Pendataan adalah salah satu persoalan besar dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Padahal data adalah batu awal pijakan untuk perancangan kebijakan yang lebih maju.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Salah satu persoalan besar dalam pengelolaan sampah di Indonesia adalah pendataan. Padahal data sampah yang komprehensif dari setiap kabupaten dan kota dapat menjadi batu pijakan awal untuk penyusunan kebijakan pengelolaan sampah yang lebih maju.
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) telah berjalan lebih dari setahun sejak diluncurkan resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Februari 2021. Namun, kabupaten/kota tidak rutin memasukkan data sampah setiap tahun. Jumlah kabupaten/kota yang memasukkan data setiap tahun berbeda.
Dari data SIPSN yang dilihat per 19/05/2022, tahun 2019, ada 243 kabupaten/kota yang memasukkan data. Tahun 2020, naik menjadi 276 kabupaten/kota. Tahun 2021, turun lagi menjadi 146 kabupaten/kota.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengakui bahwa masih banyak kekurangan pada platform yang ia rintis sejak 2018 tersebut. Padahal menurutnya, koleksi data yang lengkap menjadi dasar utama untuk pengambilan kebijakan berbasis bukti atau evidence based policy.
"Salah satu persoalan yang serius itu memang adalah persoalan data. Kami tidak bisa memberikan intervensi tanpa ada data yang valid," ujar Novrizal saat ditemui di kantornya pada Selasa (19/4/2022), di Jakarta.
KLHK akan melakukan verifikasi jika kabupaten/kota sudah mengisi data dalam sistem SIPSN. Jika daerah tidak mengisi data di sistem SIPSN, KLHK tidak berwenang untuk mengisinya.
Tak punya rencana
Data yang banyak kosong karena daerah tidak memiliki rencana induk pengolahan sampah atau pun kajian mengenai sampah. Alasan lainnya, kabupaten/kota tidak terbiasa mencatat volume sampah yang dihasilkan.
Dengan informasi yang terpusat dari seluruh kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, pemerintah pusat dapat membuat intervensi yang bisa tepat sasaran.
"Apakah DAK (dana alokasi khusus) memberikan efek peningkatan kapasitas atau tidak? Apakah kebijakan yang kita ciptakan ini ada impact-nya atau tidak? Ini yang akan jadi ukuran kami untuk melakukan intervensi kebijakan," kata Novrizal.
Bahkan, menurut Novrizal keberadaan informasi sampah ini juga menjadi prasyarat utama untuk mencapai industrialisasi pengelolaan sampah di Indonesia. Investor potensial yang ingin menanamkan modal di sebuah usaha daur ulang plastik, misalnya, bisa mengetahui kota mana yang cocok untuk membuka usahanya.
"Dengan platform pengelolaan sampah nasional, bukan hanya pengambil kebijakan yang bisa memanfaatkan informasinya, tetapi juga sampai pelaku bisnis," kata Novrizal.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Dudy Prayudi pun mengakui memang masih ada persoalan data sampah. Bahkan persoalan data ini pun berdampak langsung pada data Kota Bandung yang tercatat secara nasional di SIPSN.
Di SIPSN, jumlah persentase total sampah yang diangkut dan dikurangi di Kota Bandung tercatat hanya 7,16 persen dari potensi timbulan 1.539 ton sampah per hari. Menurut SIPSN, hanya total sekitar 110 ton sampah kota Bandung yang diangkut ke TPA dan masuk ke bank sampah.
Padahal, menurut Dudy, sekitar 1.200 ton per hari sampah masuk ke TPA Sarimukti dan sekitar 300 ton per hari lainnya diolah di bank sampah dan fasilitas pengurangan sampah lainnya.
Dudy mengatakan, perbedaan data ini disebabkan karena adanya kekurangan catatan administratif yang dibutuhkan untuk mengunggah data ke sistem SIPSN. Khususnya pada aspek pengelolaan sampah di bank sampah masyarakat yang output-nya cenderung tidak dicatat dengan konsisten.
"Ini budaya kita yang mungkin belum tertib administrasinya. Di tingkat RW misalnya, sampah yang sudah dipilah itu pencatatannya tidak rapi. Hari ini dicatat, belum tentu besok dicatat. Ini jadi PR bagi kami untuk mendapatkan data yang valid," kata Dudy.
Digitalisasi
Penggunaan aplikasi platform digital diyakini dapat menjadi solusi untuk koleksi data dari tingkat paling kecil, rumah tangga. Pada peringatan Hari Bumi akhir April lalu, Pemprov DKI Jakarta mengumumkan kerja sama dengan Kaktus, sebuah platform digital untuk merekam pemilahan sampah setiap penggunanya.
Apabila warga Jakarta pengguna Kaktus memilah sampahnya, maka pengguna tersebut akan mendapatkan poin. Akumulasi poin tersebut akan kelak dapat digunakan untuk mendapat reward dari toko dan merchant yang telah menjadi rekanan Kaktus.
Sebelum resmi bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta, Kaktus telah memulai uji coba dengan Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan implementasi sistem Kaktus pada 15 RW di Kecamatan Pesanggrahan dan Tebet.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, kerja sama dengan Kaktus dijalin guna mendapatkan data empiris yang valid sekaligus mendorong warga untuk memilah sampah. “Dengan kami kerja sama dengan Kaktus, kami akan lebih mudah untuk menarik data. Karena dari tingkat rumah tangga, akan jelas berapa kilogram terpilah dan terolah. Jadi dengan aplikasi, data akan lebih valid,” kata Asep.
Chief executive officer (CEO) Kaktus Arya Primanda Wibisana mengatakan, ia berharap, dengan iming-iming poin hadiah, masyarakat di mau mulai memilah sampah rumah tangga masing-masing. Poin hadiah yang kelak bisa ditukarkan menjadi potongan harga atau produk gratis ini didapatkan melalui kerja sama antara Kaktus dengan pelaku usaha, termasuk yang tergabung di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Jakarta Selatan.
Skema ini baru akan berjalan setelah aplikasi Kaktus yang dapat dipasang warga pada ponsel pintar meluncur pada periode antara Mei dan Juni 2022. Saat ini, aplikasi Kaktus yang sudah dirilis baru pada sisi petugas yang mencatat sampah di TPS.
"Sekarang mungkin kalau kita menaruh botol plastik di tempat sampah, bakal botolnya hilang, tetapi sampah organiknya enggak. Kami sekarang coba disrupsi behavior-nya agar terjadi hal yang sama dengan sampah organiknya,” kata Arya. (PUT/SPW/XNA)