan sejak beroperasi pada tahun 2014.
Sebelumnya, aset neto BPJS Kesehatan pada 2019 defisit Rp 51 triliun. Sementara pada 2020, aset neto pada 2020 defisit Rp 5,69 triliun. ”Ini pertama kalinya BPJS Kesehatan tidak defisit. Cash flow (arus kas) positif,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Selasa (5/7/2022).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Pemaparan program dan keuangan BPJS Kesehatan tahun 2021 oleh BPJS Kesehatan digelar di Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Membaiknya kondisi keuangan BPJS Kesehatan disebabkan beberapa faktor, di antaranya rendahnya angka kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke rumah sakit selama pandemi Covid-19. Faktor lain adalah adanya penyesuaian iuran pada 2020 dan perluasan kanal pembayaran iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Ini pertama kalinya BPJS Kesehatan tidak defisit. Cash flow (arus kas) positif.
Hingga kini ada 696.569 kanal pembayaran iuran hasil kerja sama, antara lain, dengan bank swasta, bank daerah, bank BUMN, jaringan ritel, jaringan gerai tradisional, dan lokapasar. Iuran juga dikumpulkan melalui otodebet bank hingga penggalangan dana. Penerimaan iuran pada 2021 adalah Rp 143,32 triliun, sedangkan pada tahun 2020 Rp 139,85 triliun.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Ali Ghufron Mukti
Ali menambahkan, BPJS Kesehatan masih menghadapi berbagai hal yang mesti diperbaiki pada 2022, antara lain akses, mutu, efisiensi, ekuitas, dan keberlanjutan keuangan. Kendati demikian, ia berharap seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah maupun masyarakat dapat bekerja sama menjawab tantangan itu.
Sebelumnya, menurut pengamat jaminan sosial Chazali Situmorang, arus kas BPJS Kesehatan yang surplus mesti dioptimalkan untuk meningkatkan layanan kesehatan publik. ”Mesti ada alokasi dana cadangan 5-10 persen yang diamankan dari arus kas. Ini sesuai dengan amanat UU BPJS,” ucapnya (Kompas.id, 30/12/2021).
Ia menilai, semestinya tidak ada lagi keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan. Jadi, kini saatnya BPJS Kesehatan menegakkan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan pembayaran iuran terhadap peserta JKN-KIS yang menunggak. Selain melalui angsuran, akses pembayaran iuran mesti diperluas.
Beban jaminan kesehatan
Beban jaminan kesehatan BPJS Kesehatan pada tahun 2021 mencapai Rp 90,33 triliun. Adapun pemanfaatan pelayanan kesehatan sepanjang 2021 mencapai 392,8 juta pemanfaatan. Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Lily Kresnowati mengatakan, 25 persen dari total pembiayaan habis untuk penyakit katastropik.
”Per Mei (2022), pembiayaan terbanyak untuk penyakit jantung, yaitu Rp 4,3 triliun. Setelahnya kanker sebesar Rp 1,6 triliun, stroke Rp 1 triliun, serta gagal ginjal yang membutuhkan hemodialisis sebesar Rp 700 miliar,” kata Lily.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan tengah berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat, untuk penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program JKN-KIS. Pembahasan ini mencakup antara lain tujuan KRIS, kriteria rumah sakit untuk KRIS, hingga iuran yang ditetapkan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga antre dengan tetap menjaga jarak saat mengurus administrasi BPJS Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (23/11/2021). Dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) BPJS Kesehatan terus mengupayakan kemudahan pelayanan dengan pemanfaatan layanan digital.
Penerapan KRIS akan berpengaruh pada besaran iuran yang dibayar peserta. Iuran yang mesti dibayar diperkirakan Rp 50.000 sampai Rp 75.000 per bulan. Namun, tarif ini dikhawatirkan akan membebani peserta kelas tiga.
Tarif iuran peserta kelas tiga saat ini Rp 35.000 dengan subsidi dari pemerintah sebesar Rp 7.000. Ali mengatakan, masih banyak peserta kelas tiga yang menunggak iuran. Jika tarif iuran naik jadi sekitar Rp 75.000, orang-orang yang menunggak dikhawatirkan akan lebih banyak.
”Hal ini akan membebani APBN. Masih banyak hal yang mesti diperhitungkan secara komprehensif. Mesti hati-hati (untuk menerapkan KRIS). Kami akan melakukan uji coba KRIS ke lima rumah sakit. Diupayakan hal itu terjadi tahun ini,” kata Ali.