Masyarakat Indonesia masih mempunyai kebiasaan buruk untuk menyisakan makanan. Porsi makanan yang terlalu banyak dan cita rasa makanan jadi alasan. Sebagian mengaku tak membuangnya sia-sia.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Fenomena orang tidak menghabiskan makanan masih banyak terjadi. Pengamatan di beberapa tempat makan di Jabodetabek, ada beberapa orang yang masih menyisakan makanan di piringnya. Makanan yang disisakan tak hanya dalam jumlah kecil. Bahkan terkadang ada makanan yang baru tersendok dua kali pun, dengan sengaja tidak dilahap sampai habis.
Selama 30 menit mengamati sebuah warteg di Tangerang Selatan, dari sekitar 12 orang pengunjung, 5 orang menyisakan nasi beserta lauk pauknya. Rata-rata orang hanya makan separuh bagian makanan dari piring ukuran warteg. Tak hanya di warteg, di sebuah restoran di pusat perbelanjaan pun, ada orang yang menyisakan makanan.
Jajak pendapat Kompas pertengahan April lalu menjawab fenomena tersebut. Hampir separuh dari 516 responden mengaku selalu menyisakan makanan hasil masakan di rumah atau pun saat makan di tempat makan.
Proporsi tertinggi (46,9 persen) sisa makanan terjadi saat memasak di rumah. Adapun saat membeli makanan di restoran, hanya 38,8 persen yang tidak menghabiskan makanan.
Seperti pengalaman Santi (44), ibu rumah tangga di Tangerang Selatan yang mengaku pernah membuang makanan berlebih saat memasak. “Aku pernah membuang masakan, enggak mungkin kalau enggak pernah melakukan, tapi ya jarang,” katanya. Menurut Santi, makanan dibuang saat ada sisa makanan yang sudah tidak bisa diolah lagi, seperti sayuran.
Kemungkinan lain menurutnya karena porsi makanan yang berlebih yang tidak disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. “Atau saat anggota keluarga tidak berselera dengan masakan yang aku buat,” tambahnya.
Makanan yang banyak bersisa saat memasak di rumah menurut jajak pendapat Kompas adalah nasi (38,9 persen). Kemudian diikuti lauk 28,5 persen, sayur 15,1 persen, dan tulang/duri 2,8 persen.
Hasil sama ditunjukkan kajian Amrita (2019), perusahaan pengolah sampah organik. Nasi mendominasi komposisi sampah makanan (38,72 persen). Setelah itu daging (25,15 persen), produk bakery (18,74 persen), lemak (13,03 persen), tulang (2,19 persen), sisanya sayur/buah (2,16 persen).
Nasi memang rawan basi, terlebih saat proses menanak nya dengan rice cooker kurang sempurna atau saat dimasukkan dalam wadah penyimpanan yang tidak tepat. Jika ada sisa nasi, bisa dimasukkan ke wadah tertutup dan harus segera dikonsumsi keesokan harinya.
Alternatif lainnya adalah mengolah menjadi masakan lain seperti nasi goreng. Laman Cookpad mengumpulkan 2.145 resep kumpulan olahan nasi sisa yang setelah diolah menjadi bahan lain bisa menjadi cireng, donat, siomay, kue lumpur, dan kue jipang.
Namun hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mengenai sampah rumah tangga. Melalui survei di Jabodetabek didapatkan, komposisi sampah makanan tertinggi adalah sayur (7,3 kg), diikuti dengan buah (5 kg), dan beras (2,7 kg) .
Sayuran dan buah-buahan merupakan jenis makanan yang paling banyak dibuang. Hal ini berkaitan dengan daya tahan jenis makanan yang rendah, mudah membusuk.
Status ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh pada kebiasaan menyisakan makanan. Ini terlihat dalam jajak pendapat Kompas. Semakin tinggi status ekonomi, cenderung mempunyai kebiasaan membuang makanan.
Sebanyak 56 persen responden yang masuk kategori menengah atas menyebut selalu menyisakan makanan. Hanya 47 persen responden kelas menengah bawah yang mempunyai perilaku yang sama.
Semakin tinggi penghasilan, masyarakat cenderung memiliki kebiasaan belanja berlebihan. Analisis Kompas terhadap data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga menunjukkan ada korelasi kuat — dengan nilai korelasi 0,6 — antara produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita kabupaten/kota di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa dengan volume sampah makanan per kapita. Artinya, semakin tinggi nilai PDRB per kapita suatu wilayah alias makin kaya penduduk daerah tersebut, volume sampah makanannya juga kian tinggi.
Menurut akademisi Unika Soegijapranata Semarang Budi Widianarka, ada kecenderungan bahwa negara makin kaya, sampah makanan yang terbuang oleh masyarakat makin besar. “Kota-kota besar di Indonesia mungkin sudah mirip kondisinya dengan sejumlah negara maju,” kata Budi.
Meski demikian, hasil studi Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Programme/UNEP) tahun 2021 menyatakan, sebetulnya secara global, tingkat pendapatan negara dengan produksi sampah pangan memiliki kaitan yang tidak signifikan. Temuan ini membantah pemahaman beberapa tahun yang lalu bahwa peningkatan jumlah sampah pangan sejalan dengan semakin sejahteranya suatu negara.
Porsi banyak
Porsi makanan yang terlalu banyak menurut 57,8 persen responden jajak pendapat Kompas, menjadi penyebab makanan bersisa. Makanan dengan porsi berlebih biasanya terjadi setelah ada acara yang dihadiri banyak orang seperti pernikahan atau seminar. Kemungkinan lainnya saat makan di restoran, memesan terlalu banyak.
Budi menyebutkan sampah makanan di rumah tangga lebih sedikit dibandingkan pada fungsi sosial seperti di acara pernikahan. “Masyarakat cenderung menyediakan banyak makanan saat pesta karena alasan kesopanan,” tambahnya.
Meski demikian, ada juga masyarakat perorangan yang cenderung tidak menghabiskan makanan yang ada di piring seperti hasil pengamatan Kompas di beberapa tempat makan.
Evi (44), karyawan swasta mempunyai tips untuk mengurangi sisa makanan saat makan siang di kantornya. “Aku hanya mengambil makanan yang aku suka saja saat prasmanan di kantor, meski itu cuma tahu dan sayuran,” katanya. Dengan cara itu menurut Evi, tidak akan ada makanan sisa di piringnya.
Penyebab kedua yang disebutkan oleh 20,4 persen responden jajak pendapat Kompas adalah soal cita rasa makanan. Agaknya ini banyak terjadi saat mengkonsumi makanan di warung/restoran.
Strategi
Meski masih ada kebiasaan masyarakat menyisakan makanan tapi ada kecenderungan juga mereka tidak membuang sia-sia makanan berlebih. Setidaknya 42,7 persen responden memberikannya pada hewan peliharaan dan 24 persen pada masyarakat yang membutuhkan serta digunakan sebagai pakan ternak.
Ini yang biasa dilakukan Lusi (42), ibu rumah tangga di Kota Tangerang. Jika ada sisa nasi di rumah, Lusi memberikan ke kucing-kucing peliharaanya. Jika masih tetap bersisa, Lusi akan memberikannya ke tetangga yang beternak ayam.
Cara lainnya, sekitar 20 persen responden jajak pendapat Kompas menyimpan dan mengolahnya kembali dalam bentuk makanan lain. Kearifan lokal masyarakat di Indonesia yang membuat mereka masih melakukannya dengan mengolah nasi menjadi nasi goreng ataupun nasi aking.
Bahkan, ada juga bagian kecil masyarakat yang sudah mengolahnya menjadi kompos ataupun menjadi makanan maggot.
Ajakan untuk mengurangi dan mencegah sampah makanan terus digaungkan berbagai pihak. Tak sekadar berkampanye, tapi juga membagikan beberapa tips dan saluran untuk berbagi dan berdonasi makanan. Saatnya kembali pada perilaku masing-masing masyarakat untuk bijak mengonsumsi makanan.